Rabu, 22 Mei 2013

Polemik di Balik ‘World Statesman Award’ untuk SBY


Polemik di Balik ‘World Statesman Award’ untuk SBY
Yani Saloh  ;  Pengamat Sosial, Asisten Staf Khusus Presiden RI
JARINGNEWS, 20 Mei 2013


Polemik terhadap penghargaan World Statesman Award oleh Appeal of Conscience Foundation (ACF) yang akan diberikan kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terus bergulir. ACF akan memberikan World Statesman Award kepada SBY dan Appeal of Conscience Award kepada Louis R. Chênevert, CEOUnited Technologies Cooperation pada akhir Mei 2013 di New York, Amerika Serikat.

World Statesman Award ini diberikan karena ACF menilai SBY adalah negarawan yang berhasil memajukan pembangunan Indonesia secara umum, di sektor ekonomi, politik, demokrasi, mendukung perdamaian, kemajuan bagi hak asasi manusia, dan memajukan kerja sama gobal dan regional. Penghargaan ini merupakan apresiasi dalam mengenali negarawan yang menggugah masyarakat dan dunia melalui pengunaan kata-katanya, dalam artian bahwa kepemimpinan adalah untuk kepentingan publik, yang dapat memberikan manfaat dalam mendorong dan memberikan perubahan untuk memajukan norma dan nilai-nilai universal.

Pemimpin selalu menjadi pusat perhatian, karena di situlah tertumpuk harapan. Layaknya Iron Man, pemimpin kerap kali dibayangkan mampu menyelesaikan semua persoalan. Sebelum era reformasi, ada batasan antara pemimpin dan yang dipimpin, sehingga sulit bagi masyarakat untuk melontarkan kritik. Di alam demokrasi yang kita nikmati saat ini, masyarakat bebas untuk menilai dan mengkritisi pemimpinnya, termasuk mengkritisi presidennya, namun yang dibatasi oleh norma dan etika, karena setiap orang berhak menyampaikan aspirasinya untuk ditanggapi oleh pemerintahnya.

Evaluasi dan kritik keduanya penting. Meskipun belum semua ruang terisi, namun di bawah kepemimpinan SBY, 'the glass half full' ketimbang 'half empty'. Dalam setiap kepemimpinan akan selalu ada pertanggungjawaban yang akan diberikan sesuai dengan kapasitasnya.

Isu disharmoni antar umat beragama dan konflik komunal yang terjadi sering dijadikan alasan negara gagal. Alasan ini juga yang menjadi polemik bahwa SBY tidak layak menerima World Statesman Award. Sejak era reformasi pada tahun 1998, keadaan saat ini tidak seburuk yang diberitakan. Diakui bahwa masih terjadi konflik dan benturan di beberapa tempat, namun secara umum kerukunan sosial dan antar agama dari 240 jumlah penduduk Indonesia dengan beragam agama, etnis, suku dan daerah masih terjaga baik.

Dua kasus yang menonjol yang menjadi perhatian adalah kasus Ahmadiyah dan Gereja Yasmin. Ada perbedaan mendasar antara penganut Ahmadiyah dengan Islam, yaitu nabi dan kitab suci yang berbeda. Bagi penganut Islam, Ahmadiyah tidak bisa dikatakan sebagai Islam. Sebaliknya kelompok Ahmadiyah berpendirian bahwa mereka adalah penganut Islam. Hal ini yang menjadi benturan antara penganut Islam dengan Ahmadiyah, yang membuat penganut Ahmadiyah memiliki tempat ibadah sendiri dan tidak sholat bersama-sama di masjid-masjid penganut agama Islam. Namun, negara tidak melarang warganya yang memiliki keyakinan Ahmadiyah.

Tugas negara adalah menata dan mengatur agar tidak terjadi benturan ketika ada ajaran dan keyakinan yang berbeda sesuai dengan amanah UUD 1945, agar setiap warga negara dapat menjalankan ibadah dengan tenang, tertib dan damai tanpa diskriminasi. Pemerintah melakukan kebijakan untuk menjaga kerukunan antar agama, sekaligus mencegah dan menanggulangi kekerasan.

Dalam kasus Gereja Yasmin, Presiden tidak bisa terlalu reaktif menanganinya, karena kekuasaan sebetulnya telah terbagi-bagi, termasuk kekuasaan Presiden yang dipangkas melalui empat kali amandemen UU. Penerapan otonomi daerah pada tahun 2000 telah membagi kekuasaan secara penuh ke provinsi, kabupaten dan kota, sehingga walikota, bupati dan gubernur menjadi yang berwenang dan terdepan didalam menangani persoalan daerah hingga tuntas.

Isu perizinan Gereja Yasmin telah menjadi masalah sejak tahun 2002. Dalam pertemuan dengan kalangan diplomatik pada 15 Februari 2012, Presiden SBY mengatakan sudah meminta walikota, gubernur untuk menyelesaikan masalah dengan bantuan pemerintah pusat. Pemerintah terus mengupayakan penyelesaiannya, baik melalui pendekatan hukum maupun non-hukum, karena pendekatan hukum semata kerap kali kurang efektif mengakhiri benturan horizontal, sehingga perlu digunakan pendekatan tambahan untuk  mempercepat penyelesaian konflik tersebut, seperti yang terjadi pada penyelesaian kasus Ambon, Poso dan Aceh.

Beberapa pertemuan telah dilaksanakan dan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan, termasuk penawaran tempat sebagai pengganti, yang dipercayakan penuh pada Walikota dan Gubernur Jawa Barat dibantu oleh beberapa menteri untuk menuntaskan masalah tersebut. Secara pribadi SBY ingin agar masalah itu segera tuntas, agar jemaat GKI Yasmin bisa menjalankan ibadahnya dengan tenang dan damai.

Tidak ada pembiaran untuk mengambil hak orang beribadah, meskipun penyelesaian secara hukum tidak serta-merta menyelesaikan masalah, namun ada upaya mediasi, memfasilitasi dialog untuk mencapai kesepakatan, sehingga benturan dan konflik terbuka dapat dihindari. Tidak ada pembiaran dalam menyelesaikan masalah, bahwa bisa jadi apa yang dilakukan di daerah tidak secepat yang diharapkan, mungkin terlambat atau penyelesaiannya tidak tuntas dan terulang kembali.

Menjaga kebebasan agama dan budaya di Indonesia juga dilakukan melalui 'harmony in diversity'sebagai bagian dari Bhineka Tunggal Ika. Termasuk menetapkan hari libur nasional pada setiap perayaan hari besar agama-agama di Indonesia, yang tidak dimiliki beberapa negara lain. Tahun Baru Imlek di Indonesia kini diperingati secara nasional.

Ada banyak capaian positif yang terjadi pada kepemimpinan SBY. Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang sehat, 6,5 persen dengan GDP sebesar US$ 800 miliar (2012). Pada tahun 2004, GDP kita adalah Rp 2.295 triliun, dengan rasio utang Rp 1.299 triliun, sehingga lebih dari separuh (56,6 persen) dari GDP tersebut adalah untuk menanggung utang. Pada 2011, setelah memenuhi pembangunan infrastruktur, alutsista dan pembangunan lainnya, GDP kita naik Rp 7.226 triliun dengan rasio utang Rp 1.816 triliun. Rasio utang terhadap GDP turun menjadi 25 persen, termasuk terendah apabila dibandingkan dengan rasio utang di banyak negara di Eropa, Asia, Amerika yang mencapai 50-150 persen.

Hal lainnya adalah meningkatnya demokrasi, kebebasan pers, penyelesaian konflik secara damai di Aceh, Poso, Ambon  dan Timor Leste, mengusung good governance, reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi, pencegahan bencana, mengembangkan human capital, menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi, serta memajukan pembangunan yang berkelanjutan.

Indonesia terlibat aktif dalam dunia internasional untuk memajukan kemakmuran bangsa, menjaga stabilitas negara serta turut membangun kedamaian dan kesejahteraan dunia. Melalui forum G-20 kita terlibat memajukan pembangunan arsitektur keuangan global yang adil, berimbang dan berkelanjutan, aktif dalam diplomasi global perubahan iklim, mendukung penyelesaian damai di Palestina, Thailand, Kamboja, kasus Rohingya di Myanmar, Moro di Filipina Selatan dan menjaga stabilitas keamanan di kawasan Asia dengan mendorong perdamaian di Timur Tengah dan Suriah.

Kembali kepada penghargaan World Statesman Award, yang juga pernah diberikan kepada PM Kanada Jean Chretien, Presiden Spanyol Jose Mara Aznar, PM Australia John Howard, Presiden Perancis Nicolas Sarkozy, PM Inggris Gordon Brown, Presiden Korsel Lee Myung-bak dan PM Kanada Stephen Harper, maka atas capain positif, adalah layak apabila SBY menerima penghargaan tersebut, atas kepemimpinan dalam memajukan pembangunan Indonesia sejak 2004, meskipun belum semua ruang terisi, hendaknya kita melihat the glass half full ketimbang half empty.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar