|
KORAN TEMPO, 23 Mei 2013
Dibenci dan dicaci-maki, namun diam-diam juga mempesona dan
diidam-idamkan. Begitulah kira-kira politik di Indonesia hari-hari ini. Di satu
sisi, martabat politik di Indonesia sepertinya sedang menuju titik nadir.
Bertolak dari berbagai peristiwa yang nyata dan diketahui oleh publik, politik
menjadi begitu identik dengan siasat untuk merebut dan mempertahankan
kekuasaan, kadang dengan cara manipulatif, tak jarang dengan melibatkan
permainan uang. Politik juga identik dengan penggunaan kedudukan resmi untuk
mengumpulkan keuntungan pribadi melalui berbagai cara, termasuk korupsi. Pada
diri politikus, publik menemukan bayang-bayang figur kaum Sofis dalam khazanah
Yunani, yang lihai dalam mengubah kesalahan menjadi kebenaran dan kebenaran
menjadi kesalahan. Di tangan mereka, politik nyata tidak mungkin seratus persen
didasari kejujuran, dan niscaya akan melibatkan dusta dan rekayasa.
Kurang-lebih demikianlah gambaran tentang politik di
Indonesia dewasa ini sebagaimana disajikan pemberitaan media, talk show
televisi, berbagai diskusi publik, dan perbincangan panas di media sosial.
Katakanlah yang terjadi ini disebut sebagai krisis moralitas politik ataupun
krisis martabat politik, hampir semua orang terpelajar di negeri ini
memahaminya. Tiada hari tanpa perbincangan tentang politik, yang telanjur
kehilangan martabatnya yang luhur.
Namun, pada sisi lain, mengapa masih banyak orang ingin
menjadi politikus? Bagaimana menjelaskan antusiasme ribuan orang dalam
memperebutkan daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif? Mereka adalah
para pesohor, selebritas, intelektual, aktivis, pengusaha, mantan pejabat, dan
mantan anggota legislatif yang tentu paham duduk masalah krisis yang terjadi.
Mereka selama ini bahkan turut menjadi pengkritik kinerja lembaga legislatif.
Tetapi mengapa kemudian mereka berubah menjadi ngotot ingin menjadi calon anggota
legislatif (caleg)?
Politik menampakkan diri sebagai paradoks, dan sebagian
masyarakat juga menyikapinya secara ambigu. Jika kita menanyakan motif mereka
memasuki dunia politik, sudah pasti kita mendapatkan jawaban yang melegakan.
Mereka ingin merehabilitasi politik yang sudah telanjur bengkok, ingin
menciptakan sesuatu yang berbeda, bertolak dari pengandaian politik sebagai
institusi yang luhur dan membebaskan. Apakah mereka nantinya berhasil menjadi
antitesis dari para pendahulunya, kita boleh optimistis maupun pesimistis.
Pergulatan menjadi anggota lembaga legislatif adalah
pergulatan menjadi manusia politik. Namun manusia politik seperti apakah yang
kita sama-sama bayangkan? Bertolak dari pemikiran filsuf Yunani, Aristoteles,
politik pertama-tama harus dipahami sebagai persoalan pemisahan antara urusan
privat dan urusan publik. Politik baru terjadi ketika seseorang keluar dari
zona kepentingan pribadi untuk memasuki zona tindakan dan perjuangan untuk
kepentingan bersama. Maka, yang pertama-tama harus dilakukan seorang politikus
adalah mengendapkan motif-motif privat: mencari pekerjaan, menumpuk kekayaan,
menggapai kemasyhuran, atau meraih kekuasaan. Mengutip rumusan Hannah Arendt,
motif-motif privat ini adalah segi-segi pra-politik yang dapat menyebabkan
terjadinya kolonisasi urusan pribadi ke dalam urusan publik. Jika kolonisasi
ini dibiarkan terjadi, niscaya politik akan dijalankan semata-mata sebagai
urusan menguasai dan menundukkan orang lain.
Pertanyaannya kemudian: mampukah para caleg itu keluar dari
domain kepentingan pribadi? Atau, jangan-jangan justru motif privat itu yang
mendasari keputusan mereka untuk menjadi caleg. Masalah pokoknya, pemilu
telanjur menjadi sangat materialistik di mata para caleg maupun pemilik hak
suara. Tak syak lagi, politik adalah masalah uang. Menjadi caleg semakin lazim
dijalani dengan logika investasi: membutuhkan modal tidak sedikit, dan karena
itu mesti kembali modal bahkan menghasilkan keuntungan sekian tahun
kemudian.
Ini masalah besar yang kita hadapi saat ini. Max Weber
(1958) membedakan antara politikus yang hidup dari politik dan politikus yang
hidup untuk politik. Antara politikus yang menempatkan politik sebagai sarana
untuk mengejar kepentingan-kepentingan pribadi dan politikus yang menjadikan
politik sebagai tujuan utama bagi proses-proses pengabdian untuk kehidupan
bersama. Kita tidak tahu benar seperti apakah politikus yang notabene akan
dihasilkan dalam hajatan besar dan mahal tahun 2014 nanti.
Meminjam pemikiran Hannah Arendt, manusia politik juga
harus mampu menciptakan distingsi diri dan mampu bertindak secara otentik.
Mereka harus berbeda dengan yang lain dan tidak sekadar mengekor para
seniornya. Mereka harus mampu berjarak dan bersikap kritis terhadap sistem
serta lingkungan. Persoalan distingsi diri ini sangat mendesak untuk ditekankan
di sini. Sudah banyak kasus menunjukkan, politikus yang awalnya baik-baik
secara perlahan-lahan dapat berubah menjadi korup, karena dia memasuki sistem
yang korup atau bergaul dengan orang-orang yang tidak kredibel. Dihadapkan pada
keburukan yang sistemik dan kolektif, mereka tidak berhasil menjaga otentisitas
diri sehingga larut ke dalam mentalitas kawanan. Mereka cepat kehabisan energi
untuk mempertanyakan dan memperbaiki prosedur atau mekanisme politik, lalu
ikut-ikutan para seniornya dalam memperagakan apa yang dikatakan Weber tadi:
menjadikan politik sebagai kendaraan untuk mengejar kepentingan pribadi atau
partai politik.
Problem mentalitas kawanan ini adalah batu besar yang harus
dipecahkan para calon wakil rakyat kita, sekaligus merupakan titik tolak jika
mereka serius ingin memerangi fenomena korupsi berjemaah, mafia anggaran,
komodifikasi pasal undang-undang, dan kongkalikong dalam memperebutkan
jabatan-jabatan publik yang sudah demikian identik dengan kinerja DPR selama
empat tahun terakhir. Manusia politik membutuhkan kemampuan untuk senantiasa
berdialog dengan dirinya sendiri, sehingga berani mengatakan tidak kepada
sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nuraninya, dan berani melawan hal-hak
yang tidak dapat diterima oleh akal sehat.
Karena itu, menjadi manusia politik tentu bukanlah
perjalanan yang gampang. Membutuhkan proses pendidikan, pengkaderan,
penjenjangan, dan pematangan yang panjang. Waktu satu tahun menjelang Pemilu
2014 tentu terlalu pendek untuk menjalankan proses ini dan berisiko untuk
menghasilkan manusia politik dalam pengertian yang lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar