Kamis, 23 Mei 2013

Menkeu Baru, Kebijakan Lama


Menkeu Baru, Kebijakan Lama
Ahmad Erani Yustika ;  Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
KORAN SINDO, 22 Mei 2013


Presiden kemarin telah melantik menteri keuangan (menkeu) yang baru, Chatib Basri, menggantikan Agus Martowardojo yang sebentar lagi akan menjabat sebagai gubernur Bank Indonesia (BI). 

Penunjukan Chatib sebagai menkeu tidak mengejutkan karena namanya sudah santer disebutbeberapawaktusebelumnya. Namanya bahkan sempat menjadi salah satu nominasi saat menkeu sebelumnya, Sri Mulyani, berhenti untuk bertugas di Bank Dunia. Jika baru sekarang dia ditunjuk menjadi menkeu, tampaknya hanya semacam “penundaan waktu” dari kursi yang sebetulnya sudah bisa diduduki pada 2010. 

Sekurangnya dua hal yang membuat Chatib dipilih Presiden menjadi menkeu. Pertama, dia “lingkaran Istana” yangsejakawal terlibat dalam tim pemenangan “SBY-Boediono”. Dari sisi ini dia “orang dalam” yang telah sangat dikenal. Kedua, ia juga memiliki pengalaman menjadi staf khusus menkeu sehingga tugas terkait kebijakan fiskal bukan hal yang baru baginya.

Posisi Strategis Kemenkeu 

Tidak seperti kementerian lain, posisi menkeu selalu diperbincangkan dengan intonasi yang lebih tinggi karena fungsinya yang amat strategis. Ilustrasi berikut sekadar gambaran kecil saja. Minggu lalu saya diundang untuk bertemu atase keuangan dari salah satu negara maju di Jakarta. Staf atase itu mengutarakan bahwa bosnya ingin berdiskusi soal perkembangan ekonomi nasional. 

Pada saat pertemuan berlangsung hanya sekilas dia mengajak diskusi soal ekonomi nasional, namun sebagian besar malah fokus mengorek kemungkinan siapa figur yang akan menjadi menkeu dan apa kebijakan yang akan diambil apabila dia terpilih. Saya tahu persis mengapa dia berkepentingan mengetahui informasi soal ini sehingga diperlukan kepiawaian menjawab atas pertanyaan-pertanyaan tersebut. 

Tentu saja saya tidak dalam posisi untuk menjabarkan seluruh pertanyaannya itu apa adanya sebab informasi semacam ini bahan sensitif bagi kepentingan kedua negara. “Diplomasi informal” itu saya yakin tidak hanya dilakukan dengan saya, tapi juga dengan ekonom-ekonom lainnya yang diperkirakan dapat memberikan informasi seputar pertanyaan yang ia ajukan. 

Pertanyaannya, mengapa negara (maju) berkepentingan dengan posisi menkeu tersebut? Sekurangnya terdapat dua hal strategis yang menjadi ranah tugas Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Pertama, kementerian ini hulu dari perencanaan ekonomi yang sebagian (besar) dibiayai dengan APBN. Dalam hal ini, fungsi Bappenas bahkan tidak lagi superior seperti dulu karena harus berbagi dengan Kemenkeu. 

Kebijakan-kebijakan terkait fiskal, seperti insentif pajak atau tarif impor, dikeluarkan oleh Kemenkeu untuk merespons perkembangan ekonomi. Pendeknya, Kemenkeu menjadi hulu dari kebijakan ekonomi yang sedemikian strategis. Insentif pajak maupun tarif impor (juga yang lainnya) merupakan instrumen yang terkait dengan ekonomi dengan negara lain misalnya untuk tujuan investasi maupun perdagangan. 

Kedua, Kemenkeu adalah pengelola APBN dengan kekuatan yang sangat besar untuk memengaruhi kegiatan ekonomi. Di dalam APBN tidak hanya soal bagaimana anggaran itu dialokasikan, tapi juga kebijakan di balik alokasi anggaran tersebut. Sekadar contoh, saat pemerintah ingin menaikkan harga minyak, ada kelompok ekonomi yang akan diuntungkan atau dirugikan atas kebijakan tersebut, baik dari dalam atau luar negeri. 

Kebijakan itu akan menyasar importir minyak, industri automotif, pelaku usaha transportasi, dan masih banyak lagi. Kebijakan itu, lagi-lagi, sebagian besar diputuskan oleh Kemenkeu, sekurangnya mereka yang akan memberikan masukan kepada Presiden dengan argumen yang berpijak dari sisi fiskal (APBN). Jadi, ekonomi politik anggaran sedemikian luas memengaruhi perekonomian sehingga tiap kelompok kepentingan berupaya bisa mengaksesnya demi keuntungan ekonomi/politik, termasuk kepentingan negara (maju). 

Reformasi Fiskal 

Saat ini sebetulnya terdapat harapan yang sangat besar bagi menkeu terpilih untuk melakukan reformasi fiskal secara besar-besaran agar APBN dan kebijakan fiskal betul-betul menjadi instrumen pencipta kesejahteraan rakyat. Reformasi fiskal itu sekurangnya berporos dalam tiga hal berikut: reformasi penerimaan negara, alokasi dan efisiensi belanja, serta manajemen pengelolaan APBN. 

Menyangkut reformasi penerimaan negara, khususnya dari pajak, ada dua hal yang mesti dilakukan. Pertama, desain pajak progresif mesti segera diinisiasi karena sistem pajak kita sangat lembek pada kelompok berpendapatan atas. Pajak hanya berhenti di atas Rp500 juta (dengan besaran pajak 35%). Mestinya kisaran penetapan batas atas bisa ditarik sampai ke level Rp5 miliar dengan persentase pajak yang lebih tinggi. 

Kedua, ketaatan bayar pajak dan penurunan kebocoran pajak harus dibuat maksimal lewat perubahan fundamental sistem maupun teknologi. Mestinya hari ini tax ratio sudah harus berada pada level sekurangnya 18%. Berikutnya, alokasi belanja yang selama ini habis untuk kepentingan birokrasi (belanja pegawai dan barang), juga untuk sektor-sektor ekonomi yang kurang terkait dengan hajat hidup rakyat golongan pendapatan menengah ke bawah, dikoreksi secara total untuk menghidupi sektor riil yang memiliki daya sebar penciptaan lapangan kerja. 

Program semacam reforma agraria harus didukung oleh kebijakan fiskal dan anggaran yang mencukupi agar masyarakat memiliki aset produktif untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi secara permanen. Demikian pula, efisiensi anggaran menjadi prioritas karena diperkirakan kebocoran APBN masih dalam kisaran minimal 30% sehingga daya dongkrak terhadap pencapaian tujuan kebijakan ekonomi menjadi sangat rendah. Ini upaya yang tidak mudah karena mesti dimulai dari proses perencanaan hingga implementasi. Jika alokasi dilakukan dengan benar dan efisiensi bisa dijalankan, desain APBN tidak perlu defisit dengan dibiayai dari utang. 

Terakhir, sampai saat ini ukuran keberhasilan pengelolaan APBN hanya dilihat dari sampai seberapa besar anggaran itu bisa diserap. Patokannya, jika terserap 100%, dianggap bagus. Sebaliknya, bila kurang dari 100%, dipandang buruk. Model evaluasi ini bisa saja dilakukan, tapi ke depan indikator itu mesti diperluas dengan cara yang lebih modern yakni mengukur efektivitas dan efisiensinya.

Efektivitas terkait dengan aksesibilitas, kesesuaian, pencapaian, dan mutu dari setiap program yang diimplementasikan. Banyak program yang dibuat setiap tahun tanpa diketahui bagaimana efektivitasnya di lapangan, yang dinilai hanya apakah program itu telah dikerjakan atau belum. 

Lainnya, efisiensi diukur dari manajemen sumber daya yang selama ini dianggap sangat boros. Tugas-tugas besar inilah yang menanti menkeu baru. Namun, saya tidak memiliki harapan besar untuk tercapainya perubahan ini sebab kita sudah sangat mengenal bahwa menkeu baru ini mewarisi pikiran dan kebijakan lama seperti para pendahulunya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar