Minggu, 12 Mei 2013

Mengkultivasi Kritisisme Masyarakat


Mengkultivasi Kritisisme Masyarakat
Asep Purnama Bahtiar ;  Wakil Dekan FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
TEMPO.CO, 11 Mei 2013


Berbagai kasus mutakhir di Tanah Air menunjukkan fenomena yang mencemaskan ketika negara begitu dominan dan mendikte banyak urusan masyarakat sekaligus menafikan hak publik dan akses partisipatorisnya untuk turut memperbaiki dan membenahinya. Contoh kasus mutakhir ujian nasional (UN) untuk tingkat SMA/SMK yang karut-marut dengan segala eksesnya, dan Kurikulum 2013 yang dipaksakan berlaku tahun ini, memamerkan arogansi kekuasaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas protes dan kritik masyarakat luas.

Sementara itu, negara tidak berdaya dan kehilangan nyali untuk menjaga kedaulatan bangsa, kepentingan nasional, dan kebutuhan hidup masyarakat luas ketika berhadapan dengan korporasi multinasional dan agen-agen neoliberalisme dan neokapitalisme di Tanah Air. Kewibawaan negara, supremasi hukum, dan kemandirian ekonomi bangsa ini mengalami krisis karena tergadaikan untuk melayani kepentingan pihak asing dan para kompradornya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa panggung politik di Tanah Air hiruk-pikuk dengan kepalsuan dan gegap-gempita dengan kepura-puraan tetapi tuna dari keteladanan dan kalis dari karakter kenegarawanan.

Daya hidup

Berkaitan dengan hal tersebut, sudah mendesak untuk segera merealisasi agenda kebangsaan yang bisa memperkuat posisi masyarakat atau rakyat di negeri ini. Hal ini bukan hanya karena, dalam banyak kasus, masyarakat masih tersubordinasi oleh negara, tetapi juga rentan menjadi korban ketamakan kalangan elite, kerakusan para budak materi, dan keculasan kasta penghamba kekuasaan kendati dengan memperalat ajaran agama.

Di tengah sikap mental seperti itu, harus tetap ada optimisme bahwa publik dan bangsa ini masih punya kemauan untuk belajar dan berubah. Kemauan tersebut umpamanya dengan saling berbagi dan bersikap kritis di antara sesama sehingga memiliki kemampuan untuk memperbaiki dan menata ulang kehidupannya agar semakin maju dan berkeadaban dengan daya hidup (elan vital) masyarakat.

Dalam tingkat dan kemajuan yang berbeda, dengan daya hidupnya itu, masyarakat memiliki budaya atau kebudayaan dan potensi yang bisa diaktualkan untuk membangun kritisisme publik. Relevan dengan proposisi tersebut, budaya atau kebudayaan yang dimaksud adalah seperti yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1994), yakni sebagai suatu kompleks dari ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, serta kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat

Budaya tersebut bisa dilihat dari aktivitas hidup sehari-hari dan interaksi sosial yang berlangsung dalam kehidupan publik. Karena itu, pada dasarnya budaya bertalian erat dengan cara dan kebiasaan hidup manusia, dan hal itu tidak bisa lepas dari mode of thought, sikap mental, dan alam pikiran yang dimilikinya, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat dan kesadaran kolektif bangsa dalam jalinan sosialnya.

Kurang-lebih seperti itulah daya hidup masyarakat dan relasinya dengan kebudayaan, baik yang dilakoni secara sendirian maupun dijalani bersama-sama. Sebetulnya, masyarakat itu dinamis dan bisa menerima perubahan atau bisa diajak untuk berubah ke arah yang lebih baik kendati negara memainkan kekuasaannya untuk melakukan represi dan distorsi.

Kultivasi kritisisme

Dalam konteks seperti itulah arti penting kultivasi kritisisme (criticism cultivation) perlu didesain sebagai agenda kebangsaan bagi penguatan dan pencerahan publik. Proyek semacam ini sebetulnya bukan hal baru di Tanah Air karena sudah digarap oleh kaum pergerakan sejak awal abad ke-20 seperti Budi Utomo (1908), Syarikat Dagang Islam (1911, yang berubah menjadi Syarikat Islam pada 1912), dan Persyarikatan Muhammadiyah (1912). LSM dan kelompok kritis lainnya, paling tidak sejak 1970-an dan 1980-an, kemudian ikut menyinambungkan gerakannya.

Secara leksikal, kultivasi erat berkaitan dengan pengembangan akal pikiran, pengayaan wawasan intelektual, dan kepentingan pembelajaran atau pelatihan. Dalam Webster’s New World Dictionary (1991: 337) , articultivation di antaranya adalah “to improve by care, training, or study; refine [to cultivate one’s mind].”

Kritisisme adalah daya dan sekaligus visi hidup dalam bertindak untuk membuat suatu keputusan dan menganalisis masalah (yang mengandung kekeliruan dan potensi yang merugikan kemaslahatan publik) hingga bisa menghasilkan kesimpulan yang bernilai dan alternatif yang lebih baik. Dengan kritisisme, individu atau publik tidak akan mudah percaya dan menerima begitu saja informasi, berita, kebijakan, dan fakta yang dijejalkan oleh negara atau penguasa atau dalih politik yang memperalat ajaran agama, termasuk berita dan tayangan yang disajikan berlebihan oleh media massa.

Dalam kritisisme, nalar dan akal budi kembali diperankan secara tepat, bukan sekadar rasio instrumental yang sarat kalkulasi ekonomi dan hanya menjadikan rasio sebagai alat. Kritisisme dimaksud bertalian kuat dengan nalar obyektif yang bersifat universal untuk melakukan pembebasan (emansipasi) manusia atau publik dari perbudakan kekuasaan, struktur sosial yang senjang, juga pernyataan yang manipulatif dan menyesatkan.

Bagi kepentingan masyarakat tersebut, perlu disusun desain kultivasi kritisisme yang efektif dan sekaligus produktif. Penyadaran dan pemberdayaan yang bergumul langsung dalam problema kehidupan masyarakat dengan mempertimbangkan karakter dan latar masalah yang mungkin tidak sama antara masyarakat yang satu dan yang lain perlu dilakukan secara lebih intensif oleh ormas, LSM, kalangan intelektual, gerakan mahasiswa, aktivis gerakan sosial baru, dan kelompok-kelompok kritis lainnya. Program “Belajar Bersama Rakyat”, “Pendidikan Politik untuk Publik”, “Pendidikan Kewargaan Partisipatoris”, dan yang sejenisnya bisa menjadi alternatif untuk mengkultivasi kritisisme masyarakat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar