|
MEDIA
INDONESIA, 15 Mei 2013
KATA ‘subsidi’ menjadi tema seru seiring rencana pemerintah
menaikkan harga BBM bersubsidi. Kendati masih akan ada pembahasan dengan DPR
terkait dengan pemberian kompensasi kenaikan harga BBM, bagi pemerintah
penaikan harga BBM adalah keniscayaan. Alasannya, seperti disampaikan Presiden
SBY, agar APBN tidak bleeding
sehingga alokasi anggaran untuk infrastruktur dan pembangunan, termasuk buat
warga miskin, tetap memadai. Tapi dari panggung perpolitikan Indonesia kian
jelas keberadaan lubang hitam berikut ini: eksekutif dan legislatif menganggap
‘nasib’ APBN jauh lebih penting diselamatkan ketimbang ‘nasib’ rakyat yang
konon ‘pemilik’ sah Republik ini.
Dengan
dalih ada lapisan rakyat tertentu yang terlalu dimanjakan, tiba-tiba kata
‘subsidi’ seolah jadi barang yang haram dan harus dijauhi, bahkan mesti
dicampakkan. Lebih menyesakkan lagi, yang dianggap ‘subsidi’ itu ternyata
pengeluaran pemerintah yang dipakai untuk membantu rakyat mendapat BBM murah. Mengapa
aneka pos pengeluaran APBN buat kenikmatan para politikus dan wakil rakyat di
DPR berupa uang komunikasi, uang sidang dan makan, tunjangan jabatan, dana
taktis, biaya studi banding ke luar negeri, dan pelbagai fasilitas kenikmatan
lain yang hasilnya tidak pernah dilaporkan kepada rakyat tak dimaknai sebagai
‘subsidi’ yang juga bisa dipangkas habis?
Di
UUD 1945 tidak ada kata ‘dibantu’, ‘disubsidi’, atau ‘pemerintah membantu
rakyat’. Yang ada, konstitusi mengamanatkan negara menyediakan penghidupan yang
layak, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28h ayat 1), akses pendidikan (Pasal 31 ayat 1 dan 2), dan hak untuk
dipelihara bagi fakir miskin dan anak-anak telantar (Pasal 34 ayat 1).
Rakyat
juga berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal
27 ayat 2), hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (Pasal 28 h ayat 3), hak
mendapatkan fasilitas pelayanan umum yang layak (Pasal 34 ayat 1), dan hak
mengembangkan diri lewat pemenuhan kebutuhan dasar (Pasal 28c ayat 1).
Barangkali
rakyat, yang diwakili mahasiswa maupun buruh, tidak akan marah jika pemerintah
konsekuen dan bertekad menghapus segala bentuk dan segala jenis subsidi tanpa
pandang bulu. Tetapi sepertinya pemerintah justru tidak konsekuen karena sama
sekali tidak ada tanda-tanda akan menghapus subsidi yang sebenarnya tidak
perlu. Salah satunya ialah bunga dana rekapitalisasi perbankan akibat krisis
tahun 1998 sebesar Rp600 triliun yang sampai sekarang belum terselesaikan. Tiap
tahun APBN tersedot sekitar Rp60 triliun untuk membayar bunga rekapitalisasi
itu.
Sumber
pembayaran bunga rekapitalisasi itu berasal dari pajak rakyat. Di bank-bank
yang mendapatkan rekapitalisasi, bunga rekapitalisasi masuk sisi pendapatan
yang ikut menentukan besar-kecilnya keuntungan yang didapat bank tiap tahun.
Termasuk yang ikut menerima ialah Bank Danamon, yang pada 2 April 2012, 67,37%
sahamnya dibeli bank Singapura, DBS, senilai S$9,1 miliar (Rp45 triliun).
Padahal, saat BUMN milik pemerintah Singapura, Temasek, mengambil alih Bank
Danamon dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional harganya hanya S$459 juta. Sekarang
mereka bisa menjualnya 20 kali lipat daripada harga awal.
DPR
juga tidak pernah lagi mempersoalkan bunga rekapitalisasi yang hanya dinikmati
segelintir pemilik bank, termasuk dari asing. Pemerintah pun menganggap tak
perlu dicari pemecahannya.
Subsidi
sebetulnya bukan sesuatu yang haram. Subsidi bukan sebuah kejahatan. Bahkan,
subsidi menjadi keharusan sebagai bagian tugas negara untuk mengentaskan mereka
yang miskin. Subsidi merupakan hal yang lazim di negaranegara kesejahteraan (welfare state). Tetapi di negara liberal
dan propasar subsidi juga tetap diberikan.
Pemberian
subsidi sangat ketat, melewati proses seleksi yang amat meletihkan, dan antre
dalam kurun waktu tertentu. Guna melihat apakah subsidi digunakan sebagaimana
mestinya untuk meraih kesejahteraan, secara rutin petugas mendatangi sasaran
subsidi, mencatat, dan melakukan inspeksi apakah betul penerima subsidi masih
layak dibantu.
Ada
sejumlah pelajaran dari pemberian subsidi di negara maju (Kasali, 2012).
Pertama, subsidi tidak boleh jadi alat mendongkrak popularitas pemimpin, baik
itu politisi maupun penguasa. Kedua, subsidi disalurkan melalui lembaga-lembaga
resmi dengan prinsip good governance.
Ketiga, subsidi tidak boleh dilakukan secara massal, apalagi bila subsidi bisa
menjadi substitusi bagi masyarakat yang kaya untuk mengambil hak kaum papa.
Keempat, subsidi diberikan secara selektif, dan dibatasi. Kelima, subsidi
dilakukan dengan pendampingan cukup. Artinya selain untuk pengecekan kelayakan,
barang subsidi juga tidak boleh untuk digunakan di luar dari yang seharusnya.
Bagaimana
subsidi di Indonesia? Sebagian besar mekanisme subsidi bersifat terbuka. Ada
dua konsekuensi skema subsidi semacam ini. Pertama, efektivitas subsidi rendah.
Kedua, sebagai akibatnya, subsidi sebagai alat pemerataan dan sarana menegakan
keadilan tidak tercapai. Subsidi BBM, misalnya, bisa dinikmati secara bebas,
baik oleh orang kaya maupun miskin, baik untuk kerja maupun aktivitas
pelesiran. Selain itu, cakupan subsidi kecil, dan kelembagaannya tidak didesain
dengan baik. Yang celaka, tidak pernah ada cek dan recek apakah subsidi
mencapai sasaran dan digunakan sebagaimana layaknya. Ini terjadi pada banyak
subsidi, salah satunya program bantuan langsung tunai. Karena karakteristik
semacam itu, subsidi tidak hanya bersifat sementara, ad hoc dan fragmentaris,
tetapi juga selalu dimuati nafsu politik untuk menjaga popularitas.
Rakyat
yang buta logika ekonomi yang amat rumit tapi paham ukuran-ukuran keadilan
pasti akan memprotes kebijakan subsidi yang sangat tidak adil. Rencana
pemerintah menaikkan harga BBM untuk mencabut subsidi pasti berakibat pada
kenaikan harga-harga umum. Hal itu pasti memberatkan kehidupan rakyat. Tetapi
meneruskan pemberian subsidi pada orang-orang kaya eks konglomerat, segelintir
perbankan, bahkan dari asing, yang jumlahnya luar biasa besar akan menjadi
tragedi nasional yang menusuk hati rakyat. Sebagai pengemudi negara, pemerintah
bisa menjadi tertuduh atas ketidakadilan tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar