|
SUARA KARYA, 23 Mei 2013
Lima belas tahun reformasi
berjalan, namun agenda-agendanya tidak berhasil dilaksanakan. Indikasinya dapat
dilihat dari lemahnya pemberantasan korupsi, penegakan hukum, kualitas ekonomi,
dan di bidang kehidupan lainnya. Sejumlah indikator itu memperlihatkan bahwa
reformasi tidak berhasil memenuhi tuntutan rakyat.
Sekarang rakyat hidup dalam
tekanan karena ekonomi yang selalu bergejolak dan tidak stabil. Lihat saja
harga kebutuhan pokok yang selalu melonjak, bahkan bisa naik dua tiga kali
lipat. Tentu, hal ini sangat berdampak terhadap kelompok rakyat berpenghasilan
rendah dan miskin.
Pemerintah juga bersikap liberal,
apalagi dengan ditunjuknya Chatib Basri menjadi Menteri Keuangan yang notabene
adalah anak didik Boediono yang dikenal liberalis. Sepanjang ekonomi negara
adalah liberal, jangan berharap kesejahteraan rakyat secara merata bisa
tercapai. Ini jelas pelanggaran terhadap konstitusi. Agenda perbaikan ekonomi
dalam arti upaya peningkatan kesejahteraan secara merata bakal sia-sia.
Satu hal yang harus diakui,
reformasi politik berhasil meletakkan politik di atas semuanya. Bahkan membuat
politik kebablasan. Politik menjadi raja dan kebebasan politik sudah melebihi
segalanya. Banyak partai politik yang terlalu berkuasa dan tidak berjalan
sesuai fungsinya. Fungsinya hanya menjadi pencari uang. Politik mengalahkan
supremasi hukum yang seharusnya ditegakkan agar agenda seperti pemberantasan
korupsi bisa berjalan. Tidak seperti sekarang, praktik korupsi malah makin
parah.
Lihatlah, koruptor bisa hidup
bersenang-senang di tahanan; koruptor bisa menikmati hasil korupsinya di
penjara. Seperti apa penegakan hukum di negeri ini jika koruptor malah
menikmati hasil korupsinya di penjara sementara banyak rakyat kelaparan.
Teradang rakyat hanya bisa makan sekali sehari?
Itulah hukum rimba. Hanya mereka
yang kuat yang menguasai hukum sehingga akhirnya pemerintah terkesan tebang
pilih menangani orang yang terbelit masalah hukum. Kegagalan reformasi juga
tecermin dari konflik sosial yang merebak di berbagai daerah dan pemicunya
bermacam-macam.
Begitu juga berkaca pada berbagai
kasus yang terindikasi korupsi seperti kasus Hambalang, kasus Century, maupun
kasus yang menimpa petinggi PKS hingga rekening gendut Polri, semua itu
menunjukkan reformasi "macet". Kasus skandal Bank Century mesti
dihadapi dengan sabar menunggu Pemilu 2014 hingga penguasa yang sekarang lengser.
Harus diakui, tahun 2014 menjadi
tonggak reformasi berikutnya. Apakah partai pemenang pemilu nanti bisa
melanjutkan agenda reformasi masih harus ditunggu. Di antara parpol yang ada,
belum kelihatan mana-mana partai yang kukuh melaksanakan reformasi. Partai
Demokrat sudah melenceng dari agenda reformasi memberantas korupsi. Kinerja
partai semuanya sudah masuk dalam pusaran korupsi.
Oleh sebab itu, agenda reformasi
tidak bisa digantungkan pada partai saja tanpa ada upaya dari luar partai,
katakanlah stakeholder yang punya daya tekan terhadap kekuasaan. Memang daya
tekan inilah yang diharapkan agar reformasi dapat dilanjutkan mengikuti agenda
yang telah ditetapkan. Intinya untuk perbaikan kehidupan bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar