Rabu, 15 Mei 2013

Pembangunan Iptek


Pembangunan Iptek
Andrianto Handojo ;  Ketua Dewan Riset Nasional
KOMPAS, 15 Mei 2013

Dua butir utama dapat diringkas dari tulisan berjudul ”Pembangunan Iptek Dikritik” di Kompas terbitan 10 Mei 2013.

Pertama, iptek di Tanah Air belum terlihat hasil dan efeknya karena dilakukan berdasarkan kompilasi, bukan integrasi, sehingga tidak mengerucut jelas. Pernyataan ini dipetik dari ucapan Wakil Presiden Boediono dalam pembukaan sebuah seminar nasional yang diselenggarakan Lemhannas dan Ikatan Alumni Lemhannas.

Sebagai butir yang kedua, riset dan iptek di Indonesia belum menjadi bagian yang utuh dalam pembangunan sebab dilakukan tersebar oleh banyak lembaga tanpa satu komando yang tegas. Tidak ayal, hasilnya melebar dan tidak kunjung terasa. Pendapat tersebut dirangkum dari Ketua Komite Inovasi Nasional dan Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi yang hadir pada acara itu.

Butir kedua tersebut mencerminkan langkanya koordinasi, kemitraan, kerja sama, atau apa pun namanya sebagai hambatan kronis yang tidak kunjung diperbaiki pada bangsa kita. Tentang hal ini, seorang rekan sedemikian gemas sehingga memaksa-maksa dirinya paham dengan menunjuk ”koordinasi” sebagai kata yang dipungut dari bahasa Inggris, ”coordination”. Dengan membolak-balik kamus pun tidak ditemui padanan kata asli Indonesia. Ini mengisyaratkan, sejak zaman nenek moyang, kita pada dasarnya memang abai dalam koordinasi.

Usaha remedial bukannya tak ada. Selama beberapa periode, Agenda Riset Nasional (ARN) telah diterbitkan. Sekarang ini, ARN periode 2015-2019 mulai disiapkan penyusunannya oleh Dewan Riset Nasional. Dokumen itu mencantumkan prioritas-prioritas nasional riset yang dijabarkan dalam rincian tema riset, serta dimaksudkan menjadi acuan bersama bagi para peneliti.

Mesti fokus

Dengan sangat minimnya dana riset dan pengembangan, aktivitas riset memang mesti difo- kuskan ke dalam jumlah tema yang lebih terbatas dan terarah. Apabila dengan anggaran yang ciut segala jenis penelitian dilakukan, ibarat ingin membuat martabak, hasilnya mungkin sekadar telur dadar yang amat tipis menyerupai keripik.

Dalam kenyataannya, setiap peneliti atau lembaga belum mengikuti ARN. Kementerian Riset dan Teknologi sedang melakukan evaluasi yang akan dimanfaatkan untuk menyempurnakan Kebijakan Strategis Nasional Iptek dan pada gilirannya ARN mendatang.

Kalaupun ARN dipatuhi, tidak serta-merta persoalan riset dan iptek selesai. Perhatikan, mulai dari masyarakat awam, bisnis, sampai anggota DPR tidak jemu-jemunya menanyakan ”Mana hasil riset kita?” meskipun para peneliti sudah jatuh bangun berupaya agar riset bisa berjalan meski tertatih-tatih, yang hasilnya sesungguhnya dapat diamati pada jurnal termasuk yang bergengsi tinggi, seminar, pameran, daftar perolehan paten, dan sebagainya.

Perhatikan pula regulasi keringanan pajak bagi perusahaan yang melakukan litbang sudah diundangkan, tetapi pelaksanaannya masih belum lancar. Di pihak lain, ketika kita mencanangkan akan menuju knowledge based economy atau knowledge based society, seberapa banyak semboyan itu tercermin dan muncul sebagai rubrik iptek dalam media cetak atau acara dalam siaran televisi dibandingkan dengan pemberitaan yang bersuasana politik, ekonomi, atau selebritas?

Jangankan pihak keuangan dan pihak pers, kalangan penyusun kebijakan agaknya memperlihatkan gejala yang mirip. Dalam suatu pertemuan yang penulis hadiri, pejabat datang dari berbagai instansi atas undangan Bappenas untuk menyiapkan, waktu itu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Diskusi berkisar pada bagian sains dan teknologi. Mendadak ada yang mengangkat tangan dan berkata, ”Janganlah kita terlalu lama membahas teknologi karena teknologi hanyalah subsistem pendukung”. Sudah subsistem, pendukung lagi, bukan yang amat penting.

Bukan semata-mata dalam koordinasi kita belum mahir, apresiasi terhadap iptek pun tampaknya masih belum memadai. Padahal, apresiasi itu menentukan apakah industriawan menaruh perhatian untuk memproduksi hasil riset teman sebangsa ketimbang mengimpor dari luar yang mungkin lebih mudah. Atau, mendorong pihak yang kompeten membantu hitung aspek ekonomi yang cenderung tidak dikuasai peneliti. 

Apresiasi memengaruhi apakah instansi keuangan bergegas menggulirkan pelaksanaan keringanan pajak. Atau, secara umum membuat mulus terbitnya kebijakan dan keputusan pemerintah yang menguntungkan inisiatif riset dan iptek.

Berbekal uraian di atas, penulis mencermati kembali tulisan dalam Kompas, 10 Mei 2013, yang judulnya mengandung kata kritik. Pantas saja tidak ditemui di dalamnya alamat yang khusus dan eksplisit kepada siapa kritik itu ditujukan karena pengingatan yang disampaikan sesungguhnya berlaku bagi siapa saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar