|
KORAN SINDO, 01 Mei 2013
Eksekusi Susno Duadji membuat penegakan hukum menjadi
cibiran masyarakat, terutama masyarakat kalangan bawah, apalagi mereka yang
tuna apalagi yang tidak paham hukum di mana tanpa resistensi menurut saja
digiring ke dalam penjara.
Eksekusi bergantung pada bunyi putusan pengadilan dengan susunan majelis terdiri sekurang- kurangnya tiga orang hakim. Mengapa harus tiga dan untuk tipikor harus lima anggota majelis dan satu ketua, sudah tentu agar putusan ditetapkan secara cermat dan memenuhi kepastian hukum dan keadilan baik bagi terdakwa maupun bagi masyarakat selaku pembayar pajak.
Majelis hakim sejak sidang pertama sampai sidang pembacaan putusan wajib mengikuti ketentuan hukum acara (KUHAP) dan sekali-kali hakim tidak boleh mengabaikan pasal dan ayat suatu undang-undang betapapun sepele dalam pandangan hakim. Begitu juga hakim tidak boleh memberikan tafsir lain selain yang ditulis dan dicantumkan dalam KUHAP.
Tugas majelis hakim agung selaku judex iuris berdasarkan KUHAP antara lain apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan sebagaimana mestinya (Pasal 253 ayat 1 huruf a) dan kepada majelis hakim agung juga diberikan wewenang menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa (Pasal 253 ayat 5 a).
Ada tiga pasal dalam KUHAP yang memerintahkan hakim untuk memutuskan terdakwa ditahan atau tetap ditahan atau dibebaskan (Pasal 190, Pasal 193, dan Pasal 253 ayat (5) a). Namun, perintah yang bersifat opsional dalam ketiga pasal tersebut dikunci dalam Pasal 197 ayat (1) khusus huruf k dan merupakan salah satu persyaratan jika tidak dipenuhi, putusan batal demi hukum sekalipun putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kita semua mengetahui benar apa yang menjadi latar belakang dari eksistensi Pasal 197 ayat (2) KUHAP karena memorie van toelichtingtidak jelas, hanya menjelaskan kekeliruan penulisan atau pengetikan dalam putusan tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum. Putusan MK RI untuk pengajuanujimateri Pasal297ayat (1) huruf k dan ayat (2) mengenai putusan batal demi hukum hanya berlaku prospektif. Lagipula soal tafsir norma undang-undang tidak ada kaitan langsung dengan kerugian konstitusional melainkan merupakan penerapan suatu undang-undang.
Sekalipun putusan MK RI tidak mengubah keadaan sebelumnya tetapi kekeliruan dalam putusan pengadilan tidak dapat ditoleransi sama sekali. Karena irah-irah“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak patut digunakan secara lalai karena menyangkut nasib seorang warga negara pencari keadilan.
Seharusnya majelis hakim agung sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya memperbaiki amar putusan PN dan PT yang tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan yang jika dibiarkan mengakibatkan putusan batal demi hukum. Eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sudah benar karena melaksanakan perintah pengadilan berdasarkan Pasal 270 KUHAP dan UU Kejaksaan.
Di sisi lain, perlawanan Susno Duadji selaku terhukum dapat dibenarkan karena sekalipun dalam status terhukum yang bersangkutan masih memiliki hak asasi untuk tetap bersikukuh bahwa konsistensi penerapan ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP harus dipertahankan karena menyangkut nasib yang bersangkutan.
Seyogianya MA RI jemput bola dan tidak membiarkan eksekusi perkara ini berlarut-larut karena sumber masalahnya bukan pada eksekusinya, melainkan pada ketidakcermatan majelis hakim sejak tingkat PN, PT, dan MA. Begitu pula KY perlu turun tangan bersama MA RI ikut menyelesaikan persoalan ini. Karena salah satu fungsi KY adalah memelihara dan menjaga harkat dan martabat hakim, bunyi amar putusan tersebut telah melemahkan kewibawaan kekuasaan kehakiman.
Patut dijadikan renungan dan perhatian tiga lembaga kekuasaan kehakiman (MA, Kejaksaan Agung, dan Polri) bahwa mandulnya eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap merupakan ancaman serius terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka di Indonesia dan mempermalukan Indonesia sebagai negara hukum.
MA RI dan KY perlu membentuk tim eksaminasi terhadap putusan PN, PT, dan MA dalam perkara Susno Duadji sebagai bentuk pertanggungjawaban dan komitmen kedua lembaga negara yang dilindungi konstitusi kepada publik. Ketua MA RI, Jaksa Agung, dan Kapolri sepatutnya duduk bersama menemukan solusi hukum untuk perkara ini dan perkara yang sama pada masa yang akan datang.
Penetapan Susno Duadji sebagai buron merupakan langkah tepat, tetapi tidak menyelesaikan substansi masalah kecuali pengalihan tanggung jawab menemukan Susno beralih kepada kepolisian, bukan kejaksaan lagi sesuai KUHAP. Semua pihak perlu secara objektif dan jernih mengkritisi kasus “perlawanan Susno” dan eksekusi oleh kejaksaan.
Karena sumber permasalahan bukan pada kedua pihak tersebut melainkan pada “kekeliruan majelis” dalam membuat putusan yang telah merugikan perasaan keadilan Susno dan keadilan masyarakat. Sungguh sangat tidak masuk akal putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sulit dieksekusi, tetapi sungguh terlebih lebih tidak masuk akal jika norma hukum acara yang menjadi syarat sahnya suatu putusan luput dari perhatian tiga majelis hakim sejak di PN, PT, dan MA.
Kebiasaan buruk mengabaikan norma imperatif dan syarat dimaksud pada setiap putusan tidak dapat termasuk presedent apalagi yurisprudensi karena keberlakuannya adalah sematamata pencari keadilan tuna hukum atau penasihat hukum tidak peduli terhadap penegakan keadilan terhadap setiap kekeliruan atau kesewenangan penegak hukum.
Skandal penegakan hukum dalam perkara Susno menjadi momentum pembelajaran dan introspeksi terhadap jajaran kekuasaan kehakiman bahwa kini rakyat pascareformasi telah sadar hukum dan tahu langkah hukum yang cacat dan yang benar; pintar membedakan “mana loyang” dan “mana emas”. Rakyat kini telah mengetahui hak-haknya karena telah sadar berkonstitusi bukan semata-mata sadar hukum. ●
Eksekusi bergantung pada bunyi putusan pengadilan dengan susunan majelis terdiri sekurang- kurangnya tiga orang hakim. Mengapa harus tiga dan untuk tipikor harus lima anggota majelis dan satu ketua, sudah tentu agar putusan ditetapkan secara cermat dan memenuhi kepastian hukum dan keadilan baik bagi terdakwa maupun bagi masyarakat selaku pembayar pajak.
Majelis hakim sejak sidang pertama sampai sidang pembacaan putusan wajib mengikuti ketentuan hukum acara (KUHAP) dan sekali-kali hakim tidak boleh mengabaikan pasal dan ayat suatu undang-undang betapapun sepele dalam pandangan hakim. Begitu juga hakim tidak boleh memberikan tafsir lain selain yang ditulis dan dicantumkan dalam KUHAP.
Tugas majelis hakim agung selaku judex iuris berdasarkan KUHAP antara lain apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan sebagaimana mestinya (Pasal 253 ayat 1 huruf a) dan kepada majelis hakim agung juga diberikan wewenang menetapkan apakah terdakwa perlu tetap ditahan atau tidak baik karena wewenang jabatannya maupun atas permintaan terdakwa (Pasal 253 ayat 5 a).
Ada tiga pasal dalam KUHAP yang memerintahkan hakim untuk memutuskan terdakwa ditahan atau tetap ditahan atau dibebaskan (Pasal 190, Pasal 193, dan Pasal 253 ayat (5) a). Namun, perintah yang bersifat opsional dalam ketiga pasal tersebut dikunci dalam Pasal 197 ayat (1) khusus huruf k dan merupakan salah satu persyaratan jika tidak dipenuhi, putusan batal demi hukum sekalipun putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Kita semua mengetahui benar apa yang menjadi latar belakang dari eksistensi Pasal 197 ayat (2) KUHAP karena memorie van toelichtingtidak jelas, hanya menjelaskan kekeliruan penulisan atau pengetikan dalam putusan tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum. Putusan MK RI untuk pengajuanujimateri Pasal297ayat (1) huruf k dan ayat (2) mengenai putusan batal demi hukum hanya berlaku prospektif. Lagipula soal tafsir norma undang-undang tidak ada kaitan langsung dengan kerugian konstitusional melainkan merupakan penerapan suatu undang-undang.
Sekalipun putusan MK RI tidak mengubah keadaan sebelumnya tetapi kekeliruan dalam putusan pengadilan tidak dapat ditoleransi sama sekali. Karena irah-irah“Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” tidak patut digunakan secara lalai karena menyangkut nasib seorang warga negara pencari keadilan.
Seharusnya majelis hakim agung sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya memperbaiki amar putusan PN dan PT yang tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan yang jika dibiarkan mengakibatkan putusan batal demi hukum. Eksekusi Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sudah benar karena melaksanakan perintah pengadilan berdasarkan Pasal 270 KUHAP dan UU Kejaksaan.
Di sisi lain, perlawanan Susno Duadji selaku terhukum dapat dibenarkan karena sekalipun dalam status terhukum yang bersangkutan masih memiliki hak asasi untuk tetap bersikukuh bahwa konsistensi penerapan ketentuan Pasal 197 ayat (2) KUHAP harus dipertahankan karena menyangkut nasib yang bersangkutan.
Seyogianya MA RI jemput bola dan tidak membiarkan eksekusi perkara ini berlarut-larut karena sumber masalahnya bukan pada eksekusinya, melainkan pada ketidakcermatan majelis hakim sejak tingkat PN, PT, dan MA. Begitu pula KY perlu turun tangan bersama MA RI ikut menyelesaikan persoalan ini. Karena salah satu fungsi KY adalah memelihara dan menjaga harkat dan martabat hakim, bunyi amar putusan tersebut telah melemahkan kewibawaan kekuasaan kehakiman.
Patut dijadikan renungan dan perhatian tiga lembaga kekuasaan kehakiman (MA, Kejaksaan Agung, dan Polri) bahwa mandulnya eksekusi putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap merupakan ancaman serius terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka di Indonesia dan mempermalukan Indonesia sebagai negara hukum.
MA RI dan KY perlu membentuk tim eksaminasi terhadap putusan PN, PT, dan MA dalam perkara Susno Duadji sebagai bentuk pertanggungjawaban dan komitmen kedua lembaga negara yang dilindungi konstitusi kepada publik. Ketua MA RI, Jaksa Agung, dan Kapolri sepatutnya duduk bersama menemukan solusi hukum untuk perkara ini dan perkara yang sama pada masa yang akan datang.
Penetapan Susno Duadji sebagai buron merupakan langkah tepat, tetapi tidak menyelesaikan substansi masalah kecuali pengalihan tanggung jawab menemukan Susno beralih kepada kepolisian, bukan kejaksaan lagi sesuai KUHAP. Semua pihak perlu secara objektif dan jernih mengkritisi kasus “perlawanan Susno” dan eksekusi oleh kejaksaan.
Karena sumber permasalahan bukan pada kedua pihak tersebut melainkan pada “kekeliruan majelis” dalam membuat putusan yang telah merugikan perasaan keadilan Susno dan keadilan masyarakat. Sungguh sangat tidak masuk akal putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sulit dieksekusi, tetapi sungguh terlebih lebih tidak masuk akal jika norma hukum acara yang menjadi syarat sahnya suatu putusan luput dari perhatian tiga majelis hakim sejak di PN, PT, dan MA.
Kebiasaan buruk mengabaikan norma imperatif dan syarat dimaksud pada setiap putusan tidak dapat termasuk presedent apalagi yurisprudensi karena keberlakuannya adalah sematamata pencari keadilan tuna hukum atau penasihat hukum tidak peduli terhadap penegakan keadilan terhadap setiap kekeliruan atau kesewenangan penegak hukum.
Skandal penegakan hukum dalam perkara Susno menjadi momentum pembelajaran dan introspeksi terhadap jajaran kekuasaan kehakiman bahwa kini rakyat pascareformasi telah sadar hukum dan tahu langkah hukum yang cacat dan yang benar; pintar membedakan “mana loyang” dan “mana emas”. Rakyat kini telah mengetahui hak-haknya karena telah sadar berkonstitusi bukan semata-mata sadar hukum. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar