|
KORAN SINDO, 23 Mei 2013
Banyak orang berpikir budaya korporat bisa dibangun
semata-mata dengan simbol. Tentu saja keliru. Budaya korporat berhubungan erat
dengan proses bisnis. Perhatikanlah bagaimana hal itu terjadi di Garuda
Indonesia yang secara bertahap mulai menunjukkan kinerjanya.
Saya mulai dulu dengan bahasa yang digunakan dalam menyapa tamu yang naik pesawat. Sebagian Anda mungkin mengerti beda arti kata “penumpang” dengan “pelanggan”. Penumpang, jika ini terkait dengan kendaraan— mobil, kereta, atau pesawat—berarti orang yang menumpang atau naik kendaraantersebut. Atau, jikaterkait dengan rumah, berarti orang yang ikut tinggal atau bermalam di rumah tersebut. Saya, misalnya, lebih biasa memakai kata “penumpang” ketimbang “pelanggan” setiap saat berurusan dengan Garuda, walaupun saya terbang seminggu sekali.
Demikian juga surat kabar dan televisi, menyebut orang yang diangkut kendaraan sebagai penumpang. Sementara itu, pelanggan berarti orang yang secara rutin mengonsumsi suatu barang atau jasa tertentu. CEO Garuda Emirsyah Satar menggunakan dua kata tersebut dalam transformasi. Kita bisa menemukan hal ini dalam laporan tahunan Garuda Indonesia terbitan 2007.
Mungkin sebagian kita akan beranggapan cara yang dipakai Emir untuk membedakan “penumpang” dan “pelanggan” terlalu sederhana. Namun, bagi saya, justru di situlah kekuatannya. Dengan ukuran yang sederhana tadi, segalanya menjadi lebih mudah dilihat, bahkan bagi awam sekalipun. Sejak beberapa tahun belakangan ini, saya kira Anda mulai terbiasa disapa “pelanggan” di dalam pesawat Garuda, bukan penumpang. Awalnya terasa ganjil, namun lama-lama biasa juga.
Roger Connors dan Tom Smith (2012) dalam Change The Culture, Change The Game memaparkan, untuk urusan perubahan budaya, kesederhanaan itu bagus. Dengan model yang sederhana, kita malah bisa menemukan kekuatan perubahan. Tetapi sebaliknya, juga banyak yang berpikir, kalau mau dinilai cerdas harus menyajikan dengan rumit. Ini jelas kurang pas. Jika semakin rumit, gerak organisasi pun akan menjadi lambat. Orang akan sulit memahami, sulit melihat.
Business Process
Ternyata, kata penumpang digunakan ketika Garuda mendefinisikan dirinya sebagai perusahaan transportasi. Sebagai perusahaan transportasi, pusat perhatiannya adalah “pesawat” dan “penumpang”. Sementara melalui proses transformasi, Emir menegaskan bahwa Garuda Indonesia harus mendefinisikan dirinya sebagai perusahaan jasa. Maka pusat perhatiannya adalah “pelanggan” dan “karyawan”. Jadi, sangat berbeda.“ Penumpang” vs“pelanggan” dan “pesawat” vs “karyawan”.
Garuda pun masih memilah kembali pelanggannya dalam dua kelompok, yakni pelanggan internal dan eksternal. Pelanggan internal adalah karyawan, sedangkan yang dimaksud dengan pelanggan eksternal adalah para pengguna jasa, yang dulu mereka sebut dengan “penumpang”. Bila masih banyak karyawan Garuda yang menggunakan kata “penumpang”, dan bukan “pelanggan”, pasti ini menggambarkan bahwa mereka masih menganggap Garuda adalah perusahaan transportasi.
Ini berarti karyawan yang bersangkutan masih menggunakan mindset lama, sebab perusahaan sudah melakukan redefinisi ulang bisnisnya. Sebagai perusahaan transportasi, Garuda fokus pada bagaimana memindahkan orang. Urusan lain-lain, seperti kualitas layanan, makananminuman, kenyamanan, keramahan kru, atau bagaimana menciptakan pengalaman terbang yang menyenangkan menjadi urusan yang ke sekian.
Sebaliknya jika Garuda menjadi perusahaan jasa, urusan keselamatan dan ketepatan waktu penting, tapi itu sudah menjadi semacam minimum requirement. Bukan itu selling point-nya. Garuda harus sudah berada di atas ketentuan minimum tadi. Ini untuk membedakan (diferensiasi) Garuda dengan maskapai-maskapai penerbangan lain. Lalu, apa faktor pembedanya? Pengalaman terbang yang menyenangkan, itulah yang harus diciptakan.
Dengan diferensiasi, hal-hal yang menjadi ukuran pun akan berbeda, misalnya kenyamanan, suasana kabin yang menyenangkan dan membuat penumpang merasa hommy, makanan dan minuman, hiburan, keramah-tamahan awak kabin, akan menjadi daya tarik utama. Dengan cara seperti itulah, seorang “penumpang” bisa merasakan bahwa terbang dengan Garuda Indonesia berbeda.
Dari situlah, mereka bisa direkrut menjadi pelanggan. Bahkan jika keterikatannya sedemikian kuat, mereka akan menunda keberangkatan jika tidak dengan Garuda—meski maskapai penerbangan lain tersedia, menjadi fanatisme, penyampai kabar baik tentang pengalaman menyenangkannya terbang dengan Garuda (pelanggan evangelist). Tidak berhenti sampai di situ saja, dari sisi pengelolaan bisnis pun harus ada perubahan.
Dengan mendefinisikan diri sebagai perusahaan transportasi, perhatian utama perusahaan adalah pada pesawat dan maintenance. Sementara dengan menjadi perusahaan jasa, fokus perusahaan adalah pada kualitas sumber daya manusia. Jadi, menurut hemat saya, perbedaan definisi harus membuat proses-proses bisnis di dalam perusahaan pun berubah.
Berubah atau Punah
Kalau kita coba tarik lebih jauh, perbedaan pemahaman antara “penumpang” vs “pelanggan” sebetulnya juga tengah menggambarkan terjadinya respons terhadap perubahan di luar. Lingkungan berubah akibat adanya deregulasi industri penerbangan, yang mengakibatkan udara di atas Indonesia menjadi semakin riuh. Banyak maskapai penerbangan swasta yang masuk dalam bisnis ini, dan mereka menjadi penantang Garuda. Lalu, Garuda juga ingin naik kelas. Ingin menjadi maskapai penerbangan berstandar internasional.
Dengan demikian, lingkungan bisnis Garuda bukan lagi maskapai-maskapai penerbangan berskala nasional, melainkan maskapaimaskapai penerbangan internasional. Garuda Indonesia harus bersaing dengan Singapore Airlines (Singapura), Qatar Airways (Qatar), Cathay Pacific (Hong Kong), Asiana (Korea Selatan), dan Hainan Airlines (China) yang sebagian sudah bertakhta di kategori “Bintang 5” menurut versi Skytrax. Perubahan bisnis dan perubahan lingkungan bisnis menuntut perubahan sistem, perilaku, dan cara kerja.
Bahkan, ia juga menuntut perubahan budaya perusahaan (corporate culture). Butir-butir budaya kerja lama (corporate values) yang sudah tidak relevan lagi dan tidak mendukung proses transformasi di Garuda harus ditinggalkan. Perubahan tata nilai dan budaya kerja ini memang selalu menyertai perusahaan-perusahaan yang melakukan transformasi. Tanpa perubahan tata nilai dan budaya kerja yang baru, mustahil perusahaan mampu bertahan dan mencapai tujuannya.
Ini pas dengan ungkapan yang sangat populer dari Albert Einstein, “Anda bisa gila jika mengharapkan hasil yang berbeda, tetapi terus saja melakukan hal-hal yang sama.” Dalam dialog dengan saya, Emir pernah memaparkan kondisi lama Garuda. “Kami terbiasa monopoli, sehingga tidak market oriented. Organisasi didesain tidak market oriented. Kalau ada keberhasilan, kami susah mengidentifikasi siapa yang mesti diapresiasi. Atau, kalau ada masalah, kami juga sudah menemukan siapa yang mesti bertanggung jawab.
Lapisan-lapisan organisasinya terlalu banyak, terlalu birokratis. Kami selalu terlambat, layanannya di bawah standar, pesawat tua-tua, dan hampir 80% rutenya selalu rugi. Positioning-nya juga tidak jelas. Kami terperangkap dalam persaingan dengan maskapai-maskapai penerbangan baru yang bertarif murah. Jadi, kami juga harus menjual tiket dengan harga murah.” Saya jadi sakit kepala mendengar paparan Emir. Namun, semua hal yang disebut tadi kok pas benar dengan ciri-ciri sebuah organisasi pemerintahan yang out of date.
Maka menjadi jelas buat saya bahwa Garuda memang harus berubah. Bagi saya, ini bukan pilihan, melainkan keharusan. Tanpa melakukan transformasi nilai-nilai dan budaya kerjanya, manusia-manusia yang ada di dalam institusi tersebut akan tetap melakukan hal-hal yang sama, dengan cara-cara yang sama, seperti yang mereka lakukan di masa lalu. Lingkungan bisnis berubah, perusahaan dan manusia yang ada di dalamnya pun harus berubah, maka business processnya pun otomatis berubah. Jadi, budaya korporat tidak bisa dilepaskan dari proses bisnis. Satu saja ditahan, tak terjadilah perubahan. ●
Saya mulai dulu dengan bahasa yang digunakan dalam menyapa tamu yang naik pesawat. Sebagian Anda mungkin mengerti beda arti kata “penumpang” dengan “pelanggan”. Penumpang, jika ini terkait dengan kendaraan— mobil, kereta, atau pesawat—berarti orang yang menumpang atau naik kendaraantersebut. Atau, jikaterkait dengan rumah, berarti orang yang ikut tinggal atau bermalam di rumah tersebut. Saya, misalnya, lebih biasa memakai kata “penumpang” ketimbang “pelanggan” setiap saat berurusan dengan Garuda, walaupun saya terbang seminggu sekali.
Demikian juga surat kabar dan televisi, menyebut orang yang diangkut kendaraan sebagai penumpang. Sementara itu, pelanggan berarti orang yang secara rutin mengonsumsi suatu barang atau jasa tertentu. CEO Garuda Emirsyah Satar menggunakan dua kata tersebut dalam transformasi. Kita bisa menemukan hal ini dalam laporan tahunan Garuda Indonesia terbitan 2007.
Mungkin sebagian kita akan beranggapan cara yang dipakai Emir untuk membedakan “penumpang” dan “pelanggan” terlalu sederhana. Namun, bagi saya, justru di situlah kekuatannya. Dengan ukuran yang sederhana tadi, segalanya menjadi lebih mudah dilihat, bahkan bagi awam sekalipun. Sejak beberapa tahun belakangan ini, saya kira Anda mulai terbiasa disapa “pelanggan” di dalam pesawat Garuda, bukan penumpang. Awalnya terasa ganjil, namun lama-lama biasa juga.
Roger Connors dan Tom Smith (2012) dalam Change The Culture, Change The Game memaparkan, untuk urusan perubahan budaya, kesederhanaan itu bagus. Dengan model yang sederhana, kita malah bisa menemukan kekuatan perubahan. Tetapi sebaliknya, juga banyak yang berpikir, kalau mau dinilai cerdas harus menyajikan dengan rumit. Ini jelas kurang pas. Jika semakin rumit, gerak organisasi pun akan menjadi lambat. Orang akan sulit memahami, sulit melihat.
Business Process
Ternyata, kata penumpang digunakan ketika Garuda mendefinisikan dirinya sebagai perusahaan transportasi. Sebagai perusahaan transportasi, pusat perhatiannya adalah “pesawat” dan “penumpang”. Sementara melalui proses transformasi, Emir menegaskan bahwa Garuda Indonesia harus mendefinisikan dirinya sebagai perusahaan jasa. Maka pusat perhatiannya adalah “pelanggan” dan “karyawan”. Jadi, sangat berbeda.“ Penumpang” vs“pelanggan” dan “pesawat” vs “karyawan”.
Garuda pun masih memilah kembali pelanggannya dalam dua kelompok, yakni pelanggan internal dan eksternal. Pelanggan internal adalah karyawan, sedangkan yang dimaksud dengan pelanggan eksternal adalah para pengguna jasa, yang dulu mereka sebut dengan “penumpang”. Bila masih banyak karyawan Garuda yang menggunakan kata “penumpang”, dan bukan “pelanggan”, pasti ini menggambarkan bahwa mereka masih menganggap Garuda adalah perusahaan transportasi.
Ini berarti karyawan yang bersangkutan masih menggunakan mindset lama, sebab perusahaan sudah melakukan redefinisi ulang bisnisnya. Sebagai perusahaan transportasi, Garuda fokus pada bagaimana memindahkan orang. Urusan lain-lain, seperti kualitas layanan, makananminuman, kenyamanan, keramahan kru, atau bagaimana menciptakan pengalaman terbang yang menyenangkan menjadi urusan yang ke sekian.
Sebaliknya jika Garuda menjadi perusahaan jasa, urusan keselamatan dan ketepatan waktu penting, tapi itu sudah menjadi semacam minimum requirement. Bukan itu selling point-nya. Garuda harus sudah berada di atas ketentuan minimum tadi. Ini untuk membedakan (diferensiasi) Garuda dengan maskapai-maskapai penerbangan lain. Lalu, apa faktor pembedanya? Pengalaman terbang yang menyenangkan, itulah yang harus diciptakan.
Dengan diferensiasi, hal-hal yang menjadi ukuran pun akan berbeda, misalnya kenyamanan, suasana kabin yang menyenangkan dan membuat penumpang merasa hommy, makanan dan minuman, hiburan, keramah-tamahan awak kabin, akan menjadi daya tarik utama. Dengan cara seperti itulah, seorang “penumpang” bisa merasakan bahwa terbang dengan Garuda Indonesia berbeda.
Dari situlah, mereka bisa direkrut menjadi pelanggan. Bahkan jika keterikatannya sedemikian kuat, mereka akan menunda keberangkatan jika tidak dengan Garuda—meski maskapai penerbangan lain tersedia, menjadi fanatisme, penyampai kabar baik tentang pengalaman menyenangkannya terbang dengan Garuda (pelanggan evangelist). Tidak berhenti sampai di situ saja, dari sisi pengelolaan bisnis pun harus ada perubahan.
Dengan mendefinisikan diri sebagai perusahaan transportasi, perhatian utama perusahaan adalah pada pesawat dan maintenance. Sementara dengan menjadi perusahaan jasa, fokus perusahaan adalah pada kualitas sumber daya manusia. Jadi, menurut hemat saya, perbedaan definisi harus membuat proses-proses bisnis di dalam perusahaan pun berubah.
Berubah atau Punah
Kalau kita coba tarik lebih jauh, perbedaan pemahaman antara “penumpang” vs “pelanggan” sebetulnya juga tengah menggambarkan terjadinya respons terhadap perubahan di luar. Lingkungan berubah akibat adanya deregulasi industri penerbangan, yang mengakibatkan udara di atas Indonesia menjadi semakin riuh. Banyak maskapai penerbangan swasta yang masuk dalam bisnis ini, dan mereka menjadi penantang Garuda. Lalu, Garuda juga ingin naik kelas. Ingin menjadi maskapai penerbangan berstandar internasional.
Dengan demikian, lingkungan bisnis Garuda bukan lagi maskapai-maskapai penerbangan berskala nasional, melainkan maskapaimaskapai penerbangan internasional. Garuda Indonesia harus bersaing dengan Singapore Airlines (Singapura), Qatar Airways (Qatar), Cathay Pacific (Hong Kong), Asiana (Korea Selatan), dan Hainan Airlines (China) yang sebagian sudah bertakhta di kategori “Bintang 5” menurut versi Skytrax. Perubahan bisnis dan perubahan lingkungan bisnis menuntut perubahan sistem, perilaku, dan cara kerja.
Bahkan, ia juga menuntut perubahan budaya perusahaan (corporate culture). Butir-butir budaya kerja lama (corporate values) yang sudah tidak relevan lagi dan tidak mendukung proses transformasi di Garuda harus ditinggalkan. Perubahan tata nilai dan budaya kerja ini memang selalu menyertai perusahaan-perusahaan yang melakukan transformasi. Tanpa perubahan tata nilai dan budaya kerja yang baru, mustahil perusahaan mampu bertahan dan mencapai tujuannya.
Ini pas dengan ungkapan yang sangat populer dari Albert Einstein, “Anda bisa gila jika mengharapkan hasil yang berbeda, tetapi terus saja melakukan hal-hal yang sama.” Dalam dialog dengan saya, Emir pernah memaparkan kondisi lama Garuda. “Kami terbiasa monopoli, sehingga tidak market oriented. Organisasi didesain tidak market oriented. Kalau ada keberhasilan, kami susah mengidentifikasi siapa yang mesti diapresiasi. Atau, kalau ada masalah, kami juga sudah menemukan siapa yang mesti bertanggung jawab.
Lapisan-lapisan organisasinya terlalu banyak, terlalu birokratis. Kami selalu terlambat, layanannya di bawah standar, pesawat tua-tua, dan hampir 80% rutenya selalu rugi. Positioning-nya juga tidak jelas. Kami terperangkap dalam persaingan dengan maskapai-maskapai penerbangan baru yang bertarif murah. Jadi, kami juga harus menjual tiket dengan harga murah.” Saya jadi sakit kepala mendengar paparan Emir. Namun, semua hal yang disebut tadi kok pas benar dengan ciri-ciri sebuah organisasi pemerintahan yang out of date.
Maka menjadi jelas buat saya bahwa Garuda memang harus berubah. Bagi saya, ini bukan pilihan, melainkan keharusan. Tanpa melakukan transformasi nilai-nilai dan budaya kerjanya, manusia-manusia yang ada di dalam institusi tersebut akan tetap melakukan hal-hal yang sama, dengan cara-cara yang sama, seperti yang mereka lakukan di masa lalu. Lingkungan bisnis berubah, perusahaan dan manusia yang ada di dalamnya pun harus berubah, maka business processnya pun otomatis berubah. Jadi, budaya korporat tidak bisa dilepaskan dari proses bisnis. Satu saja ditahan, tak terjadilah perubahan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar