|
SUARA KARYA, 23 Mei 2013
Pasca reformasi,
para calon presiden bertepuk dada memerangi korupsi. Salah satu slogan,
"Katakan Tidak pada Korupsi," yakni jargon andalan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono ketika maju pada pemilihan presiden.
Memang secara konseptual jargon
demikian adalah jargon paling baik dan menjanjikan. Harus diakui dalam
pemerintahan SBY yang pertama agaknya memberikan sedikit harapan kearah
perbaikan bangsa. Hal ini dibuktikan dengan terpilihnya SBY untuk kedua
kalinya.
Namun, seiring berjalannya waktu
bak kacang lupa kulitnya, sejak awal hingga menjelang akhir pemerintahannya
kedua ini justru cenderung mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Maraknya
kasus korupsi, gagalnya pendidikan, semakin meningkatnya angka penganguran,
kriminalitas yang sudah menjadi identitas dan lemahnya hukum adalah sederet
problematika yang seharusnya dienyahkan namun sebaliknya, tumbuh subur bak
jamur dimusim hujan. Selalu ada saja pejabat ditangkat karena menilep uang
rakyat bahkan bisa dikatakan kasusnya bergantian. Sungguh ironis bukan?
Melihat situasi pelik seperti ini,
timbul sebuah petanyaan besar, mengapa korupsi tumbuh subur di negeri ini?
Lantas, apa penyebab korupsi sehingga sulit dibumihanguskan? Sebuah pertanyaan
yang tak mudah untuk dijawab. Toh, nyatanya berbagai cara dan regulasi telah
ada dalam upaya memberantas tindak korupsi. Misalnya, Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi (UU Tipikor) dan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU
TPPU).
Bahkan, belakangan ini masyarakat
dihebohkan dengan banyaknya petinggi negara dan partai politik masuk dalam
lingkaran setan korupsi penyebab kemunduran bangsa itu. Bagi mereka predikat
tersangka merupakan hal yang wajar dan tidak asing lagi. Barangkali anggapan
seperti ini didasarkan pada lemah dan membudayanya korupsi. Toh, kalau dipenjara
pasti bisa keluar masuk. Sebagaimana pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi Abraham Samad, bahwa banyak terpidana korupsi yang masih menjalani
hukuman di balik jeruji besi bisa menikmati kebebasan. Mereka biasa
meninggalkan LP pada malam hari dan kembali sebelum matahari terbit.
(Metrotvnews.com, 11/05/2013).
Fakta bahwa penjara di Indonesia
menganut paham materialistis sudah menjadi rahasia umum. Narapidana kaya
menduduki kasta tertinggi dengan fasilitas lengkap bak hotel berbintang,
sedangkan yang tidak berduit harus menjadi kacung. Bagi mereka orang berduit
penjara bisa disulap menjadi surga. Inilah keadaan negara kita sesungguhnya.
Ironisnya pemerintah seolah-olah tak kuasa menahan "saweran" para
penghuni bui. Ketidak-kuasaan pemerintah tersebut karena dininabobokan oleh
uang sehingga kuasa pemerintah kalah oleh uangnya para koruptor. Lantas, jika
sudah demikian apa perbedaannya koruptor dengan penegak hukum? Jika ternyata
penegak hukum tak mampu menegakkan keadilan.
Semua kejadian diatas bermuara
pada "pendewaan uang". Betapa besarnya kekuatan uang dimata pejabat
kita (baca: materialistik). Sehingga semuanya bisa dikendalikan oleh uang.
Namun, faktor utama maraknya korupsi di negara kita adalah lemahnya penegakan
hukum khususnya terhadap para koruptor kelas kakap. Yang terlihat saat ini
koruptor kelas kakap justru hukumannya tidak sebanding dengan apa yang telah
dibuatnya sebagai kejahatan luar biasa.
Harus kita katakan, penegakan
hukum di Indonesia masih "baik hati" kepada koruptor. Bagaimana tidak.
Pada realitanya mereka lebih suka menggunakan UU Tipikor untuk menjerat para
koruptor. Padahal, ada UU yang lebih pantas untuk membuat jera para koruptor.
Dari sini rakyat dapat menilai seberapa besar komitmen pemerintah dalam upaya
memerangi korupsi di negeri ini. Buat apa mengesahkan sebuah UU jika tidak
digunakan, atau jangan-jangan ini hanyalah upaya pencitraan belaka. Entahlah,
biar rakyat yang menilai semua ini.
Jika mengaku akan menjadi garda
terdepan dalam memerangi korupsi tentunya pasal korupsi jangan sampai dibuat
"mati suri". Padahal, negara ini sudah memiliki perangkat hukum untuk
menebas kanker korupsi sampai ke akar-akarnya, yakni Undang-Undang Nomor 8/2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Senjata
sudah ada dan niat untuk perang juga lebih dulu tercipta, kini tinggal
menggunakannya. Dengan undang-undang itu, jaksa dan hakim bisa menelikung
koruptor dan pihak lain yang terlibat dengan hukuman berat. Lebih daripada itu,
negara dapat leluasa menelusuri, mengusut, dan menyita aset hasil korupsi
sekaligus memiskinkan mereka. Cara seperti ini sesungguhnya memiliki banyak
manfaatnya, satu sisi negara tidak rugi, disisi lain akan membuat efek jera.
Apalagi pada tahun 2013 ini banyak
pengamat yang mengatakan bahwa tahun ini korupsi akan menjadi tren. Mengingat
tahun ini adalah tahun politik. Sehingga penggunaan UU Pencucian Uang yang
berprinsip follow the money ialah
senjata ampuh untuk melibas koruptor. Sayangnya, senjata itu jarang digunakan.
Baru segelintir koruptor dibidik dengan UU itu. Sebut saja Gayus Tambunan,
Bahasyim Assifie, dan Dhana Widyatmika dalam kasus pajak. Dari tangan terpidana
Gayus, misalnya, negara menyita Rp 74 miliar, sementara harta Bahasyim senilai
Rp 60,9 miliar dan 681.146 dolar AS dirampas untuk negara. Ada pula M
Nazaruddin dan Wa Ode Nurhayati.
Ditengah hiruk-pikuk politik yang
melelahkan publik tak bisa berbuat banyak. Oleh karena itu, kita semua
mendukung sepenuhnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kian rajin
menggunakan UU Pencucian Uang. Publik pun tercengang ketika KPK membeberkan
aset yang disita dari mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo
senilai lebih dari Rp100 miliar diantaranya berupa puluhan rumah mewah.
Kita patut memberikan apresiasi
terhadap KPK sebagai lembaga yang dibuat khusus menagani korupsi tentunya harus
mampu menunjukkan eksistensinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar