|
KOMPAS,
13 Mei 2013
Indonesia
merupakan satu-satunya negara di dunia dengan pertumbuhan ekonomi paling stabil
di atas 6 persen dalam empat tahun terakhir. Tatkala banyak negara didera
belitan utang, justru utang Pemerintah Indonesia terhadap produk domestik bruto
melorot tajam hingga tergolong mencapai tingkat paling rendah di dunia. Empat
dari lima lembaga pemeringkat internasional telah memasukkan Indonesia ke
kategori investment grade.
Laju
inflasi selama dua tahun terakhir di bawah 6 persen, bahkan sempat selama empat
bulan berturut-turut—Desember 2011 hingga Maret 2012—hanya di bawah 4 persen.
Suku bunga pun berangsur turun secara
konsisten.
Walaupun
sudah muncul tanda-tanda pelemahan kinerja ekspor, nilai tukar rupiah sempat
mencapai nilai tertinggi pada 2 Agustus 2011, yaitu Rp 8.460 per dollar AS.
Indeks saham gabungan meroket, telah menembus 5.100 akhir minggu lalu.
Tahun
2011 sebetulnya merupakan momentum emas untuk memperkokoh fondasi memasuki era
pertumbuhan yang lebih tinggi secara berkelanjutan. Sangat langka faktor-faktor
positif bermunculan pada waktu bersamaan.
Puncaknya
adalah ketika dua lembaga pemeringkat internasional, Japan Credit Rating Agency dan Fitch,
mendongkrak peringkat Indonesia menjadi setara dengan investment grade, masing-masing pada 24 Agustus 2011 dan 15
Desember 2011.
Lembaga
pemeringkat Moody’s melakukan langkah yang sama pada 18 Januari 2012 dan
pemeringkat Rating and Investment
menyusul pada 18 Oktober 2012. Untuk meraih kembali status investment
grade ini butuh waktu hampir 15 tahun, suatu masa penantian sangat panjang.
Satu-satunya lembaga pemeringkat yang bergeming belum memberikan status investment grade adalah Standard & Poor’s.
Apa
hendak dikata, momentum itu lambat laun meredup. Pemicunya adalah subsidi bahan
bakar minyak (BBM) yang meningkat lebih dua kali lipat, dari Rp 82 triliun
tahun 2010 menjadi Rp 165 triliun tahun 2011. Angka terakhir ini nyaris
menyamai penerimaan pemerintah dari bagi hasil minyak dan pajak keuntungan
perusahaan minyak tahun yang sama sebesar Rp 167 triliun.
Adalah
subsidi BBM yang kembali memicu defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) membengkak seperti terjadi tahun 2009 tatkala perekonomian dunia
mengalami resesi. Selain itu, surplus keseimbangan primer (penerimaan
pemerintah dikurangi pengeluaran pemerintah di luar pembayaran bunga pinjaman)
juga tergerus, mirip dengan tahun 2009.
Pada
tahun 2011 sudah diprediksi APBN 2012 akan mengalami defisit keseimbangan
primer dan memang ternyata betul-betul terjadi. Suatu peristiwa yang sangat
langka dalam sejarah Indonesia.
Kini,
setelah segalanya terlambat dan tak ada pilihan lain, pemerintah dipaksa untuk
menaikkan harga BBM bersubsidi. Tindakan ini bukan lagi pilihan untuk berhemat
atau mengalokasikan sebagian dana subsidi BBM untuk pengeluaran yang lebih
produktif dan langsung menyentuh kebutuhan rakyat banyak yang selama ini
terabaikan, melainkan semata-mata untuk meredam penggelembungan defisit APBN.
Dikatakan
tak ada pilihan karena tanpa kenaikan harga BBM bersubsidi, defisit APBN akan
jauh melebihi batas maksimum yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara
sebesar 3 persen produk domestik bruto atau bisa lebih dua kali lipat dari
asumsi APBN 2013 sebesar 1,7 persen produk domestik bruto. Selain itu, defisit
keseimbangan primer pun akan menggelembung, berpotensi lebih dari Rp 100
triliun.
Dikatakan
tak ada pilihan juga karena asumsi APBN 2013 sudah sangat tidak realistis.
Hampir semua asumsi APBN 2013 telah meleset jauh dengan kenyataan saat ini.
Pertumbuhan
ekonomi triwulan I-2013 hanya 6 persen, jauh lebih rendah dari asumsi APBN 2013
sebesar 6,8 persen. Nilai tukar rupiah pada periode Januari-April di kisaran Rp
9.700 per dollar AS, sedangkan asumsi APBN 2013 hanya Rp 9.300 per dollar AS.
Asumsi
lainnya, seperti laju inflasi, harga minyak mentah Indonesia, lifting
minyak, dan konsumsi BBM bersubsidi, juga hampir pasti terlampaui. Pendek kata,
APBN 2013 harus dirombak total.
Di
tengah keadaan yang hampir tak ada lagi ruang gerak yang tersisa, lembaga
pemeringkat Standard & Poor’s pada 2 Mei 2013 melakukan afirmasi longterm
sovereign credit rating Indonesia pada aras BB+ dan merevisi outlook
Indonesia dari positif menjadi stabil. Pada minggu berikutnya giliran lembaga
pemeringkat Moody’s memperingatkan outlook Indonesia bisa negatif apabila
besaran subsidi BBM tak bisa dikendalikan.
Kalaupun
harga BBM bersubsidi dinaikkan, risiko kenaikan inflasi juga menghadang.
Apalagi mengingat laju inflasi triwulan pertama 2013 sudah melebihi asumsi APBN
2013 sebesar 4,9 persen sehingga keadaannya sudah maju kena, mundur kena.
Tak
tertutup kemungkinan lembaga pemeringkat lainnya akan mengikuti langkah
Standard & Poor’s sekalipun pada akhirnya pemerintah menaikkan harga BBM
bersubsidi. Sebab, kenaikan harga BBM bersubsidi, katakanlah dari Rp 4.500
menjadi Rp 6.000 per liter, tetap saja akan menghasilkan keadaan yang lebih
buruk daripada postur APBN dewasa ini. Akibat selanjutnya, ongkos berutang
bakal lebih mahal dan beban utang akan naik.
Sudah
saatnya perekonomian Indonesia di masa mendatang tak diganggu oleh gejolak-gejolak
yang sebetulnya bisa dihindari. Untuk itu, penyelesaian soal subsidi BBM ini
harus segera dituntaskan dengan membuat cetak biru jangka menengah yang
dilaksanakan secara konsisten.
Jangan
lagi perekonomian Indonesia disandera dengan tindakan-tindakan politik untuk
kepentingan sesaat seperti tatkala pemerintah menurunkan harga BBM bersubsidi
sampai tiga kali pada akhir tahun 2008 dan awal tahun 2009 untuk menarik
simpati menjelang Pemilu 2009.
Penyakit
mudah puas diri ternyata sangat mahal. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar