Rabu, 01 Mei 2013

Mengurai Galau Perburuhan


Mengurai Galau Perburuhan
Sugeng Santoso P.N. ;  Hakim Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Surabaya, Calon Doktor Ilmu Hukum Universitas Airlangga
JAWA POS, 01 Mei 2013


May Day atau Hari Buruh Internasional diperingati setiap 1 Mei di seluruh dunia. Di Surabaya, acara tersebut akan dihadiri langsung oleh Presiden SBY (Jawa Pos, 28 April). Begitu hebohnya May Day, bahkan yang berstatus buruh maupun bukan akan terlibat atau terpaksa terlibat karena jalan-jalan macet lantaran demo dan tidak bisa melakukan kegiatan sebagaimana hari-hari kerja yang lain. Inilah efek kegalauan hubungan industrial.

Hubungan industrial sebenarnya merupakan hubungan antara buruh dan majikan/pengusaha dalam proses produksi yang didasarkan pada perjanjian kerja. Namun, posisi buruh sampai saat ini masih belum seimbang jika dibanding majikan/pengusaha. Karena itu, diterbitkanlah berbagai peraturan perundang-undangan, terutama untuk melindungi para buruh. Pemerintah, lewat Kementerian Tenaga Kerja, melakukan pembinaan dan pengawasan agar hubungan industrial bisa berjalan sesuai dengan peraturan. 

Meski UU Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan secara jelas menyebutkan bahwa norma hubungan industrial yang melibatkan buruh, pengusaha, dan pemerintah didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, faktanya, sering terjadi penyimpangan. Protes buruh terus terjadi, apalagi saat May Day. 

Serikat pekerja (SP) mempunyai peran penting dalam membantu anggota-anggotanya dan memperjuangkan hak-hak mereka. Banyak SP yang akomodatif. Ada pula SP yang cenderung konfrontatif, bahkan kegiatannya banyak turun ke jalan (kapan bekerjanya?). Siapa tahu, semakin banyak SP tersebut turun ke jalan, membuat macet di jalan, dan memaksakan pendapatnya, hal itu bisa menjadi ''media promosi'' organisasinya yang berujung pada meningkatnya jumlah anggota serta iuran.

Dalam perselisihan antara buruh yang dibantu SP tertentu dan perusahaan, justru sangat sulit tercapai kesepakatan. Ujungnya adalah berakhirnya hubungan kerja, bahkan ada SP yang berupaya memailitkan perusahaan. Jelas, itu bukan penyelesaian yang ''murah'' karena buruh juga terbebani biaya proses penyelesaian yang rumit, padahal mereka sudah tidak bekerja. 

Memang, pengusaha harus memenuhi kewajiban-kewajiban normatif mereka. Hak-hak buruh yang telah diperjanjikan merupakan hak mereka. Pengusaha tidak boleh lagi melakukan tindakan-tindakan yang melanggar undang-undang. Putusan Mahkamah Agung Nomor 687 K/Pid.Sus/2012 yang memberikan hukuman 1 (satu) tahun penjara kepada pengusaha yang membayar upah di bawah UMK (upah minimum kabupaten/ kota) seharusnya menjadi preseden (contoh) untuk tidak diulangi pengusaha di negara ini. 

Di sisi lain, sistem otonomi daerah dan sistem pemilihan langsung kepala daerah memang berpengaruh positif dalam hal pembelajaran demokrasi kepada warga. Namun, hal itu ternyata berdampak negatif dalam setiap perselisihan buruh-pengusaha. Kepala daerah atau siapa pun tokoh politik kerap bekerja sama dengan tokoh-tokoh buruh, apalagi kepala daerah tersebut menganut ajaran Jeremy Bentham dengan greatest-happiness principle-nya. Sebab, SP adalah organisasi berbasis massa yang sangat menjanjikan untuk mendukung tokoh politik dalam pemilu atau pilkada. Kepala daerah mempunyai kepentingan dalam setiap kebijakan perburuhan. Meski, sebaliknya, tidak menutup kemungkinan adanya kesepakatan kepala daerah dengan pengusaha yang merugikan para buruh.

Kurangi Peran ''Broker'' 

Permasalahan buruh dan pengusaha pada dasarnya terletak pada kurang adanya jaminan kesejahteraan, baik berupa jaminan pekerjaan (job secure) maupun adanya penghasilan yang terus-menerus (financial secure). Selain itu, perlindungan negara terhadap tindakan sewenang-wenang pengusaha yang secara posisi ekonomi lebih kuat dibanding buruh belum optimal. 

Bagaimana solusinya? Pertama, pemerintah sebagai lembaga eksekutif dan DPRD sebagai lembaga legislatif yang mengemban amanah langsung untuk menyejahteraan seluruh warga, termasuk kelompok buruh, seharusnya mengembalikan posisi tersebut. Berikan jaminan job secure dan financial secure dengan membuat program-program pembangunan dan ketentuan-ketentuan perundangan yang mendukung. 

Kedua, pemerintah, khususnya Kementerian Tenaga Kerja, sebagai pelaku sekaligus pengawas hubungan industrial bertanggung jawab menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan terbebas dari pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak buruh. Instansi itu seharusnya bersikap lebih tegas dan tanpa kompromi. Tetapi, di sisi lain, mereka harus tetap pula memberikan perlindungan kepada pengusaha yang baik dan patuh pada aturan.

Ketiga, mengembalikan posisi buruh dan pekerja dengan meminimalkan peran ''broker'' dalam menyalurkan aspirasi dan menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi. Perantara dalam hubungan antara buruh dan pengusaha yang diwakili Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) maupun SP harus benar-benar dilakukan untuk murni kepentingan pengusaha dan murni kepentingan buruh. Bukan untuk kepentingan Apindo atau SP atau oknum-oknum di balik organisasi tersebut.

Akhirnya, harapan masyarakat pada umumnya, May Day, Peringatan Hari Buruh Internasional, harus dirayakan secara bersama dalam bentuk peringatan yang menarik, tidak merugikan umum, agar muncul rasa simpati akan nasib para buruh. Tidak dengan cara sebaliknya yang menimbulkan rasa dongkol dan jengkel karena jalan-jalan macet hingga berjam-jam dan merugikan banyak orang. Baik juga keputusan yang menjadikan May Day sebagai hari libur nasional.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar