Jumat, 03 Mei 2013

Menggagas Kompensasi Subsidi BBM


Menggagas Kompensasi Subsidi BBM
Effnu Subiyanto ;  Mahasiswa Doktor Ekonomi Universitas Airlangga, Surabaya
MEDIA INDONESIA, 02 Mei 2013


Pemerintah sepertinya mengajak melakukan deal transaksional dengan rakyat terkait dengan besaran subsidi BBM. Dengan argumentasi bahwa operasional negara tidak berdaya disebabkan tingginya subsidi BBM, harga eceran BBM dinyatakan akan dinaikkan dengan sistem dual price. Sebagian tetap Rp4.500 per liter, sebagian lainnya akan dijual dengan banderol Rp6.500 sampai Rp7.000 per liter. Dengan cara tersebut, subsidi BBM akan dihemat dengan nilai Rp30 triliun pada 2013.

Padahal, nilai subsidi sebenarnya tidak sebanding dengan besaran pajak yang diperoleh negara setiap hari. Target perolehan pajak APBN 2013 adalah Rp1.193 triliun atau Rp3,27 triliun per hari. Di sisi lain, kewajiban subsidi BBM adalah Rp193,8 triliun atau Rp531 miliar per hari. Rasio subsidi terhadap pajak hanya 16,24%, artinya 83,76% merupakan pendapatan negara.

Berbagai cara sudah dilakukan pemerintah untuk mengurangi subsidi, di antaranya dengan pembatasan kuota BBM seperti pada 2012. Namun, cara itu tidak efektif karena pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor bergerak geometris sehingga menyebabkan kenaikan konsumsi BBM bersubsidi rata-rata sekitar 7,2% per tahun.

Keengganan penduduk Indonesia meninggalkan sepeda motor dan kendaraan pribadi bukan disebabkan sematamata kesalahan rakyat. Sistem yang menyebabkan hal itu sehingga kuota BBM bersubsidi selalu tidak cukup setiap tahun. Pada 2012 realisasi konsumsi BBM bersubsidi 44,78 juta kiloliter, padahal pagu seharusnya 40 juta kiloliter. Tahun sebelumnya realisasinya 41,76 juta kiloliter, di atas kuota seharusnya 40,4 juta kiloliter. Tahun ini dengan pola linier, itu seharusnya sekitar 48,28 juta kiloliter. Jika APBN 2013 hanya menganggarkan 46 juta kiloliter, artinya diperlukan tambahan dana lagi Rp19,8 triliun.

Harus dipahami, kekukuhan penduduk tidak menyukai penggunaan transportasi publik disebabkan nilai residual atas aset kendaraan yang dimilikinya. Nilai sebuah sepeda motor kini sekitar Rp10 juta per unit, lima tahun kemudian nilai residualnya Rp5 juta jika dijual kembali.

Jika setiap penduduk rela tidak memiliki sepeda motor untuk sarana bekerja setiap hari, minimal diperlukan biaya Rp10 ribu untuk naik angkutan kota pulang pergi. Jika diperlukan tambahan naik ojek lagi, minimal per hari biayanya akan mencapai Rp15 ribu. Dalam lima tahun, akumulasi biaya yang harus dikeluarkan setiap kepala keluarga itu Rp27 juta.

Sementara itu, jika menggunakan motor dengan tetap membeli 2 liter per hari seharga Rp9.000, dalam lima tahun ia menghabiskan konsumsi BBM premium Rp16,2 juta. Ditambah dengan modal Rp10 juta untuk membeli motor, total biaya sampai lima tahun Rp26,2 juta. Pemilik sepeda motor masih untung karena memiliki nilai residual motor bekas apabila dijual sekitar Rp5 juta, sedangkan yang tidak memiliki motor sama sekali tidak mendapat kesempatan memperoleh nilai residual.

Masih banyak keuntungan dengan memiliki sepeda motor, misalnya tidak ada tekanan stres karena mobil angkot yang dinaiki terjebak macet, berdesak-desakan yang tidak nyaman, kecopetan, dan/atau terbebas dari pelecehan seksual. Kendati pemilik motor juga memiliki tingkat risiko yang tidak ringan, misalnya angka kecelakaan lalu lintas yang tinggi sekitar 77% dari jumlah 33 ribu korban tewas per tahun, betapapun memiliki motor merupakan fleksibilitas tersendiri.

Untuk menarik rakyat tidak menggunakan sepeda motor atau kendaraan pribadi, pemerintah harus menawarkan skema pengganti yang memberikan jaminan adanya nilai residual yang sepadan jika dibandingkan dengan tidak memiliki kendaraan pribadi agar konsumsi BBM nasional berkurang. Insentif itu hanya diberikan kepada penduduk yang tidak memiliki kendaraan pribadi baik sepeda motor ataupun mobil dan dapat diambil dalam periode waktu yang disepakati.

Seharusnya skema tersebut bukan BLT atau BLSM yang terbukti tidak memiliki benefi t sama sekali. BLT tahap pertama 2008 sebesar Rp5,6 triliun untuk 19,01 juta rumah tangga miskin, BLT tahap kedua pada 2008 sebesar Rp7,5 triliun, dan BLT 2009 sebesar Rp3,7 triliun. Total uang yang dihamburkan Rp16,8 triliun dan kini tidak berbekas sama sekali.

Pihak asuransi akan sangat menyambut skema kompensasi itu karena nilai subsidi BBM yang menggiurkan setiap tahun. Dengan nilai asuransi Rp193,8 triliun per tahun, preminya sudah sangat luar biasa. Pemerintah tidak akan kehilangan uang Rp193,8 triliun, tetapi hanya membayarkan premi dalam jumlah yang kecil kepada perusahaan asuransi. Dalam waktu lima tahun, pihak asuransi akan berkembang sangat kuat secara fi nansial sehingga klaim yang jatuh tempo nanti seharusnya dapat dibayarkan dengan lancar.

Namun term risikonya harus jelas bahwa hanya penduduk yang rela tidak menggunakan sepeda motor atau kendaraan pribadi dalam kurun waktu lima tahun yang mendapatkan hak nilai residual yang sudah disepakati pemerintah dan pihak asuransi. Penduduk yang baru menjual ken daraannya pada tahun berjalan mendapat hak klaim yang proporsional.

Belum Matang

Sebenarnya dengan maju-mundur rencana penaikan harga BBM, apalagi sebelumnya dengan skema dual price, efek psikologisnya kembali kepada rakyat. BBM menjadi langka di mana-mana karena dipermainkan spekulan, harganya justru berlipat-lipat di luar akal sehat.

Kini harga seliter BBM jenis solar karena langka menjadi Rp15 ribu dan terpaksa harus dibeli. Akibatnya belanja masyarakat justru lebih besar dua kali lipat daripada rencana pemerintah dan dampaknya kenaikan hargaharga bahan pokok di manamana. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok itu akan menyeret inflasi dan pada akhirnya meningkatkan jumlah penduduk miskin.

Maju-mundur rencana penaikan harga BBM dan/atau dual price harus menjadi pelajaran berharga agar pemerintah berhati-hati dalam melemparkan isu kebijakan yang belum matang. Pemerintah memang memiliki kewajiban menjalankan UU keterbukaan informasi publik. Namun jika multiplier effect-nya lebih besar dan berpotensi membuat kekacauan masif, lebih baik informasi atau isu itu tidak keluar ke ruang publik. Jeda waktu menunggu itu dapat menjadi bola panas yang simpang siur dan bagi kalangan spekulan justru dimanfaatkan untuk keuntungan pribadi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar