|
KOMPAS,
15 Mei 2013
Musim
Semi Arab yang ditandai kebangkitan kaum Islamis telah melahirkan dua realitas
yang saling bertolak belakang: dukungan publik yang cukup besar terhadap
kelompok Islamis dan ketidakmampuan mereka dalam merespons isu-isu strategis
yang sedang merundung dunia Arab dalam dua tahun terakhir.
Begitulah
kira-kira suasana batin yang mengemuka dalam konferensi internasional yang
digelar di Teheran, Iran, akhir April lalu. Bersama 700 pemikir dari belahan
dunia Islam, penulis terlibat dalam diskusi yang sangat menarik tentang peran
yang sejatinya dapat dilakukan para ulama dan cendekiawan untuk mengawal
momentum revolusi yang telah memberikan ruang politik bagi kelompok Islamis
tersebut.
Problem
eksternal
Secara
garis besar, ada dua problem mendasar yang sedang dihadapi dunia Arab
pasca-Musim Semi Arab. Pertama, problem eksternal. Meski rezim-rezim otoriter
telah tumbang, yang notabene mempunyai hubungan mesra dengan negara-negara
Barat, penetrasi Amerika Serikat dan sekutunya di dunia Arab belum berakhir. AS
dan sekutunya justru semakin gencar melakukan diplomasi politik dengan
rezim-rezim Arab pascarevolusi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Bahkan, AS terus membangun jembatan politik dengan kaum Islamis.
Eksistensi
Israel di Timteng ditengarai jadi alasan utama di balik gencarnya peran AS dan
sekutunya di dunia Arab. Persepsi publik Arab pascarevolusi terhadap Israel
semakin buruk, bahkan di titik nadir. Namun, AS dan sekutunya tak mau mengubah
kebijakannya di dunia Arab dan dunia Islam pada umumnya. Padahal, menurut
Stephen P Cohen (Beyond America’s Grasp:
A Century of Failed Diplomacy in The Middle East), kebijakan luar negeri AS
di Timteng pada umumnya mengalami kegagalan. Instabilitas politik dan
keterbelakangan yang dialami dunia Arab tak bisa dilepaskan dari kebijakan luar
negeri AS. Dukungan AS terhadap rezim otoriter dan politik perang menyebabkan
dunia Arab tak mampu bangkit dari keterpurukan.
Sikap
AS dan sekutunya yang cenderung tidak mencerminkan keadilan bagi dunia Arab
telah menyebabkan krisis politik yang sangat akut di kawasan kaya minyak itu.
Irak dan Afganistan adalah dua contoh yang dapat menggambarkan betapa buruknya
kebijakan luar negeri AS dan sekutunya. Bahkan, kesalahan fatal AS telah
terbukti menyuburkan ekstremisme dan terorisme di dunia Islam.
Yang
teranyar, krisis politik di Suriah merupakan puncak dari problem eksternal yang
dihadapi oleh dunia Arab. Harus diakui, yang sedang bertarung bukan hanya rezim
Bashar al-Assad dan pihak oposisi, melainkan juga antara AS dengan sekutunya
dan Rusia dengan China. Bashar dan kubu oposisi pada hakikatnya hanyalah boneka
yang dikorbankan oleh kepentingan geopolitik negara-negara lain yang sedang
berkonstestasi memperebutkan pengaruhnya di dunia Arab. Secara implisit, Rusia
dan China masih bersikukuh memberikan dukungannya kepada rezim Bashar al-Assad
dalam menjaga keseimbangan atas dominasi AS dan sekutunya di Timteng.
Problem
internal
Kedua,
problem internal. Palestina merupakan masalah pelik yang dihadapi dunia Arab,
yang hingga detik ini belum mendapatkan solusi yang menguntungkan pihak
Palestina. Pasalnya, Palestina masih belum menjadi negara merdeka dan
berdaulat. Negara-negara Arab pada umumnya juga tidak punya sikap yang bulat
dalam melihat persoalan yang dihadapi Palestina. Mereka terbelah dalam dua
kubu, yaitu kubu yang menghendaki konfrontasi total terhadap Israel dan kubu
yang memilih jalur diplomasi dengan Israel. Kubu yang pertama diwakili Iran dan
Hezbullah, sementara kubu kedua diwakili hampir sebagian besar dunia Arab,
termasuk Arab Saudi, Mesir, Qatar, Turki, dan Emirat.
Konflik
di dalam internal faksi-faksi politik di Palestina, khususnya antara Hamas dan
Fatah, merupakan masalah yang tak kalah rumit. Kedua faksi terbesar tersebut
belum menemukan formula yang mampu menyatukan langkah mereka dalam menggapai
kedaulatan politik, khsusnya dalam rangka mengambil langkah-langkah politik
terhadap Israel. Harus diakui, Israel sangat diuntungkan oleh konflik internal
Palestina karena hal itu akan melemahkan perjuangan Palestina dalam menekan
Israel. Bahkan, Israel akan selalu berusaha menciptakan suasa konfliktual di
antara Hamas dan Fatah.
Problem
internal lain yang mengemuka di dunia Arab pascarevolusi yaitu konflik yang
bernuansa sektarian. Yang paling menonjol, politik pecah belah antara Sunni dan
Syiah. Dalam dua tahun terakhir, muncul fatwa pengafiran dan penyesatan
terhadap komunitas Syiah di dunia Arab. Fatwa ini telah menjadi lisensi bagi
maraknya tindakan diskriminatif terhadap komunitas Syiah. Belum lagi nasib
kelompok minoritas non-Muslim yang sedang berada di persimpangan jalan. Eksodus
umat Kristiani ke Eropa dan AS merupakan masalah serius yang mengemuka
pascarevolusi.
Keterlibatan
kelompok salafi dalam panggung politik pascarevolusi menjadi momok bagi
kelompok minoritas. Kelompok salafi secara eksplisit menabuh genderang
konfrontasi terhadap komunitas Syiah dan non-Muslim. Mereka kerap menggunakan
ruang publik untuk menebarkan ancaman bagi kelompok minoritas. Menurut Hasanain
Haikal di al-Masry al Youm, mereka
memilih berwudu dengan darah daripada salat berjemaah, yang merupakan simbol
kebersamaan.
Ulama
Menyikapi
kedua masalah tersebut, rezim-rezim Arab pascarevolusi membutuhkan peran serta
dari para ulama dan cendekiawan. Masalah yang dihadapi dunia Arab tak semudah
yang dibayangkan. Konsolidasi demokrasi yang tak kunjung membaik telah
menyebabkan agenda revolusi masih jauh dari apa yang dicita-citakan. Bahkan,
demokratisasi sedang dipertaruhkan karena dunia Arab sedang dihadapkan pada
krisis instabilitas politik dan krisis ekonomi. Situasi yang tak menentu ini dapat
menyebabkan lahirnya arus balik bagi intensitas militer dalam politik praktis.
Jika militer terjun kembali dalam panggung politik, taruhannya sangat besar
karena ditengarai akan membunuh tunas-tunas demokrasi yang sedang tumbuh subur.
Karena
itu, ulama dan cendekiawan harus menjadi kekuatan masyarakat sipil dalam rangka
memberikan pencerahan kepada para elite dan publik pada umumnya. Perlu pemetaan
agenda-agenda prioritas yang menjadi konsen bersama. Masalah Palestina
merupakan agenda penting yang harus dinomorsatukan karena berdampak pada
stabilitas politik di Timteng pada umumnya. Suriah menjadi agenda kedua, di
samping menjaga harmonisasi dalam relasi antarsekte di dalam Islam dan relasi
dengan kalangan non-Muslim.
Memang,
agenda-agenda itu tak mudah diselesaikan oleh dunia Arab saat ini. Para ulama
harus menjadi semacam pemantau dan kontrol bagi rezim yang sedang
mengalami disorientasi agar misi revolusi dapat direalisasikan, terutama dalam
rangka mewujudkan keadilan sosial, keluhuran kemanusiaan, kesejahteraan
bagi semua kalangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar