|
TEMPO.CO,
02 Mei 2013
“Sebagai misal, rusaknya peran dan fungsi struktur lembaga (baca:
eksekutif, legislatif, yudikatif) dalam Partai Demokrat pasca-Kongres Luar
Biasa adalah akibat despotisme partai di bawah kuasa satu tangan SBY.”
Semakin
jauh kalender pemilu berjalan, semakin dekat kita dengan pemungutan suara.
Namun, pada saat yang sama, semakin gagap pula partai politik di tengah
kebingungan para politikus menghadapi pertaruhan nasib politik dalam pemilu.
Sebagai misal, dari 6.576 calon legislator dalam Daftar Calon Sementara 12
partai yang ditampung Komisi Pemilihan Umum, kuota 30 persen caleg perempuan
dipenuhi hanya dengan tiga kualifikasi: berjenis kelamin perempuan,
berkecukupan dana, dan berijazah pendidikan.
Sementara itu, banyak artis dan tokoh selebritas publik dijadikan vote getter atau pengepul suara dengan kapasitas dan kepantasan minor. Hasilnya, di antara caleg yang ada (Daftar Calon Sementara) kini banyak terselip artis “bohay”, sekelompok caleg pasutri, segelintir tersangka, hingga caleg dengan daerah pemilihan ganda, bahkan di dua partai berbeda.
Pada saat yang sama, politikus kebingungan untuk mengamankan kepentingannya agar tetap mendapatkan akses sumber daya negara, baik berupa posisi, kursi, maupun “gaji”. Alhasil, semakin banyak kita menyaksikan perpindahan—atau bahkan eksodus—politikus dari satu partai ke partai lain. Hampir semua partai akhirnya mengalami “tukar-tambah” dan bahkan “tukar-kurang”. Bahkan dalam catatan Pol-Tracking Institute, Partai NasDem, Hanura, dan Gerindra adalah partai dengan tingkat penerimaan perpindahan politikus paling tinggi secara berturut-turut.
Kegagapan partai dan kebingungan politikus menjelang pemilu 2014 menunjukkan bahwa Indonesia tengah berada dalam the age of catch-all party, yaitu sebuah periode politik di mana partai tidak lagi peduli pada ideologi, platform, dan program, baik sebagai organisasi politik maupun linkage actor (aktor penyambung) yang mentransformasikan kepentingan pemilih ke dalam kebijakan negara. Sebuah era ketika partai berusaha memakan semua jenis pembilahan sosial yang ada, baik agama, kelas sosial, ras, maupun profesi (Otto Kirchheimer, 1974).
Konsekuensi
dari abad kepartaian “pemakan semua” ini adalah pragmatisme politik yang muncul
dalam wujud rekrutmen calon legislator terbuka dan head hunting tokoh
publik menjelang batas pengajuan calon legislator. Nalar partai berubah menjadi
lembaga lapangan kerja dari yang secara ideal dibayangkan publik sebagai linkage atau
penghubung antara demos dan cratos.
Klingemann, Hofferbert, dan Budge (1999) dalam studinya di 10 negara demokratis di Eropa Barat dan Amerika Utara menyatakan bahwa, pada dasarnya, platform partai berpengaruh terhadap kebijakan yang diambil negara. Namun, kata mereka, para elite partai sebenarnya tidak terlalu peduli dengan kebijakan sehingga mengakibatkan partai mempunyai keluwesan untuk bergerak dalam kontinum Kiri dan Kanan, apa pun kebijakan akan didukung selama mampu berkontribusi elektoral untuk memposisikan elite pada kursi yang diinginkan. Indonesia sebagai “negara demokrasi baru” sedikit-banyak mengafirmasi fakta di negara-negara demokratis Eropa tersebut, apalagi sistem kepartaian kita tidak mengenal Kiri-Kanan.
Hal ini terjadi karena para “orang
kuat” (strong person) yang pada awalnya merapat-mengitari aktor tunggal
era Soeharto kini berpendar terdiaspora ke banyak partai di tengah tuntutan
iklim demokrasi. Alhasil, fakta politik yang kita saksikan saat ini adalah
pelembagaan personal menjadi sebentuk partai politik. Sebagai misal, rusaknya
peran dan fungsi struktur lembaga (baca: eksekutif, legislatif, yudikatif)
dalam Partai Demokrat pasca-Kongres Luar Biasa adalah akibat despotisme partai
di bawah kuasa satu tangan SBY.
Atau kemunculan Hanura dan Gerindra pada 2009
dan NasDem menuju 2014 adalah tak lebih dari pelembagaan personal melalui
mobilisasi ruled elite akibat turbulensi antar-ruling elite sebelumnya.
Dan kini platform dan program sosial Partai Golkar adalah
refleksi kepentingan figur ketua umum yang berniat teguh dalam kandidasi
presiden. Dengan demikian, akhirnya program Golkar adalah program Aburizal
Bakrie.
Para “orang kuat” ini mampu
meyakinkan publik bahwa terdapat partai politik dan massa simpatisan yang
menginginkan dirinya tampil. Tujuannya sederhana namun krusial: mengakses dua
sumber penting dari negara: power dan resource. Power menjadi
penting dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia karena presiden
punya kuasa besar (kepala negara dan pemerintahan) dan sulit dijatuhkan (Pasal
7 UUD 1945), bahkan bebas dari kritik (baca: penghinaan) dalam diskursus RUU
KUHP. Sedangkan resource negara adalah entitas yang masih bisa
diakses melalui skema pembiayaan APBN dan penempatan posisi kroni di dalam
jabatan-jabatan strategis seperti menteri, ditjen, atau komisaris BUMN dan
lembaga negara lainnya dengan potensi dana yang besar.
Padahal menjadi presiden tidaklah
gampang. Richard Neustadt (1919-2003), seorang penasihat tersohor Presiden
Amerika Serikat dari era Truman, Kennedy, dan Johnson, melalui bukunya, Presidential
Power (1960), mengatakan bahwa bagaimanapun juga presiden selalu
diharapkan untuk “melakukan lebih”, bahkan melebihi aturan atau otoritas yang
mengizinkan dia melakukan sesuatu. Kadang kondisi figure heavy seperti
ini menciptakan megalomania politik. Artinya, dalam analogi yang agak
sarkastik, orang gila tak akan pernah menyadari bahwa dirinya gila, bahkan ia
menganggap dirinya waras dan orang di luar dirinyalah yang gila.
Sekalipun
riwayat kepemimpinan nasional sejak transisi 1999 menyebutkan bahwa presiden
yang melahirkan-merawat partai, bukan partai yang melahirkan presiden, yaitu:
Gus Dur lahirkan PKB, Mega dengan PDIP, dan kini SBY memegang penuh PD.
Alhasil, partai politik di
Indonesia tidak diukur melalui derajat mewakili (representativeness),
jelasnya partai diukur dengan derajat kesetiaan elite terhadap patron partai (despotism
degree). Apa yang dikatakan “Bapak” atau “Ibu”, maka itulah yang benar
sekalipun bekerjanya informal power bertentangan dengan AD/ART
partai dan kadang menjadi keputusan mengikat tanpa surat keputusan, cukup
dengan SMS, misalnya. Partai di Indonesia menjadi partai despotik karena
partai merupakan sebuah pelembagaan (kepentingan) orang kuat, dan elite
mengerubungi orang kuat tersebut hingga menjadi partai politik. Perilaku partai
(baca: sikap dan kebijakan politik) tidak dibimbing oleh konstitusi partai,
melainkan oleh perilaku para orang kuat di dalam partai. Pada banyak kasus,
partai menjadi gagap, lalu politikus pun bingung antara setia pada kehendak
patron yang menyimpang atau konstitusi partai makin tak relevan.
Kondisi tersebut berpotensi
menciptakan militant ignorance (Scott Peck, 1978), sehingga
semakin banyak orang-orang yang setia untuk tidak peduli pada kelembagaan
partai. Namun rakyat barangkali menaruh hati terhadap beberapa figur yang
memunculkan harapan, entah berpartai maupun tidak. Partai perlu berbenah dan
orang kuat perlu mengalah karena, seburuk apa pun partai di mata publik, partai
menjadi keniscayaan yang dibutuhkan oleh demokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar