Jumat, 03 Mei 2013

Revitalisasi Pendidikan


Revitalisasi Pendidikan
Rakhmat Hidayat ;  Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan Universite Lumiere Lyon 2, Prancis
REPUBLIKA, 02 Mei 2013


Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2013 menjadi momentum penting dalam jejak panjang pendidikan Indonesia sejak era kerajaan hingga pascareformasi. Dalam konteks yang lebih sederhana, momen ini sangat strategis untuk melakukan refleksi kritis terhadap proses pendidikan yang berlangsung sangat panjang dan menjadi bagian sehari-hari seluruh anak bangsa. 

Paling tidak, ada beberapa peristiwa penting yang menghiasi dinamika sosial pendidikan beberapa waktu terakhir. Pertama, memori kita masih ingat dan belum hilang dalam struktur memori kita tentang kekisruhan pelaksanaan Ujian Nasional 2013, khususnya untuk tingkat SMA/sederajat. 

Sebelumnya, kita juga diramaikan dengan persoalan teknis Ujian Kompetensi Guru (UKG) yang juga bermasalah teknis. Dan, yang paling hangat adalah rencana penerapan Kurikulum 2013 yang sangat dipaksakan oleh pemerintah (Kemdikbud) di tengah ketidaksiapan guru dan sangat minimnya sosialisasi bagi guru-guru di berbagai pelosok daerah. 

Kedua, peristiwa tidak kalah pentingnya adalah momentum suksesi nasional 2014. Pemilu 2014 sangat strategis dalam mendesain cetak biru pendidikan nasional sebagai pendidikan bagi sebuah bangsa menjadi eskalator pembangunan sosial yang mampu menggerakkan potensi dan sumber daya manusia. Pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), sudah melakukan berbagai program seperti bantuan beasiswa dari jenjang S1 hingga doktoral. Termasuk juga program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan berbagai program lainnya melalui anggaran 20 persennya.

Tetapi, itu saja tak cukup dalam mengejar setumpuk persoalan yang dihadapi masyarakat akar rumput. Pendidikan memang soal jangka panjang. Ia menyangkut investasi sosial ekonomi jangka panjang. Kita mafhum bahwa politik pendidikan di negeri ini masih terpinggirkan dalam mainstream elite-elite politik. Politik pendidikan harus kita pahami sebagai sebuah kebijakan yang memberikan aksesibilitas dan orientasi jelas bagi pembangunan sosial berbasiskan pendidikan. 

Kita dihadapkan pada rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Simak data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala. Bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Data lain juga menunjukkan berdasarkan survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. 

Sudah saatnya kita tidak terpaku mengandalkan elite politik yang seringkali abai dengan hak-hak asasi rakyatnya. Sudah saatnya peran tersebut secara sinergis dan masif diambil alih oleh kekuatan ekstranegara, organisasi sipil, maupun perusahaan yang memiliki concern dengan isu pendidikan. Harapan kita bersama, gerakan voluntarisme (kesukarelaan) di kalangan masyarakat akar rumput akan semakin masif bermunculan dalam ranah pendidikan. Hal ini menarik karena inisiatif muncul dari masyarakat akar rumput sekaligus menegasikan hegemoni negara dalam praktik pendidikan. 

Sebenarnya, ruang optimisme sudah terpapar dengan gerakan lokal yang dilakukan Ahmad Bahrudin dengan kiprahnya di Qoryah Thoyyibah (QT), di Kalibening, Salatiga. Bahrudin dianggap berdedikasi tinggi untuk merawat keindonesiaan dan memperjuangkan kemanusiaan melalui kerja-kerja inisiatif kepemimpinan di tingkat lokal berbasis nilai-nilai keagamaan yang universal. Begitu juga dengan Gerakan Indonesia Mengajar yang dirintis Anies Baswedan. Gerakan ini, sebagai manifestasi sinergi antara organisasi sosial dan perusahaan, sudah saatnya diperbanyak. Kita perlu terus mendorong surplusnya gerakan voluntarisme dari masyarakat berbagai lapisan. 

Visi Humanis

Kebijakan pendidikan tanpa dibangun secara lebih filosofis hanya akan menjadi kebijakan yang rapuh. Visi yang harus dibangun adalah kurikulum yang memiliki semangat kemanusiaan (humanisme), berbasiskan prinsip demokratis dan menjunjung tinggi nasionalisme. Tiga visi ini diharapkan menjadi basis filosofis kebijakan pendidikan. 

Visi ini penting dibangun agar kebijakan pendidikan tidak dalam bentuk cek kosong yang miskin dengan kekuatan filosofisnya. Dengan dialektika ini, maka kebijakan pendidikan akan lebih visioner dan strategis. Tidak kontraproduktif sesuai selera dan kepentingan pemerintah. 

Kita perlu memperkuat posisi pendidikan alternatif yang sering dianggap sebelah mata oleh pemerintah. Pendidikan alternatif yang selalu melibatkan masyarakat lokal menjadi aktor penting dalam terjadinya perubahan sosial di tingkat lokal. Cara pandang pendidikan sebagai pintu masuk terjadinya perubahan sosial tampaknya menjadi pendasaran filosofis visi pendidikan dasar; yang harus ditransformasikan adalah praktik pendidikan yang sarat dengan makna filosofis kehidupan. 

Wajah pendidikan kita harus belajar banyak dari praktik pendidikan alternatif yang dikembangkan Romo Mangun dan Bahrudin. Keduanya berupaya menghargai anak sebagai subjek dan aktor yang aktif dengan berbagai haknya --bukan sebagai objek-- adalah dalam upaya humanisasi pendidikan. Anak-anak sebagai aset dan generasi yang memiliki kemerdekaan di kehidupannya.

Singkatnya, visi kemanusiaan harus menjadi pendasaran penting dalam potret pendidikan Indonesia ke depan. Lepas dari kepentingan pragmatis penguasa. Ini menjadi tanggung jawab kita bersama sebagai pemilik sah republik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar