Kamis, 02 Mei 2013

May Day dan Ego Sektoral


May Day dan Ego Sektoral
Fuad Ginting ;  Direktur Eksekutif di Institute for Political Analysis & Strategy;
Staf Pengajar FISIP USU
KORAN SINDO, 01 Mei 2013


Tahun 1918 di Kota Surabaya diperingati May Day atau hari buruh pertama di Indonesia. Indonesia bahkan tercatat sebagai negara Asia pertama merayakan 1 Mei sebagai hari buruh. 

Melalui UU Kerja Nomor 12 Tahun 1948, pada pasal 15 ayat 2 yang berbunyi “Pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban kerja”, kaum buruh Indonesia pada masa itu, tiap tahun selalu memperingati May Day. Namun, sejak peristiwa G 30 S PKI peringatan hari buruh dilarang di Indonesia karena diidentikkan sebagai bagian dari ajaran komunisme. Kemudian sejak tumbangnya Orde Baru, pada 1999 May Day kembali diperingati kaum buruh di seluruh Indonesia bersama gerakan buruh sedunia. 

“Kaum Buruh Sedunia, Bersatulah!” Demikian Karl Marx menutup Manifesto Komunis yang ditulisnya hampir 200 tahun lalu. Slogan ini acap kali dipakai untuk membakar semangat buruh dan membangkitkan organisasiorganisasi perjuangan buruh. 

Anak Kandung Sejarah Kapitalisme 

Kenapa kaum buruh diistimewakan hingga mendapat prioritas lebih dalam perhatian Karl Marx? Tidak lain karena analisis Marx terhadap kapitalisme mengatakan bahwa kapitalisme hidup dari penghisapan nilai lebih yang dihasilkan buruh yang bekerja di pabrik, di mana pabrik adalah ikon industrialisasi. 

Karena itu, Marx melihat buruh harus disadarkan sebagai sebuah kelas dan kelas tersebut berkontradiksi langsung dengan kelas lain dalam sistem produksi mereka di pabrik atau pemilik modal. Kaum buruh seharusnya menjadi pionir terdepan dalam perjuangan melawan sistem kapitalisme. Buruh menjadi penggerak industrialisasi, tonggak utama kapitalisme pada masa itu. Usaha-usaha merevolu-sionerkan buruh pun berlaku di pabrik-pabrik. Serikat-serikat buruh berdiri sebagai wadah bagi kaum ini berlindung, belajar, dan mendapatkan kesadaran akan ‘kelas’nya. 

Kelas dalam konteks ini adalah terminologi dalam Marxisme untuk membedakan antarkelompok dalam suatu sistem yang saling berkontradiksi. Sesuai ajarannya, para penganut Marxisme mengedepankan kaum buruh sebagai pelaku utama penggerak revolusi menumbangkan kapitalisme, atas dasar ini pula Bung Karno menyebut kaum ini adalah Soko Guru Revolusi. Bukan isapan jempol semata analisis Marx tentang perlunya merevolusionerkan buruh menjadi kenyataan dengan berdirinya Uni Sovyet.

Negara yang mengadopsi ideologi komunis yang didirikan kekuatan buruh, walaupun akhirnya runtuh pada 1991 di umur 74 tahun. Lalu matikah gerakan buruh? Tidak. Sebab, masih terdapat industri dan pabrik-pabrik maka di situ ada buruh dan di mana ada penindasan, maka di situ ada perlawanan. Sebagai bagian terintegrasi dalam sistem produksi kapitalisme, buruh akan tetap eksis. Namun yang perlu dipertanyakan, apakah mereka masih revolusioner? Masihkah mereka mempertahankan posisi mereka sebagai kelas berkontradiksi dengan pemilik modal? May Day diperingati untuk mengenang sebuah tragedi yang menimpa kaum buruh di Chicago pada 1886. 

Dalam peristiwa itu, polisi Chicago menembaki para buruh dengan brutal ketika mereka menggelar demonstrasi untuk menuntut delapan jam kerja dalam sehari. Beberapa pimpinan buruh yang terlibat dalam demontrasi tersebut juga ditangkap dan dihukum mati. Sedangkan penetapan 1 Mei sebagai hari buruh internasional terjadi pada 1889, merupakan salah satu hasil dari kongres Internasionale Kedua Komintern (komunis internasional- forum partaipartai komunis sedunia) yang diselenggarakan pada bulan Juli 1889 di Paris. 

Evolusi Makna dan Menghilangkan Ego Sektoral 

Kini setelah lebih dari 100 tahun sejarah perjuangan buruh, kaum buruh masih dianggap sebagai salah satu kekuatan yang bisa memberikan tekanan terhadap kebijakan pemerintah. Inti kekuatan gerakan kaum ini ada massanya, maka yang ‘dihitung’ bukan buruh orang per orang, tapi organisasi serikat buruh yang menghimpun mereka menjadi sebuah kekuatan yang memiliki posisi tawar. Kuantitas anggota serikat lebih utama, lalu kualitas dan militansi mengikutinya. 

Dalam waktu 100an tahun, pasti banyak perubahan terjadi, kita tahu metode dan sistem produksi berubah, sistem permodalan juga berubah, namun apa yang berubah dari gerakan kaum buruh? Rasanya bila mau jujur, gerakan buruh di Indonesia sudah mengalami stagnasi, pola dan tuntutannya klise dan jauh dari ciri-ciri revolusioner. Belakangan dapat kita perhatikan gerakan buruh semakin pragmatis dan hanya responsif pada apaapa yang menyentuh langsung sisi ekonomis mereka, seperti tuntutan kenaikan upah atau pemutusan hubungan kerja. 

Beberapa elite serikat buruh pun dengan gampang menyatakan dukung-mendukung salah satu calon dalam sebuah pemilukada. Menyadari potensi kekuatan massa buruh bila terkonsolidasi dengan baik, pihak-pihak di luar buruh yang memiliki kepentingan terus mengembangkan cara memoderasi pola gerakan buruh untuk tidak mengatakan menghapus ideologi dari gerakan buruh. Contoh paling nyata adalah upaya dari beberapa pemerintahan daerah yang memfasilitasi elemen-elemen serikat buruh dalam memperingati hari buruh. 

Beberapa tahun belakangan peringatan hari buruh banyak ‘dikandangkan’ di gedung-gedung olahraga ataupun lapangan stadion untuk menikmati hiburan, seperti dangdutan serta menerima pidato- pidato seremonial pejabat pemerintah terkait. Pemerintah menanggung semua biaya yang dikeluarkan, para buruh tinggal menikmati pesta ‘hari buruh’ yang difasilitasi pemerintah termasuk makan siang gratis yang dibagi-bagikan, asalkan buruh tidak berdemonstrasi di jalan-jalan.

Marx sendiri menyatakan, tiada sesuatu yang abadi melainkan perubahan itu sendiri. Sifat-sifat dalam suatu kontradiksi pun ikut berubah mengikuti zaman, 100 tahun lalu penghisapan terhadap buruh terlihat kontras, perlawanan buruh diredakan dengan tindakan represif dan brutal oleh alat koersif negara (polisi dan tentara). Kini hubungan antara buruh yang dulu dianggap pioner revolusi dengan aparat keamanan yang notabene penjaga kepentingan modal tidak sekaku hubungan mereka terdahulu. Kalau kita runut sejarah peringatan May Day sebagai hari buruh, jelas harus menjadi peringatan dengan karakter revolusioner.

May Day bukan momen yang diperingati layaknya hari ulang tahun atau hari jadi sebuah pernikahan yang sarat hiburan dan hura-hura. Lebih jauh May Day adalah sebuah momentum untuk membangun kesadaran kelas dan memperkuat posisi politik buruh. Soko Guru Revolusi adalah penghargaan sekaligus beban terlalu berat untuk dipikul kaum buruh pada masa ini. Taklid kepada slogan itu merupakan sebuah kenaifan di tengah masyarakat ultramodern yang sudah jauh berubah struktur dan cara berkomunikasinya.

Kita dapat melihat dan mempelajari bagaimana pecahnya pemberontakan-pemberontakan, bahkan penggulingan pemerintahan di jazirah Arab beberapa tahun lalu tidak didominasi salah satu sektor pekerjaan. Cukup sudah peran ego sektoral dimainkan, tidak ada sektor yang lebih berhak dari sektor lain untuk menjadi aktor utama perubahan di negeri ini, tidak buruh, tidak petani, tidak miskin kota, tidak mahasiswa, tidak juga kalangan profesional. Hal kita perlukan adalah sinergisitas antarfaksi-faksi sektoral yang ada, kalau perlu hapuskan wacana sektoral pada tiap isuisu yang diperjuangkan. 

Perjuangan buruh harus merupakan perjuangan petani juga. Begitu pula sebaliknya karena sebenarnya hubungan mereka dalam masyarakat pun berlaku timbal balik. Bisa saja dalam sebuah keluarga, seorang ayah adalah petani sedangkan anaknya adalah seorang buruh pabrik. Buruh mengonsumsi hasil produksi petani, petani membutuhkan buruh sebagai pembeli. Begitu pun mahasiswa merupakan bagian dan berkepentingan memperjuangkan sesuatu di luar persoalan-persoalan normatif mereka. Tuntutan yang terfraksi-fraksi tidak akan memiliki daya juang lama. 

Sebaliknya perjuangan yang diusung bersama-sama akan memiliki kekuatan perubahan yang lebih kuat dan besar peluangnya. Selamat hari buruh selamat hari perjuangan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar