Rabu, 15 Mei 2013

Menjawab Perlambatan Ekonomi


Menjawab Perlambatan Ekonomi
Junanto Herdiawan ;  Kepala Divisi Ekonomi dan Moneter Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Wilayah IV - Jawa Timur
JAWA POS, 15 Mei 2013

SAAT memasuki 2013, optimisme meronai ekonomi Indonesia. Di tengah suasana perekonomian global yang masih lesu, kita mampu tumbuh di atas 6 persen, dengan inflasi yang terjaga pada kisaran 4 persen. Sejumlah prestasi juga dicatat perekonomian Indonesia, seperti naiknya peringkat utang menjadi investment grade pada akhir 2011.

Namun, memasuki triwulan I-2013, kita dihadapkan pada sebuah tantangan serius. Ekonomi Indonesia tercatat melambat menjadi 6,02 persen, dibandingkan 6,3 persen pada periode sebelumnya. Perlambatan 0,28 persen ini tentu perlu kita cermati, karena apabila dalam triwulan selanjutnya ekonomi kita terus turun, pertumbuhan ekonomi memiliki risiko untuk menyentuh di bawah 6 persen.

Apabila dilihat pada beberapa daerah di Indonesia, perlambatan ekonomi juga dirasakan, baik di Jawa, Sumatera, Kalimantan, serta di Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua). Perekonomian Jawa Timur sebagai contoh, yang pada triwulan IV-2012 masih tumbuh di atas 7 persen, pada triwulan I-2013 turun menjadi 6,62 persen.

Mengapa perlambatan dapat terjadi, dan bagaimana kita perlu menyikapinya agar tidak kehilangan momentum pertumbuhan? Beberapa hal perlu dicatat.

Pada laporan triwulan IV-2012 dan beberapa laporan lain, Bank Indonesia sebagai bank sentral sebenarnya telah mencatat sejumlah risiko dan peluang yang dihadapi perekonomian Indonesia. 


Pertama, masih terus melambatnya perekonomian global. Hasil proyeksi beberapa lembaga internasional menunjukkan bahwa negara-negara maju hanya akan tumbuh rata-rata sekitar 2 persen dalam lima tahun ke depan. Ekonomi Jepang, meski terlihat mulai bergerak, diperkirakan masih tumbuh pada kisaran satu persen. Berbagai persoalan domestik struktural di Jepang belum mampu mengangkat pertumbuhan menjadi lebih tinggi. Sementara ekonomi Tiongkok juga tumbuh melambat di kisaran 7 persen.

Pelemahan ekonomi global tersebut secara jelas akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya di sisi ekspor impor. Kita melihat terjadi penurunan signifikan pada kinerja ekspor di Kawasan Timur Indonesia (KTI), terkait dengan lemahnya permintaan global, dan turunnya harga komoditas internasional. Perlambatan ekspor di KTI tersebut berimbas pula pada beberapa wilayah lain, seperti ekspor antarpulau dari Jawa Timur, yang melambat signifikan menjadi 13,73 persen, dari 23,32 persen pada periode sebelumnya.

Di sisi lain, melambatnya kinerja impor luar negeri, khususnya impor bahan baku perlu dicermati sebagai salah satu indikasi melambatnya sektor industri pengolahan ke depan.

Sejumlah aspek tampaknya masih menjadi pekerjaan rumah kita pada jangka menengah panjang. Khususnya, dalam meningkatkan peran sektor manufaktur domestik dalam menyediakan kebutuhan bahan modal untuk produksi, termasuk untuk pembangunan infrastruktur seperti pelabuhan, jalan, dan listrik. Kebutuhan tersebut saat ini, mau tidak mau, masih harus ditutupi dengan impor.

Kedua, kita mencermati mulai berkurangnya kontribusi sektor pertanian, khususnya pangan, dalam output perekonomian Indonesia. Mungkin kondisi ini berhubungan dengan proporsi pendapatan petani kita yang tetap atau mengecil dalam "mata rantai" produksi pangan. Kita tentu perlu menyadari bahwa peran pertanian tanaman pangan masih vital bagi perekonomian Indonesia. Hal ini tak dapat dilepaskan pula dari kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang besar.

Ketiga, belum menyebarnya jasa keuangan pada kelompok menengah bawah. Saat ini sektor keuangan lebih didominasi oleh pihak-pihak yang memiliki dana atau usaha. Akibatnya, banyak masyarakat Indonesia belum memiliki akses pada lembaga keuangan, dan pada gilirannya tidak dapat mengoptimalkan usaha yang mereka miliki.

Menyikapi permasalahan akses keuangan tersebut, sejumlah inisiatif perlu ditempuh dalam menyediakan jasa keuangan untuk semua pihak (inklusi keuangan). Kita berharap akan semakin banyak masyarakat miskin yang mampu memanfaatkan fasilitas keuangan, terutama kredit, secara luas dan murah. Dengan demikian, bukan hanya persoalan usaha mikro, kecil, dan menengah yang disasar. Agenda pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan juga tercapai.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah membantu rakyat miskin memanfaatkan lahan mereka sebagai agunan, dengan program sertifikasi lahan. Hal ini tentu membutuhkan kerja sama dan kesepahaman berbagai instansi.

Meski menghadapi tekanan, perekonomian Indonesia masih memiliki ketahanan (resiliensi), khususnya di sektor konsumsi. Dimulainya tahun ajaran baru, pelaksanaan pilkada, persiapan pemilu, naiknya upah minimum, diperkirakan mampu menopang tingkat konsumsi masyarakat. Namun, rencana pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) diperkirakan dapat memberikan sumbangan pada inflasi 2013.

Menyikapi berbagai peluang dan ancaman tersebut pemerintah perlu semakin serius mengawal perekonomian 2013 ini. Dimulainya tahap pemilu dan pilkada diharapkan tidak mengurangi konsentrasi pada upaya menjaga momentum pertumbuhan. Meski penuh tantangan, kita harus tetap optimistis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar