Jumat, 10 Mei 2013

Perbudakan, Kilasan Kontras Sejarah


Perbudakan, Kilasan Kontras Sejarah
Heri Priyatmoko ;  Sejarawan Muda Solo, Sedang kuliah di Pascasarjana
Fakultas Ilmu Budaya UGM
JAWA POS, 10 Mei 2013
  

BANYAK yang getem-getem menyaksikan kisah perbudakan 34 orang di CV Cahaya Logam, Tangerang. Gaji digencet serendah mungkin, daya tubuh dikuras habis, dan dikurung tanpa diperbolehkan bertegur sapa dengan orang luar adalah ''penyiksaan'' yang luar biasa. Rasa kemanusiaan pemilik perusahaan peralatan rumah tangga itu seakan gelap tak berjejak, meski perusahaannya bernama ''cahaya''.

Jika menengok kronik sejarah Nusantara, kebrutalan tersebut justru jauh dipandang kelewatan, bahkan bila dibanding toewan-toewan kulit putih di Kota Batavia. Para meneer dan mevrouw tidak tercatat memperlakukan para budaknya sesuka hati. Untuk konteks rumah tangga, dari sumber data yang ditemukan, nyaris kesadisan terhadap budak tidak hadir di wajah orang Walanda.

Meskipun buruh dan babu dianggap budak oleh orang-orang Belanda, motivasi mendayagunakan budak adalah untuk kenyamanan (comfort) dan status sosial. Kala berkuasa pada 1811-1815, Thomas StamfordRaffles pernah mengadakan Java Benevolent Institution atau lembaga kebajikan Jawa yang bermisi memerdekakan dan memperbaiki nasib kelompok budak di tanah koloni. 

Selepas penulis kitab klasik The History of Java itu tidak lagi memegang kendali, pemerintah Belanda juga mengeluarkan larangan keras. Yaitu, kaum bumiputra di Pulau Jawa tidak boleh dijadikan budak. Para budak Jawa yang dibawa ke Batavia oleh bangsa Asia kudu dipandang merdeka.

Kesaksian J. Olovier dalam Taferee leen Merkwaardighenden uit Oost Indie punk menginformasikan bahwa kaum budak di Batavia diperlakukan dengan baik. Bahkan, perlakuan terhadap mereka lebih bagus ketimbang pelayan-pelayan di negeri Belanda. Pelancong itu juga mencatat, pada 1825, di Batavia terdapat 12.419 budak biasa dan mardyker. Mardyker adalah keturunan kaum imigran Portugis dari Malaka dan keturunan bekas budak dari pesisir Coromandel (wilayah Andra Pradesh, India, sekarang) serta India umumnya. 

Tukang Jual Orang 

Majikan memperoleh budak melalui suatu agen atau ''tukang jual orang''. Istilah tersebut mengacu pada jabatan seseorang yang menyibukkan diri sebagai agen budak yang menjadi jembatan antara pihak pencari kerja (budak) dan penerima kerja (pengusaha serta majikan). Saat itu pun konotasinya kurang baik. 

Budak perempuan yang paling laku dan disukai kaum Eropa cabang atas adalah mereka yang berparas ayu, gesit dalam urusan dapur, jago bermain kecapi, serta bersikap patuh. Tidak sedikit majikan yang berdompet tebal mampu memelihara 50 budak di rumahnya. Budak laki-laki dikasih beban tugas, antara lain, disuruh ke sana-kemari, menjahit, merajut, melakoni bermacam pekerjaan tangan, berkebun, serta menjaga minuman di dapur. Sedangkan budak perempuan membikin renda, memasak, dan menemani tuannya bepergian.

Para budak tersebut juga perlu menjaga gengsi. Detik itu, derajat orang Londo di Hindia Belanda diukur dari rumah, pakaian, makanan, minuman, dan jumlah budak yang mengiringi. Majikan mengantongi hak penuh mengatur hidup si budak. Jika sudah merasa tidak perlu memakai budak atau kelebihan budak, majikan akan melelangnya. Seperti bunyi iklan yang dikutip penulis Jakarta tempo doeloe, Yunus Nur Arif: ''Mau dijual seorang juru masak mahir yang bisa membuat kue-kue sama pandanunya dengan siapapun juga di Batavia''.

Jangan salah sangka, majikan saat itu berupaya pula mengasah bakat budak. Seorang gubernur di Batavia membentuk orkes musik yang terdiri atas 17 budak yang piawai memainkan seruling, klarinet, biola, trompet, kastanet, dan basson. Mereka diberi pelajaran menyanyi dan bermusik agar kian jempolan. Ketika majikan menggelar makan malam dan berdansa-dansi, para budak diminta mendendangkan lagu demi memeriahkan suasana perjamuan toewan gubernur. 

Majikan juga mengeluarkan perintah dengan ramah tamah. Kalau seorang budak sakit, baik pria maupun wanita, majikan lantas memberi mereka sup dan makanan lezat lainnya, sama dengan yang dikirimkan ke meja majikannya sendiri. Tidak jarang nyonya majikan turun tangan mengurusi budak yang dirundung sakit. 

Di sini dapat dipahami bahwa sisi kemanusiaan masih diperhatikan majikan, kendati dia sesungguhnya bisa berbuat semaunya lantaran hak hidup budak ada dalam genggamannya. Hubungan majikan-budak itu kerap bikin pelancong yang berpelesir di Hindia Belanda terperangah. Salah satunya seorang pengelana Prancis yang menulis perlakuan budak di Batavia lebih manusiawi daripada di pusat kekuasaan Portugal di Genoa.

Ternyata, dari mengendusi masa silam yang telah lewat itu, kita tahu bahwa perlakuan majikan kepada buruh atau budak di Batavia tidak seperti yang dikerjakan CV Cahaya Logam, walaupun mereka beda ras, beda kelas, dan beda kuasa. 

Semoga kenestapan yang dialami para buruh di CV Cahaya Logam membuka jendela rohani dan relung hati juragan di negeri ini untuk tidak bertindak sewenang-wenang kepada bawahan. Juga, membayar gaji sebelum keringat buruh mengering adalah kewajiban majikan. Kehidupan sosial itu tentu menjadi kian indah bila hati kita disesaki rasa perikemanusiaan. Mari kita periksa diri kita masing-masing. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar