Jumat, 24 Mei 2013

Menjadi Manusia Politik


Menjadi Manusia Politik
Agus Sudibyo  ;  Direktur Indonesia Research Centre
KORAN TEMPO, 23 Mei 2013


Dibenci dan dicaci-maki, namun diam-diam juga mempesona dan diidam-idamkan. Begitulah kira-kira politik di Indonesia hari-hari ini. Di satu sisi, martabat politik di Indonesia sepertinya sedang menuju titik nadir. Bertolak dari berbagai peristiwa yang nyata dan diketahui oleh publik, politik menjadi begitu identik dengan siasat untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, kadang dengan cara manipulatif, tak jarang dengan melibatkan permainan uang. Politik juga identik dengan penggunaan kedudukan resmi untuk mengumpulkan keuntungan pribadi melalui berbagai cara, termasuk korupsi. Pada diri politikus, publik menemukan bayang-bayang figur kaum Sofis dalam khazanah Yunani, yang lihai dalam mengubah kesalahan menjadi kebenaran dan kebenaran menjadi kesalahan. Di tangan mereka, politik nyata tidak mungkin seratus persen didasari kejujuran, dan niscaya akan melibatkan dusta dan rekayasa. 
Kurang-lebih demikianlah gambaran tentang politik di Indonesia dewasa ini sebagaimana disajikan pemberitaan media, talk show televisi, berbagai diskusi publik, dan perbincangan panas di media sosial. Katakanlah yang terjadi ini disebut sebagai krisis moralitas politik ataupun krisis martabat politik, hampir semua orang terpelajar di negeri ini memahaminya. Tiada hari tanpa perbincangan tentang politik, yang telanjur kehilangan martabatnya yang luhur. 
Namun, pada sisi lain, mengapa masih banyak orang ingin menjadi politikus? Bagaimana menjelaskan antusiasme ribuan orang dalam memperebutkan daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif? Mereka adalah para pesohor, selebritas, intelektual, aktivis, pengusaha, mantan pejabat, dan mantan anggota legislatif yang tentu paham duduk masalah krisis yang terjadi. Mereka selama ini bahkan turut menjadi pengkritik kinerja lembaga legislatif. Tetapi mengapa kemudian mereka berubah menjadi ngotot ingin menjadi calon anggota legislatif (caleg)? 
Politik menampakkan diri sebagai paradoks, dan sebagian masyarakat juga menyikapinya secara ambigu. Jika kita menanyakan motif mereka memasuki dunia politik, sudah pasti kita mendapatkan jawaban yang melegakan. Mereka ingin merehabilitasi politik yang sudah telanjur bengkok, ingin menciptakan sesuatu yang berbeda, bertolak dari pengandaian politik sebagai institusi yang luhur dan membebaskan. Apakah mereka nantinya berhasil menjadi antitesis dari para pendahulunya, kita boleh optimistis maupun pesimistis.
Pergulatan menjadi anggota lembaga legislatif adalah pergulatan menjadi manusia politik. Namun manusia politik seperti apakah yang kita sama-sama bayangkan? Bertolak dari pemikiran filsuf Yunani, Aristoteles, politik pertama-tama harus dipahami sebagai persoalan pemisahan antara urusan privat dan urusan publik. Politik baru terjadi ketika seseorang keluar dari zona kepentingan pribadi untuk memasuki zona tindakan dan perjuangan untuk kepentingan bersama. Maka, yang pertama-tama harus dilakukan seorang politikus adalah mengendapkan motif-motif privat: mencari pekerjaan, menumpuk kekayaan, menggapai kemasyhuran, atau meraih kekuasaan. Mengutip rumusan Hannah Arendt, motif-motif privat ini adalah segi-segi pra-politik yang dapat menyebabkan terjadinya kolonisasi urusan pribadi ke dalam urusan publik. Jika kolonisasi ini dibiarkan terjadi, niscaya politik akan dijalankan semata-mata sebagai urusan menguasai dan menundukkan orang lain. 
Pertanyaannya kemudian: mampukah para caleg itu keluar dari domain kepentingan pribadi? Atau, jangan-jangan justru motif privat itu yang mendasari keputusan mereka untuk menjadi caleg. Masalah pokoknya, pemilu telanjur menjadi sangat materialistik di mata para caleg maupun pemilik hak suara. Tak syak lagi, politik adalah masalah uang. Menjadi caleg semakin lazim dijalani dengan logika investasi: membutuhkan modal tidak sedikit, dan karena itu mesti kembali modal bahkan menghasilkan keuntungan sekian tahun kemudian. 
Ini masalah besar yang kita hadapi saat ini. Max Weber (1958) membedakan antara politikus yang hidup dari politik dan politikus yang hidup untuk politik. Antara politikus yang menempatkan politik sebagai sarana untuk mengejar kepentingan-kepentingan pribadi dan politikus yang menjadikan politik sebagai tujuan utama bagi proses-proses pengabdian untuk kehidupan bersama. Kita tidak tahu benar seperti apakah politikus yang notabene akan dihasilkan dalam hajatan besar dan mahal tahun 2014 nanti.
Meminjam pemikiran Hannah Arendt, manusia politik juga harus mampu menciptakan distingsi diri dan mampu bertindak secara otentik. Mereka harus berbeda dengan yang lain dan tidak sekadar mengekor para seniornya. Mereka harus mampu berjarak dan bersikap kritis terhadap sistem serta lingkungan. Persoalan distingsi diri ini sangat mendesak untuk ditekankan di sini. Sudah banyak kasus menunjukkan, politikus yang awalnya baik-baik secara perlahan-lahan dapat berubah menjadi korup, karena dia memasuki sistem yang korup atau bergaul dengan orang-orang yang tidak kredibel. Dihadapkan pada keburukan yang sistemik dan kolektif, mereka tidak berhasil menjaga otentisitas diri sehingga larut ke dalam mentalitas kawanan. Mereka cepat kehabisan energi untuk mempertanyakan dan memperbaiki prosedur atau mekanisme politik, lalu ikut-ikutan para seniornya dalam memperagakan apa yang dikatakan Weber tadi: menjadikan politik sebagai kendaraan untuk mengejar kepentingan pribadi atau partai politik. 
Problem mentalitas kawanan ini adalah batu besar yang harus dipecahkan para calon wakil rakyat kita, sekaligus merupakan titik tolak jika mereka serius ingin memerangi fenomena korupsi berjemaah, mafia anggaran, komodifikasi pasal undang-undang, dan kongkalikong dalam memperebutkan jabatan-jabatan publik yang sudah demikian identik dengan kinerja DPR selama empat tahun terakhir. Manusia politik membutuhkan kemampuan untuk senantiasa berdialog dengan dirinya sendiri, sehingga berani mengatakan tidak kepada sesuatu yang tidak sesuai dengan hati nuraninya, dan berani melawan hal-hak yang tidak dapat diterima oleh akal sehat. 
Karena itu, menjadi manusia politik tentu bukanlah perjalanan yang gampang. Membutuhkan proses pendidikan, pengkaderan, penjenjangan, dan pematangan yang panjang. Waktu satu tahun menjelang Pemilu 2014 tentu terlalu pendek untuk menjalankan proses ini dan berisiko untuk menghasilkan manusia politik dalam pengertian yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar