Kamis, 23 Mei 2013

Janji Pilu Reformasi


Janji Pilu Reformasi
Launa ;  Dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia;
Sekretaris Eksekutif Sinergi Indonesia
SINAR HARAPAN, 22 Mei 2013


Kendati reformasi sudah berdengung sejak 15 tahun lalu, Indonesia masih terus hidup dalam impitan krisis. Padahal reformasi menjanjikan banyak hal, termasuk menegakkan wibawa pemerintah serta mengembalikan kepercayaan dan penghormatan rakyat atas negara.

Reformasi juga berjanji akan mewujudkan demokrasi, membangun tata kelola pemerintahan yang baik, bersih, dan bebas KKN, meninggalkan dwifungsi ABRI dan mendesain militer profesional, men-delete institusi negara ekstra yudisial yang beroperasi di luar ketentuan konstitusi, membatasi konglomerasi ekonomi, membangkitkan ekonomi kerakyatan, menghormati hak asasi manusia, serta mewujudkan pers yang bebas dan merdeka.

Aktual, begitu banyak paradoks dalam kehidupan era reformasi. Misalnya, kegagalan demokrasi prosedural dalam memperbaiki mutu bernegara, gagal memberantas praktik oligarki, gagal membangun birokrasi berwatak pelayanan, gagal mewujudkan parpol sebagai institusi demokratis, gagal memperkecil jurang kesenjangan sosial, gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta gagal membangun karakter bangsa dan kebanggaan nasional.

Yang memilukan, tingkat kepercayaan dan wibawa pemerintah, baik di pusat maupun daerah—khususnya aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa dan hakim—kian berada di titik nadir. Menteri, politikus (pusat maupun daerah) serta puluhan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) tak sedikit yang kini berstatus sebagai tersangka korupsi.

Sementara para politikus dan elite birokrasi terus berlaku tak senonoh: melakukan praktik korupsi berjamaah dengan membacak anggaran negara dan perburuan rente. Padahal, reformasi sejatinya mampu menghadirkan habitus sosial dan kultur politik baru serta tata kelola politik negara yang beretika dan bermoral, rasional, transparan, dan akuntabel.

Namun, benih reformasi yang kita pupuk ternyata tak mampu melahirkan perubahan sistemis dan mendasar seperti yang didamba rakyat. Reformasi menjadi kosa kata artifisial, karena ia telah mencampakkan daulat rakyat dan melupakan janji kesejahteraan.

Di negeri ini, politik beroperasi seperti pasar gelap, tempat di mana elite negara, politikus, birokrat, dan pengusaha kasak-kusuk mencuri profit dari jantung kekuasaan. Maraknya fenomena politik citra, dagang sapi, dan transaksi kian melengkapi tesis Rotberg tentang indikasi Indonesia menuju negara gagal (failed state).

Dengan imunitas yang dimiliki, para elite negara, birokrasi tingkat tinggi, dan politikus parlemen (pusat maupun daerah) telah menjadi mesin penguras uang negara paling kejam. Parlemen dan parpol bahkan dituding menjadi bunker nyaman bagi para koruptor.

Maka, segala berita panas yang dilansir lusinan media massa, terutama yang menyangkut beragam ironi politik dan patologi sosial, seperti menu sarapan pagi dan makan malam yang terus meneror kesadaran dan rasionalitas publik.

Hanya Janji

Reformasi ternyata dipahami para elite yang berkuasa sebagai janji ketimbang komitmen konstitusional untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang lebih berkualitas.

Para elite predatoris yang berwatak Machivellian tak hanya menciptakan dominasi di semua aspek dan lini kehidupan, menekan kekuatan-kekuatan pesaing, tapi juga terus memproduksi citra dan imagologi politik guna membunuh kesadaran, daya kritis, dan akal sehat publik.

Faktual, reformasi telah berjalan di labirin gelap akibat jebakan dan kepungan kepentingan sempit para elite. Perilaku pragmatis dan transaktif ini telah membentuk watak kartel di tubuh elite. Itu karena politik kartel membutuhkan kongsi untuk melakukan perburuan rente antar-elite dalam rangka persekutuan penguasaan atas akses ke sumber-sumber ekonomi negara.

Gejala kartelisasi politik dapat kita telisik dari sifat kompetisi antarparpol, yang sejak awal reformasi berlangsung secara tak berpola dan miskin ideologi. Persaingan konsep dan gagasan hanya berlangsung sengit di arena pemilu atau pilkada. Namun, sifat kompetisi gagasan itu lenyap, dan seketika luruh menjadi kerja sama (persekutuan) politik: di arena parlemen, di jantung birokrasi, dan di altar dunia bisnis.

Fenomena politik kartel merujuk pada fakta bahwa seluruh perilaku parpol, baik produk Orde Baru maupun Reformasi, cenderung berwatak kolutif ketimbang kompetitif. Parpol kerap menunjukkan watak untuk melayani dirinya sendiri ketimbang menjadi representasi kepentingan publik.

Ruh ideologis-programatis telah tergantikan dengan ruh politik koruptif berwatak kartel-transaksional. Platform, visi, dan program semua parpol tak ada yang beda; yang tampil lima tahunan di arena kampanye secara retoris-simbolis. Tak ada tanggung jawab, komitmen, dedikasi dan loyalitas dari parpol untuk mewujudkan janji-janji manisnya.

Faktual, kendati zaman telah berubah dan generasi telah berganti, perilaku politik (antidemokrasi) dan watak ekonomi (rente) warisan Orde Baru tetap menjadi budaya politik yang mempersulit elemen prodemokrasi untuk membongkar berbagai sendi dan dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara yang kolutif, koruptif, dan nepotik.

Mahalnya ongkos politik yang harus ditanggung politisi dan birokrat untuk meraih “mimpi kekuasaaan” dituding banyak pihak sebagai pemicu maraknya kasus korupsi anggaran negara yang dilakoni para pejabat dan politikus, di pusat maupun daerah.

Penegakan hukum lebih buram lagi. Pisau aparat hukum era reformasi hanya tajam bagi rakyat kecil, namun tumpul ketika akan digunakan bagi mereka yang berduit dan punya kuasa. Puluhan kasus dugaan korupsi politikus, pejabat dan pemimpin daerah (baik di eksekutif maupun di legislatif), hingga kini proses hukumnya masih banyak yang terseok.

Praktik kekerasaan dan konflik horisontal terjadi di mana-mana. Lemahnya penegakan hukum dan keteladanan pemimpin yang seyogianya ditunjukkan para elite negara, politikus, dan aktor-aktor birokrasi, faktual telah menumpulkan hadirnya “politik harapan”.

Kita lelah dengan pidato elite negara, politikus, pejabat, dan birokrat yang membuat komitmen ini-itu, namun tak satu pun yang dikerjakan secara konsisten. Kata dan perbuatan seakan dua dunia yang berbeda. Ideologi kerakyatan dan kebijakan pro poor, pro job, dan pro wealth tak lebih dari jargon yang membuih di lautan janji palsu.

Jalan reformasi yang kita pilih mestinya bisa memperkuat instrumen kontrol publik melalui kehadiran parpol berwatak demokratis yang dikawal penuh oleh pers yang bebas guna mewujudkan penyelenggaraan kehidupan bernegara yang prorakyat, bersih, dan bebas KKN.

Reformasi kini tak cuma menjadi janji pilu, tetapi yang mencemaskan, ia tengah berjalan di labirin gelap kekuasaan yang irasional dan paradoks. Maka, 2014 adalah momentum tepat bagi rakyat untuk bangkit dan bersatu; menghentikan seluruh irasionalitas politik reformasi.

April 2014 adalah pintu masuk seluruh elemen prodemokrasi yang merindukan “Indonesia Baru” untuk menghentikan pengkhianatan dan penistaan amanat reformasi; dus mengambil-alih kereta reformasi yang 15 tahun telah dibajak para petualang politik dan elite oportunis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar