Jumat, 03 Mei 2013

Partai Gagap dan Para Orang Kuat


Partai Gagap dan Para Orang Kuat
Arya Budi ;  Peneliti dan Analis Politik Pol-Tracking Institute
TEMPO.CO, 02 Mei 2013


“Sebagai misal, rusaknya peran dan fungsi struktur lembaga (baca: eksekutif, legislatif, yudikatif) dalam Partai Demokrat pasca-Kongres Luar Biasa adalah akibat despotisme partai di bawah kuasa satu tangan SBY.

Semakin jauh kalender pemilu berjalan, semakin dekat kita dengan pemungutan suara. Namun, pada saat yang sama, semakin gagap pula partai politik di tengah kebingungan para politikus menghadapi pertaruhan nasib politik dalam pemilu. Sebagai misal, dari 6.576 calon legislator dalam Daftar Calon Sementara 12 partai yang ditampung Komisi Pemilihan Umum, kuota 30 persen caleg perempuan dipenuhi hanya dengan tiga kualifikasi: berjenis kelamin perempuan, berkecukupan dana, dan berijazah pendidikan.

Sementara itu, banyak artis dan tokoh selebritas publik dijadikan vote getter atau pengepul suara dengan kapasitas dan kepantasan minor. Hasilnya, di antara caleg yang ada (Daftar Calon Sementara) kini banyak terselip artis “bohay”, sekelompok caleg pasutri, segelintir tersangka, hingga caleg dengan daerah pemilihan ganda, bahkan di dua partai berbeda.

Pada saat yang sama, politikus kebingungan untuk mengamankan kepentingannya agar tetap mendapatkan akses sumber daya negara, baik berupa posisi, kursi, maupun “gaji”. Alhasil, semakin banyak kita menyaksikan perpindahan—atau bahkan eksodus—politikus dari satu partai ke partai lain. Hampir semua partai akhirnya mengalami “tukar-tambah” dan bahkan “tukar-kurang”. Bahkan dalam catatan Pol-Tracking Institute, Partai NasDem, Hanura, dan Gerindra adalah partai dengan tingkat penerimaan perpindahan politikus paling tinggi secara berturut-turut.

Kegagapan partai dan kebingungan politikus menjelang pemilu 2014 menunjukkan bahwa Indonesia tengah berada dalam the age of catch-all party, yaitu sebuah periode politik di mana partai tidak lagi peduli pada ideologi,  platform, dan program, baik sebagai organisasi politik maupun linkage actor  (aktor penyambung) yang mentransformasikan kepentingan pemilih ke dalam kebijakan negara. Sebuah era ketika partai berusaha memakan semua jenis pembilahan sosial yang ada, baik agama, kelas sosial, ras, maupun profesi (Otto Kirchheimer, 1974).

Konsekuensi dari abad kepartaian “pemakan semua” ini adalah pragmatisme politik yang muncul dalam wujud rekrutmen calon legislator terbuka dan head hunting tokoh publik menjelang batas pengajuan calon legislator. Nalar partai berubah menjadi lembaga lapangan kerja dari yang secara ideal dibayangkan publik sebagai linkage atau penghubung antara demos dan cratos.

Klingemann, Hofferbert, dan Budge (1999) dalam studinya di 10 negara demokratis di Eropa Barat dan Amerika Utara menyatakan bahwa, pada dasarnya, platform partai berpengaruh terhadap kebijakan yang diambil negara. Namun, kata mereka, para elite partai sebenarnya tidak terlalu peduli dengan kebijakan sehingga mengakibatkan partai mempunyai keluwesan untuk  bergerak dalam kontinum Kiri dan Kanan, apa pun kebijakan akan didukung selama mampu berkontribusi elektoral untuk memposisikan elite pada kursi yang diinginkan. Indonesia sebagai “negara demokrasi baru” sedikit-banyak mengafirmasi fakta di negara-negara demokratis Eropa tersebut, apalagi sistem kepartaian kita tidak mengenal Kiri-Kanan.
   
Hal ini terjadi karena para “orang kuat” (strong person) yang pada awalnya merapat-mengitari aktor tunggal era Soeharto kini berpendar terdiaspora ke banyak partai di tengah tuntutan iklim demokrasi. Alhasil, fakta politik yang kita saksikan saat ini adalah pelembagaan personal menjadi sebentuk partai politik. Sebagai misal, rusaknya peran dan fungsi struktur lembaga (baca: eksekutif, legislatif, yudikatif) dalam Partai Demokrat pasca-Kongres Luar Biasa adalah akibat despotisme partai di bawah kuasa satu tangan SBY. 

Atau kemunculan Hanura dan Gerindra pada 2009 dan NasDem menuju 2014 adalah tak lebih dari pelembagaan personal melalui mobilisasi ruled elite akibat turbulensi antar-ruling elite sebelumnya. Dan kini platform dan program sosial Partai Golkar adalah refleksi kepentingan figur ketua umum yang berniat teguh dalam kandidasi presiden. Dengan demikian, akhirnya program Golkar adalah program Aburizal Bakrie.

Para “orang kuat” ini mampu meyakinkan publik bahwa terdapat partai politik dan massa simpatisan yang menginginkan dirinya tampil. Tujuannya sederhana namun krusial: mengakses dua sumber penting dari negara: power dan  resourcePower menjadi penting dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia karena presiden punya kuasa besar (kepala negara dan pemerintahan) dan sulit dijatuhkan (Pasal 7 UUD 1945), bahkan bebas dari kritik (baca: penghinaan) dalam diskursus RUU KUHP. Sedangkan resource negara adalah entitas yang masih bisa diakses melalui skema pembiayaan APBN dan penempatan posisi kroni di dalam jabatan-jabatan strategis seperti menteri, ditjen, atau komisaris BUMN dan lembaga negara lainnya dengan potensi dana yang besar.

Padahal menjadi presiden tidaklah gampang. Richard Neustadt (1919-2003), seorang penasihat tersohor Presiden Amerika Serikat dari era Truman, Kennedy, dan Johnson, melalui bukunya, Presidential Power (1960), mengatakan bahwa bagaimanapun juga presiden selalu diharapkan untuk “melakukan lebih”, bahkan melebihi aturan atau otoritas yang mengizinkan dia melakukan sesuatu.  Kadang kondisi figure heavy seperti ini menciptakan megalomania politik. Artinya, dalam analogi yang agak sarkastik, orang gila tak akan pernah menyadari bahwa dirinya gila, bahkan ia menganggap dirinya waras dan orang di luar dirinyalah yang gila. 

Sekalipun riwayat kepemimpinan nasional sejak transisi 1999 menyebutkan bahwa presiden yang melahirkan-merawat partai, bukan partai yang melahirkan presiden, yaitu: Gus Dur lahirkan PKB, Mega dengan PDIP, dan kini SBY memegang penuh PD.

Alhasil, partai politik di Indonesia tidak diukur melalui derajat mewakili (representativeness), jelasnya partai diukur dengan derajat kesetiaan elite terhadap patron partai (despotism degree). Apa yang dikatakan “Bapak” atau “Ibu”, maka itulah yang benar sekalipun bekerjanya informal power bertentangan dengan AD/ART partai dan kadang menjadi keputusan mengikat tanpa surat keputusan, cukup dengan SMS, misalnya.  Partai di Indonesia menjadi partai despotik karena partai merupakan sebuah pelembagaan (kepentingan) orang kuat, dan elite mengerubungi orang kuat tersebut hingga menjadi partai politik. Perilaku partai (baca: sikap dan kebijakan politik) tidak dibimbing oleh konstitusi partai, melainkan oleh perilaku para orang kuat di dalam partai. Pada banyak kasus, partai menjadi gagap, lalu politikus pun bingung antara setia pada kehendak patron yang menyimpang atau konstitusi partai makin tak relevan.

Kondisi tersebut berpotensi menciptakan militant ignorance (Scott Peck, 1978), sehingga semakin banyak orang-orang yang setia untuk tidak peduli pada kelembagaan partai. Namun rakyat barangkali menaruh hati terhadap beberapa figur yang memunculkan harapan, entah berpartai maupun tidak. Partai perlu berbenah dan orang kuat perlu mengalah karena, seburuk apa pun partai di mata publik, partai menjadi keniscayaan yang dibutuhkan oleh demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar