Jumat, 10 Mei 2013

Mikraj dan Mistisisme


Mikraj dan Mistisisme
Sumiati Anastasia ;  Alumnus Program Master University of Birmingham untuk Relasi Islam-Kristen
JAWA POS, 10 Mei 2013

  
AGAMA-agama samawi (Yahudi, Kristen, atau Islam) yang monoteistis punya ciri memercayai hal-hal yang mistis-magis (gaib, ajaib, mukjizat, atau keajaiban). 

Sebagai agama samawi tertua, Yudaisme atau agama Yahudi juga berkisah tentang sosok-sosok yang mengalami "mikraj" atau kenaikan ke surga. Yang pertama dan tertua adalah Henokh, yang dalam Islam disebut Idris. Nama Henokh disebut 19 kali dalam Alkitab. "Henokh hidup dekat dengan Allah, lalu ia tidak ada lagi, sebab ia telah diangkat oleh Allah" (Kejadian 5:24). Selain Henokh, yang mengalami "mikraj" adalah Ilyas (Elia).

Pada 9 Mei kemarin, umat kristiani memperingati "mikraj" atau kenaikan Yesus, yang di banyak negara Kristen justru bukan merupakan hari libur nasional (Bandingkan dengan peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW yang di Arab Saudi, tempat lahirnya Islam, juga tidak diperingati, namun di negeri kita justru diperingati dengan meriah). Peringatan ini juga bercorak mistis-magis.

Dalam perspektif Kristen, peristiwa kenaikan Yesus terjadi 40 hari setelah Paskah. Yesus terangkat naik ke langit dan kemudian hilang dari pandangan setelah tertutup awan. "Mikraj" ini disaksikan oleh murid-muridnya, seperti disebut dalam Perjanjian Baru.

Sedangkan Islam mengenal Israj Mikraj yang merupakan dua bagian perjalanan Rasulullah Muhammad dalam waktu satu malam saja. Isra Mikraj terjadi pada tahun pertama sebelum hijrah, yaitu antara tahun 620-621 M. Menurut al-Allamah al-Manshurfuri, Isra Mikraj terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian dan inilah yang populer. Dalam Isra, Nabi Muhammad "diberangkatkan" oleh Allah SWT dari Masjidilharam menuju Masjidilaqsa. Lalu, dalam Mikraj, Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat termulia. Di sini beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk salat lima waktu.

Mikraj Henokh, Ilyas, Yesus, atau Rasulullah Muhammad jelas bernuansa mistis-magis. Memang, kepercayaan kepada hal mistis magis atau mengandung mukjizat Allah ini sangat besar dalam agama Kristen. Sebab, sejak lahir sampai "mikraj"-nya, Yesus memang banyak menampilkan mukjizat. 

Ini berbeda dengan Islam. Rasulullah Muhammad lahir dan berkarya secara normal. Namun, Islam yang sering diklaim sebagai agama paling rasional (normal) sekalipun mengenal juga peristiwa mukjizat seperti Isra Mikraj, apalagi yang percaya "ilmu laduni". Rasulullah juga digambarkan tidak luput dari hal-hal yang mistis atau magis (seperti membelah bulan, memerah susu kambing kurus, atau mengeluarkan air dari sela jarinya). Jadi, dalam kepercayaan akan hal-hal yang mistis-magis atau mengandung mukjizat Allah, tiga agama samawi itu sama saja. Yang berbeda porsinya saja.

Nah, ternyata orang-orang Indonesia dari agama apa pun, khususnya penganut Islam atau Kristen, juga tidak menolak akan hal-hal mistis-magis ini. Akibatnya, cara beriman atau beragama warga kita, sedikit banyak berbeda, misalnya, dengan penganut Islam di Saudi atau penganut Kristen di Palestina.

Bagi orang Jawa, misalnya, salat bukan sekadar ritual agama, tetapi juga simbol gerakan untuk menyatukan kehidupan dunia dan akhirat. Dalam konteks inilah, perintah salat dalam Islam bersifat amat khusus dan mistis. Salat tidak sama dengan perintah untuk berbuat baik dan menghindari berbuat buruk (yang berdampak natural dan berlaku universal untuk agama apa pun).

Tampaknya, keistimewaan kedatangan perintah salat inilah yang dilihat Clifford Geertz sebagai ukuran untuk mendikotomi Islam abangan dan Islam santri di Jawa. Islam abangan adalah orang Jawa yang mengaku Islam, tetapi tidak melakukan salat. Sebaliknya, Islam santri melaksanakan salat lima waktu. Orang Jawa memandang salat sebagai perbuatan yang ideal.

Sebab, jika sudah salat, perbuatan yang lain pun akan mengikuti. Orang yang salat, menurut pandangan orang Jawa, bukan hanya fisiknya yang tunduk, tetapi juga jiwanya sujud. Orang yang salat akan tecermin dari perbuatan sehari-harinya: rajin beramal, bersedekah, senantiasa berbuat baik kepada orang lain. Karena itu, di Jawa orang yang salat sangat dihormati masyarakat. Lebih dari itu, orang yang salat akan mendapatkan kekuatan magis-mistis.

Mitsuo Nakamura dalam penelitiannya di Kota Gede, Jogja, juga mencatat, orang abangan cenderung punya perasaan segan, iri, bersalah, dan minder ketika berhadapan dengan santri (Nakamura, 1983). 

Pada penganut Yudaisme (Yahudi) atau Kristen, juga ditemukan banyak penganut yang bercorak demikian. Artinya, mereka yang tekun menjalankan kewajiban agamanya lebih dikaitkan dengan hal-hal mistis magis daripada yang tidak tekun.

Namun, ada kritik bahwa penganut agama yang cenderung mementingkan atau menonjolkan mistisisme lebih memburu kesucian diri sendiri dan kurang memiliki tanggung jawab sosial. Seharusnya, keyakinan apa pun harus membuat kehidupan sosial juga diresapi kebaikan yang memancar dari diri kita. Selayaknya, kita introspeksi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar