|
TEMPO.CO, 11 Mei 2013
Berbagai kasus mutakhir di Tanah
Air menunjukkan fenomena yang mencemaskan ketika negara begitu dominan dan
mendikte banyak urusan masyarakat sekaligus menafikan hak publik dan akses
partisipatorisnya untuk turut memperbaiki dan membenahinya. Contoh kasus mutakhir
ujian nasional (UN) untuk tingkat SMA/SMK yang karut-marut dengan segala
eksesnya, dan Kurikulum 2013 yang dipaksakan berlaku tahun ini, memamerkan
arogansi kekuasaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas protes dan kritik
masyarakat luas.
Sementara itu, negara tidak berdaya
dan kehilangan nyali untuk menjaga kedaulatan bangsa, kepentingan nasional, dan
kebutuhan hidup masyarakat luas ketika berhadapan dengan korporasi
multinasional dan agen-agen neoliberalisme dan neokapitalisme di Tanah Air.
Kewibawaan negara, supremasi hukum, dan kemandirian ekonomi bangsa ini
mengalami krisis karena tergadaikan untuk melayani kepentingan pihak asing dan
para kompradornya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa panggung politik di Tanah
Air hiruk-pikuk dengan kepalsuan dan gegap-gempita dengan kepura-puraan tetapi
tuna dari keteladanan dan kalis dari karakter kenegarawanan.
Daya hidup
Berkaitan dengan hal tersebut,
sudah mendesak untuk segera merealisasi agenda kebangsaan yang bisa memperkuat
posisi masyarakat atau rakyat di negeri ini. Hal ini bukan hanya karena, dalam
banyak kasus, masyarakat masih tersubordinasi oleh negara, tetapi juga rentan
menjadi korban ketamakan kalangan elite, kerakusan para budak materi, dan
keculasan kasta penghamba kekuasaan kendati dengan memperalat ajaran agama.
Di tengah sikap mental seperti itu,
harus tetap ada optimisme bahwa publik dan bangsa ini masih punya kemauan untuk
belajar dan berubah. Kemauan tersebut umpamanya dengan saling berbagi dan
bersikap kritis di antara sesama sehingga memiliki kemampuan untuk memperbaiki
dan menata ulang kehidupannya agar semakin maju dan berkeadaban dengan daya
hidup (elan vital) masyarakat.
Dalam tingkat dan kemajuan yang
berbeda, dengan daya hidupnya itu, masyarakat memiliki budaya atau kebudayaan
dan potensi yang bisa diaktualkan untuk membangun kritisisme publik. Relevan
dengan proposisi tersebut, budaya atau kebudayaan yang dimaksud adalah seperti
yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1994), yakni sebagai suatu kompleks dari
ide, gagasan, nilai, norma, peraturan, serta kompleks aktivitas kelakuan
berpola dari manusia dalam masyarakat
Budaya tersebut bisa dilihat dari
aktivitas hidup sehari-hari dan interaksi sosial yang berlangsung dalam
kehidupan publik. Karena itu, pada dasarnya budaya bertalian erat dengan cara
dan kebiasaan hidup manusia, dan hal itu tidak bisa lepas dari mode of
thought, sikap mental, dan alam pikiran yang dimilikinya, baik sebagai
individu maupun anggota masyarakat dan kesadaran kolektif bangsa dalam jalinan
sosialnya.
Kurang-lebih seperti itulah daya
hidup masyarakat dan relasinya dengan kebudayaan, baik yang dilakoni secara
sendirian maupun dijalani bersama-sama. Sebetulnya, masyarakat itu dinamis dan
bisa menerima perubahan atau bisa diajak untuk berubah ke arah yang lebih baik
kendati negara memainkan kekuasaannya untuk melakukan represi dan distorsi.
Kultivasi kritisisme
Dalam konteks seperti itulah arti
penting kultivasi kritisisme (criticism cultivation) perlu didesain
sebagai agenda kebangsaan bagi penguatan dan pencerahan publik. Proyek semacam
ini sebetulnya bukan hal baru di Tanah Air karena sudah digarap oleh kaum
pergerakan sejak awal abad ke-20 seperti Budi Utomo (1908), Syarikat Dagang
Islam (1911, yang berubah menjadi Syarikat Islam pada 1912), dan Persyarikatan
Muhammadiyah (1912). LSM dan kelompok kritis lainnya, paling tidak sejak 1970-an
dan 1980-an, kemudian ikut menyinambungkan gerakannya.
Secara leksikal, kultivasi erat
berkaitan dengan pengembangan akal pikiran, pengayaan wawasan intelektual, dan
kepentingan pembelajaran atau pelatihan. Dalam Webster’s New World
Dictionary (1991: 337) , articultivation di antaranya
adalah “to improve by care, training, or study; refine [to cultivate one’s
mind].”
Kritisisme adalah daya dan
sekaligus visi hidup dalam bertindak untuk membuat suatu keputusan dan
menganalisis masalah (yang mengandung kekeliruan dan potensi yang merugikan
kemaslahatan publik) hingga bisa menghasilkan kesimpulan yang bernilai dan
alternatif yang lebih baik. Dengan kritisisme, individu atau publik tidak akan
mudah percaya dan menerima begitu saja informasi, berita, kebijakan, dan fakta
yang dijejalkan oleh negara atau penguasa atau dalih politik yang memperalat
ajaran agama, termasuk berita dan tayangan yang disajikan berlebihan oleh media
massa.
Dalam kritisisme, nalar dan akal
budi kembali diperankan secara tepat, bukan sekadar rasio instrumental yang
sarat kalkulasi ekonomi dan hanya menjadikan rasio sebagai alat. Kritisisme
dimaksud bertalian kuat dengan nalar obyektif yang bersifat universal untuk
melakukan pembebasan (emansipasi) manusia atau publik dari perbudakan
kekuasaan, struktur sosial yang senjang, juga pernyataan yang manipulatif dan
menyesatkan.
Bagi kepentingan masyarakat
tersebut, perlu disusun desain kultivasi kritisisme yang efektif dan sekaligus
produktif. Penyadaran dan pemberdayaan yang bergumul langsung dalam problema
kehidupan masyarakat dengan mempertimbangkan karakter dan latar masalah yang
mungkin tidak sama antara masyarakat yang satu dan yang lain perlu dilakukan
secara lebih intensif oleh ormas, LSM, kalangan intelektual, gerakan mahasiswa,
aktivis gerakan sosial baru, dan kelompok-kelompok kritis lainnya. Program
“Belajar Bersama Rakyat”, “Pendidikan Politik untuk Publik”, “Pendidikan
Kewargaan Partisipatoris”, dan yang sejenisnya bisa menjadi alternatif untuk
mengkultivasi kritisisme masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar