|
REPUBLIKA, 24 Mei 2013
Harga
minyak bumi di pasar internasional yang melebihi asumsi dasar penyusunan APBN
kembali dikhawatirkan meningkatkan subsidi BBM. Peningkatan belanja tersebut
juga dikhawatirkan memperbesar defisit anggaran, sehingga pemerintah mengajukan
RAPBN-P tahun 2013 untuk menjaga keberlanjutan fiskal.
Kebijakan
politik terhadap utang membatasi defisit anggaran sebesar Rp 153,34 triliun.
Defi sit anggaran tersebut lebih kecil dibandingkan dengan subsidi BBM jenis
tertentu dan LPG tiga kg yang sebesar Rp 193,81 triliun. Subsidi listrik
sebesar Rp 80,94 triliun yang menggunakan energi BBM juga dipandang memerlukan
penyesuaian, apabila harga minyak bumi berubah.
Harga
minyak bumi di pasar internasional sesungguhnya meningkat secara tidak wajar
dari 36,39 dolar AS per barel pada 2004 menjadi 112,73 dolar AS per barel tahun
2012, sehingga harga minyak bumi di pasar internasional sesungguhnya bukanlah
acuan yang stabil untuk membangun perencanaan APBN. Di samping itu,
menghubungkan harga minyak bumi di pasar internasional dengan subsidi BBM itu
sebenarnya kurang tepat. Sebab, volume impor BBM sebesar 23,6 juta kiloliter
dan volume konsumsi BBM di Indonesia sebesar 61,73 miliar liter pada 2010
(Ditjen Migas, 2013), sehingga pangsa volume BBM bersumber dari impor sebesar
38,23 persen.
Implikasinya
adalah perhitungan subsidi BBM seyogianya menggunakan selisih antara harga BBM
eceran dan biaya pokok penjualan. Jumlah beban pokok penjualan dan beban
langsung lainnya dari PT Pertamina (Persero) teraudit sebesar Rp 392,46 triliun
pada 2010.
Meskipun perhitungan tercampur dengan komoditas gas yang pangsa ekspornya 53 persen,
namun untuk kepentingan indikasi diketahui bahwa biaya pokok penjualan
rata-rata BBM tentu lebih kecil dari Rp 6.358 per liter pada 2010. Hal itu
sudah termasuk memperhitungkan aspek ekspor dan impor mi nyak bumi, impor BBM,
dan distribusi BBM. Akibatnya, subsidi terkait konsumsi BBM jenis tertentu
bersumber dari impor sebesar 23,6 juta kiloliter x (Rp 6.358 ,-- Rp 4.500) = Rp
43,85 triliun pada tahun 2010, yang nilainya jauh lebih ke- cil dibandingkan Rp
193,8 triliun dalam APBN 2013. Sebagai perusahaan BUMN yang menggunakan aset
negara, Pertamina tentu saja mesti memperoleh keuntungan dan membayar deviden
kepada negara, yang kontribusinya perlu disepakati dalam keputusan politik.
Penentu defisit
Defisit
anggaran adalah selisih dari penerimaan negara dan belanja negara. Defisit anggaran ditutupi menggunakan utang. Namun, suku bunga pinjaman
investasi bank umum dalam mata uang rupiah sudah mencapai 11,24 per sen, suku
bunga pinjaman investasi dalam mata uang dolar AS mencapai 4,95 persen, sedangkan
asumsi suku bunga SPN tiga bulan rata-rata sebesar rata persen. Penggunaan suku
bunga pinjaman investasi penting, karena defisit anggaran bergantung pada
sumber pembiayaan utang dalam negeri sebesar Rp 172,79 triliun dan pembayaran
cicilan pokok utang luar negeri yang lebih besar dibandingkan penerimaan utang
luar negeri baru sebesar negatif Rp 19,45 triliun.
Penurunan
pemeringkatan oleh lembaga internasional merupakan sinyal negatif kepada negara
donor dan kreditur lainnya, agar lebih berhati-hati dalam memberikan utang
kepada pemerintah. Apabila komitmen untuk memberikan utang berkurang maka
pembiayaan defisit anggaran akan terganggu. Hal itu memerlukan tindakan nyata,
berupa pemotongan anggaran pada kementerian negara/lembaga.
Pada sisi
lain, asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen per tahun dikhawatirkan
terkoreksi menjadi 6,2 persen per tahun, sehingga target penerimaan pajak
sebesar Rp 1,19 kuadriliun kemungkinan tidak tercapai. Rasio pajak sebesar 12,3
persen dari PDB pada satu sisi kurang tinggi, namun pada sisi lain terjadi
kebocoran penerimaan pajak.
Semakin
banyak jumlah terpidana kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang terkait
APBN dan penyalahgunaan kebijakan pemerintah menunjukkan bahwa masalah yang
terjadi bukan hanya pada sisi penerimaan pajak dan bukan pajak, melainkan juga
dari sisi efisiensi belanja negara. Kenaikan harga pangan yang tinggi, kenaikan
upah minimum, dan kenaikan tarif dasar listrik mendorong asumsi target inflasi
lebih tinggi dari 4,9 persen per tahun. Nilai tukar rupiah yang terdepresiasi
sebesar Rp 9.722 per dolar AS per April 2013 yang melebihi asumsi Rp 9.300 per
dolar AS juga menunjukkan kekurangtepatan prediksi asumsi makroekonomi.
Dari sisi
alokasi anggaran belanja kementerian negara/lembaga, secara total belanja
publik untuk militer lebih kecil dibandingkan total nonmiliter, karena negara dalam
keadaan damai. Namun, dalam perbandingan antarkementerian negara/lembaga
diketahui bahwa Kementerian Pertahanan mempunyai anggaran sebesar Rp 77,73
triliun dan Kepolisian Negara RI sebesar Rp 43,4 triliun pada RAPBN 2013.
Belanja
kedua lembaga tersebut lebih besar dibandingkan anggaran Kementerian Pekerjaan
Umum sebesar Rp 69,15 triliun, yang merepresentasikan komitmen pembangunan
infrastruktur nonmiliter. Anggaran yang merespons peremajaan alutsista
berteknologi andal tersebut untuk menjaga kedaulatan negara terkesan jauh lebih
besar dibandingkan alokasi anggaran yang melibatkan populasi badan usaha
terbanyak perekonomian penduduk, seperti anggaran untuk Kementerian Koperasi
dan UKM yang nilainya Rp 1,76 triliun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar