Rabu, 22 Mei 2013

Melihat Arah Ekonomi Jalan Ketiga


Melihat Arah Ekonomi Jalan Ketiga
Abdul Hakim MS  ;  Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI)
DETIKNEWS, 20 Mei 2013


Pada akhir 1980-an, muncul sebuah buku berjudul The End of History and The Last Man karya tokoh kenamaan asal Amerika Serikat (AS), Francis Fukuyama. Secara garis besar, inti buku ini menegaskan bahwa Demokrasi Liberal dalam tatanan sistem ekonomi Kapitalisme (baca: pasar bebas) telah menuai kemenangan besar atas tatanan sistem-sistem ekonomi-politik lainnya. 

Menurut Fukuyama, kapitalisme yang dipandang bisa melewati kekakuan feodalisme, menembus kebekuan gereja abad pertengahan, serta mampu menjawab problematika ekonomi sosialisme, akan menjadi penutup ideolog-ideologi didunia. Dengan kata lain, Kapitalisme adalah akhir dari “seleksi alam” sejarah ideologi.

Kapitalisme sendiri merupakan antitesis dari sistem ekonomi-politik sosialisme (Baca: anti pasar). Ketika semua aspek ekonomi dianggap sebagai milik bersama dalam sosialisme, kapitalisme memberikan ruang yang sangat bebas pada kepemilikan individu. Itu sebabnya, perbedaan peran negara dalam dua sistem ini cukup mencolok. Ketika negara menguasai sepenuhnya sumber ekonomi yang menjadi hajat hidup orang banyak dalam sosialisme, peran negara malah dinihilkan dalam kapitalisme, atau negara hanya dijadikan sebagai penjaga malam (watchdog).

Namun belakangan, kapitalisme yang memiliki konsep utama trickle down effect (efek rambatan) dalam upaya pemerataan pembangunan, ternyata menemui banyak masalah. Ketimpangan pembangunan menjadi pemandangan umum di banyak negara dunia. Tesis fukuyama tentang Kapitalisme sebagai akhir ideologi pun dipertanyakan. 

Jalan Ketiga

Dalam konteks Indonesia, dalam usaha mengantarkan rakyat menuju gerbang kesejahteraan dan kemakmuran, kedua sistem di atas pernah dicoba. Pada era kepemimpinan Soekarno, melalui pandangan Marhaenisme, Indonesia ketika itu lebih cenderung memilih arah sosialisme sebagai jalan hidup bernegara. Tak heran jika kemudian afiliasi politik internasional Indonesia agak condong ke negara-negara komunis-sosialis, seperti Uni Soviet dan Kuba. 

Akan tetapi, ketika tampuk kepemimpinan beralih ke tangan Soeharto pada 1966, pilihan jalan bernegara untuk mensejahterakan masyarakat pindah haluan kearah kapitalisme. Madzhab ekonomi yang sempat menjadi kiblat utama selama kurang lebih tiga dekade era kepemimpinan Orde Baru (Orba) ketika itu adalah Widjojonomics.

Istilah Widjojonomics sendiri merujuk pada pemikiran seorang arsitek utama pembangunan ekonomi di era Orde Baru, Widjojo Nitisastro. Ia adalah tokoh peraih gelar doktor ekonomi dari Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat. Bersama dengan Emil Salim, Ali Wardhana, dan M Sadli, Widjoyo menerapkan pemikiran Walt Whitman Rostow sebagai landasan berpijak untuk menentukan fase pembangunan Indonesia. Kelompok inilah yang kemudian akrab dikenal dengan sebutan mafia Berkeley.

Secara konseptual, Rostow memperkenalkan lima tahap pembangunan ekonomi, yaitu masyarakat tradisional, pembentukan prasyarat tinggal landas, tinggal landas, pergerakan menuju kematangan ekonomi, dan era konsumsi massal. Industrialisasi yang menjadi basis utama model pembangunan versi Rostow diyakini merupakan cara tercepat dalam menciptakan masyarakat modern. 

Sisi lain pemikiran Rostow yang menjadi pegangan kelompok Mafia Berkeley adalah konsep pemerataan pembangunan melalui proses trickle down effect (efek rambatan). Teori trickle down effect beranggapan bahwa jika kebijakan ditujukan untuk memberi keuntungan bagi kelompok-kelompok kaya, maka akan menetes ke bawah kepada kelompok-kelompok masyarakat miskin melalui perluasan kesempatan kerja, distribusi pendapatan, dan perluasan pasar.

Namun apa yang terjadi, konsep trickle down effect ternyata jauh panggang dari api. Alih-alih bisa memberikan pemerataan pembangunan, pemberian keuntungan yang terfokus pada kelompok-kelompok kaya ternyata hanya menghasilkan kesenjangan dan jurang yang terjal antara si kaya dan si miskin. Pemilik modal semakin kaya, sementara buruh makin terjerembab kedalam kubangan kemiskinan.

Dari dilema seperti inilah yang kemudian memunculkan pemikiran jalan ketiga pembangunan ala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam Forum Newsmaker Thomson Reuters di Singapura, beberapa waktu lalu, SBY lebih memilih pembangunan yang tak melulu tergantung pada sistem kapitalisme (pasar bebas) atau sosialisme (anti pasar). Jalan ketiga yang menjadi antithesis dari keduanya dianggap SBY lebih pas untuk konteks Indonesia.

Jalan ketiga yang dimaksud SBY adalah negara tidak boleh hanya menjadi penjaga malam semata dalam proses pembangunan ekonomi yang berlangsung. Negara harus juga ikut melakukan intervensi terhadap bidang-bidang yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Fakta adanya ketimpangan yang tajam dalam sistem kapitalisme, menyebabkan negara tak boleh berdiam diri. Meski demikian, SBY juga menekankan bahwa negara tidak boleh sepenuhnya melakukan intervensi. Pasar bebas tetap dibutuhkan untuk mengembangkan pembangunan. 

Strategi kesimbangan peran negara ini kemudian dituangkan SBY dalam empat jalur kebijakan ekonominya, yakni pro pertumbuhan ekonomi (pro growth), pro lapangan kerja (pro job), pro pengentasan kemiskinan (pro poor), dan pro lingkungan (pro environment).

The Third Way” Giddens

Apa yang dikemukakan oleh Presiden SBY, sejatinya memiliki relevansi dengan pemikiran Anthony Giddens. Meski banyak disebut sebagai “komprador” kapitalis karena pujiannya terhadap Green Capitalism Tatcher, namun Gidden pada penghujung abad 20-an malah menulis buku The Third Way sebagai kritik terhadap sistem kapitalisme dan sosialisme.

Secara sederhana, inti The Third Way Gidden adalah menggabungkan kapitalisme dan sosialisme secara bersamaan dalam upaya pembangunan. Hal itu disebabkan oleh adanya kegagalan beruntun kapitalisme dengan krisis ekonomi berkalanya, sementara sosialisme tak akan pernah hilang selama kemiskinan tetap eksis di dunia ini. Itu sebabnya, agen-agen sosialis harus dimasukkan dalam struktur-struktur kapitalis guna mempengaruhi kebijakan publik. Jika kita mengenal istilah “kiri” yang merujuk pada kaum sosialis dan kontrol negara, sementara kita mengenal istilah “kanan” yang merujuk pada pasar bebas kapitalisme), maka pemikiran Gidden ini akrab dengan istilah center-left (kiri-tengah).

Melihat dinamika pemikiran dan praktik pembangunan dewasa ini, cukup wajar apabila ide Fukuyama dalam buku berjudul 'The End of History and The Last Man' mendapatkan kritik tajam. Dalam konteks Indonesia, demokrasi liberal dengan sistem kapitalisme murni teryata hanya menimbulkan kesenjangan tak berujung. 

Meski tak secara langsung, gagasan yang diusung oleh Gidden dan Presiden SBY bisa dibilang sebagai kritik tajam atas tesis Fukuyama. Untuk mempercepat akselerasi pembangunan, kapitalisme memang bisa diandalkan karena berorientasi pengumpulan modal sebanyak-banyaknya. Masalahnya, kapitalisme terlihat gagal dalam upaya pemerataan pembangunan negara karena modal yang terkumpul hanya terfokus pada golongan tertentu saja (baca golongan kaya). Dan ternyata konsep trickle down effect tak berjalan sesuai perkiraan.

Itu sebabnya, konsep pembangunan demokrasi sosial ala SBY patut menjadi pertimbangan. Kita patut menunggu apakah model pembangunan pro growth, pro job, pro poor, dan pro environment betul-betul bisa mengantarkan Indonesia kegerbang pemerataan kesejahteraan yang sesungguhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar