Senin, 13 Mei 2013

Panggillah Yogyakarta sebagai “Paman”


Panggillah Yogyakarta sebagai “Paman”
Thomas Pudjo Widijanto  ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 13 Mei 2013


Upacara wiwit merupakan ritual yang berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Ini tradisi petani di Jawa sebagai persiapan musim tanam padi. Dengan upacara wiwit, petani menabur harapan, agar yang ditanam tumbuh subur, panen melimpah.

Meski sudah berumur ratusan tahun, upacara Wiwit masih digelar oleh hampir semua petani di Yogyakarta. Sesajian ingkung (ayam yang dimasak utuh), kuluban (olahan sayuran), jajan pasar, dan sesaji lain, setelah didoakan, dimakan bersama-sama di pinggir sawah dalam suasana rukun penuh persaudaraan. Inilah sebuah sikap menghormati makna pangan. Sikap menghargai kehidupan.

Gerak tradisi semacam itu tak hanya berlangsung di pedesaan. Masyarakat perkotaan terlihat saling membangun tradisi yang ditujukan untuk mengatur kehidupan ini, membangun kenyamanan, dan kesejahteraan kehidupan. Muncul di Yogyakarta, dalam beberapa tahun ini, upacara merti Code, yang intinya merawat Sungai Code yang membelah kota agar tak menimbulkan bencana bagi warga.

Upacara mubeng beteng (keliling benteng) Keraton Yogyakarta kini tak hanya dilakukan dengan tapa bisu (berjalan tanpa suara) pada malam 1 Sura, malam sakral bagi orang Jawa. Upacara mubeng beteng juga dilakukan saat masyarakat Yogyakarta menghadapi persoalan sosial yang mengganggu kenyamanan dan keamanan hidup bersama.

Seperti minggu lalu, tradisi mubeng benteng digelar dan diikuti anggota TNI, Polri, organisasi kemasyarakatan di Yogyakarta, dan warga. Upacara dilakukan amat terkait dengan serentetan kasus kekerasan yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta belakangan ini.

Kejadian yang menonjol adalah penyerangan terhadap empat warga Nusa Tenggara Timur, tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Mereka adalah tersangka pembunuh anggota Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus). Selain itu, ada kasus pembacokan terhadap anggota TNI, pembunuhan dan pemerkosaan yang keji, serta pekan lalu dua anggota 
TNI terluka oleh hantaman yang dilakukan warga Papua.

Banyak ritual yang dibangun warga Yogyakarta beberapa saat belakangan ini. Ritual yang berbau tradisi itu dikemas sebagai pemantik psikologi masyarakat agar selalu menjaga ketenteraman hidup. Inilah wajah Yogyakarta dalam mengembangkan kehidupan agar tetap dalam koridor nyaman dan sejahtera.

Wajah modernitas

Namun, wajah Yogyakarta yang dikenal sebagai daerah istimewa, kota budaya, dan kota pelajar itu juga ada di kafe, mal, pertokoan, dan pedagang kaki lima. Modernitas tak bisa dielakkan. Yogyakarta tak bisa tampil eksklusif dengan wajah tradisi, saat modernitas merasuk dalam jiwa masyarakatnya.

Modernitas menjadi medan perekonomian, yang lalu menimbulkan persoalan. Di satu sisi masyarakat Yogyakarta membangun kehidupan dengan menghidupkan tradisi, di sisi lain seperti terasa panas dengan meningkatnya angka kriminalitas. Masyarakat terjebak dalam laku kekerasan pula.

”Laku kriminal, dari segi kualitas dan kuantitas, di Yogyakarta memprihatinkan. Yogyakarta, yang banyak didatangi pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia, seperti kehilangan masa silamnya. Gotong royong, tenggang rasa, dan saling menghormati seperti tinggal menjadi utopia, tidak lagi menjadi ideologi yang melekat dalam jiwa masyarakat Yogyakarta, dan juga pendatang,” kata Heru Nugroho, Guru Besar Sosiologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Jalan Solo, Jalan Kaliurang, Jalan Magelang, dan sejumlah wilayah lain di Yogyakarta seperti menjadi area kontestasi ekonomi yang berpotensi memunculkan kekerasan dan kejahatan. Yogyakarta relatif tak memiliki preman, tetapi tindak premanisme merebak, karena kontestasi perebutan ekonomi.

Sebagaimana dikatakan Komandan Korem 072/Pamungkas, Yogyakarta, Brigadir Jenderal Adi Wijaya, mereka yang berlaku jahat di mal, minimarket, atau tempat lain, kehilangan lahan karena ada pengamanan yang cukup. TNI memberikan jaminan keamanan kepada pemilik usaha selama ada permintaan. Saat aparat polisi tidak mencukupi, TNI membantu. Itu menyebabkan pelaku kejahatan kehilangan lahan.

Namun, terkadang aparat jadi korban. ”Aparat tidak boleh berkecil nyali mengembangkan pengamanan meski menghadapi risiko,” ujarnya.

Kearifan dikebumikan

Kriminalitas yang terjadi belakangan ini di DIY memang seperti mengebumikan kearifan yang dimiliki warga dan wilayah itu. Namun, kehidupan tetap berjalan meski bayangan DIY sebagai daerah yang toleran dan nyaman seperti memudar.

”Banyak hal yang membuat Yogyakarta seperti kehilangan nuansa kenyamanannya,” kata Heru. Salah satunya adalah kepadatan penduduk. Selain itu, banyaknya pendatang dari beberapa daerah yang membangun rumah atau asrama eksklusif, yang juga memunculkan persaingan ekonomi. Konflik antardaerah atau etnis pun merebak.

Menurut Heru, untuk mengatasi situasi ini diperlukan formulasi baru dalam merajut Yogyakarta sebagai kota pendidikan, kota budaya, dan kota wisata. Di luar itu, hukum harus benar-benar dijalankan untuk meredam kekerasan di Yogyakarta.

Lono S Simatupang, antropolog UGM, menilai, Yogyakarta belum bisa memadukan masyarakatnya dengan pendatang. Mereka jalan sendiri-sendiri.

Menurut Lono, perlu ruang komunikasi antara warga Yogyakarta dan pendatang. Secara kultural, mereka bersaudara. Seperti warga NTT dan Papua yang menghormati seseorang yang memberi kehidupan, selain orang tua, menjadi paman. Yogyakarta harus dipahami sebagai paman bagi pendatang, apa pun suku dan daerah mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar