Sabtu, 25 Mei 2013

BPKB Sementara dalam Bisnis

BPKB Sementara dalam Bisnis
Augustinus Simanjuntak ;  Dosen Program Manajemen Bisnis
FE Universitas Kristen Petra Surabaya
JAWA POS, 25 Mei 2013


BARU kali ini dalam sejarah Indonesia blangko buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB) langka. Bahkan, masalah itu baru bisa tuntas minimal tiga bulan ke depan. Untuk mengatasi, kepolisian menyediakan BPKB sementara sambil menunggu stok blangko BPKB yang baru dari Korlantas Mabes Polri. BPKB sementara itu mengacu pada Surat Telegram Kapolri Nomor STR /72/II/2013 tanggal 14/2/2013 yang sekaligus menetapkan masa berlakunya maksimal 6 bulan sejak diterbitkan.

Menurut kepolisian, BPKB sementara itu tetap sah dan semua data yang tercantum di dalamnya sudah teregistrasi. Substansi BPKB sementara tetap sama dengan BPKB permanen. Dengan begitu, BPKB sementara tidak menjadi halangan bagi para pihak dalam bertransaksi bisnis otomotif. Bila stok blangko sudah tersedia, BPKB sementara akan ditarik dari pemilik kendaraan sekaligus diganti dengan BPKB yang permanen. Kepolisian juga menjamin bahwa masyarakat tidak perlu khawatir tentang adanya pemalsuan BPKB sementara. Karena itu, pelayanan BPKB tetap berjalan seperti biasa.

Kebijakan kepolisian untuk mengatasi kelangkaan kertas BPKB dengan dokumen sementara itu memang patut diapresiasi karena bisa mencegah tersendatnya transaksi-transaksi bisnis otomotif seperti jual-beli, sewa, sewa-beli, kredit, dan gadai kendaraan. Persoalannya, pebisnis otomotif dan konsumen umumnya sudah terbiasa dengan ketaatan pada hukum dalam menguatkan segala bukti kepemilikan kendaraannya dengan BPKB. Sebab, asumsi dalam bisnis otomotif, BPKB permanen saja masih bisa dimanipulasi atau dipalsukan oknum-oknum penjahat, apalagi dokumen yang tidak permanen alias sementara. 

Karena itu, problem BPKB sementara terletak pada budaya hukum pebisnis otomotif dan konsumen yang sudah terkonstruksi dengan baik namun tiba-tiba diruntuhkan oleh kelangkaan kertas BPKB. Di sini bukan pebisnisnya yang tidak profesional, melainkan negara sebagai penyedia dokumen resmi dalam bertransaksi. Selama ini, para pebisnis sudah berusaha sesuai dengan substansi PP Nomor 44 Tahun 1993 tentang Kendaraan dan Pengemudi. Namun, mengapa negara justru tidak konsisten dalam menyediakan dokumen yang terbaik dalam rangka menaati aturan ini?

Pasal 175 PP menyatakan: ''Sebagai bukti bahwa kendaraan bermotor telah didaftarkan, maka diberikan buku pemilik kendaraan bermotor, surat tanda nomor kendaraan bermotor, serta tanda nomor kendaraan bermotor''. Lalu, pasal 177 berbunyi: ''Buku pemilik kendaraan bermotor dan surat tanda nomor kendaraan bermotor harus dibuat dari bahan yang mempunyai unsur-unsur pengaman''.

Artinya, BPKB permanen (yang pembuatannya tidak sembarangan) merupakan suatu keharusan sebagai bukti kepemilikan kendaraan. Berdasar PP itu, BPKB sementara tidak boleh diberikan kepada masyarakat. Kalaupun terpaksa, BPKB sementara seharusnya diatur dengan aturan pemerintah selevel keputusan presiden atau PP, bukan dengan telegram Kapolri.

Pendaftaran kendaraan yang dituangkan dalam BPKB seharusnya tidak terputus karena kelangkaan bahan kertas. Registrasi kendaraan di suatu negara yang bisnis otomotifnya terus berkembang semestinya dilakukan dengan akurat serta berkesinambungan. Juga, semakin antisipatif terhadap lonjakan jumlah penjualan kendaraan baru. Bukankah negara sudah mendapat banyak pendapatan dari pajak kendaraan yang bisa digunakan untuk memperkuat sistem registrasi dan pembukuan kendaraan? Sungguh ironis, semakin banyak kendaraan yang dipungut pajak, pelayanan registrasi justru mengalami kelangkaan kertas.

Pendaftaran dan pembukuan kendaraan tidak boleh dilakukan dengan serampangan. Keseriusan pemerintah dalam menangani kelangkaan kertas BPKB pun harus dibuktikan dengan tanggung jawab pemerintah pusat, bukan hanya ditangani kepolisian. Sebab, yang menerbitkan PP Nomor 44 Tahun 1993 adalah pemerintah, bukan kepolisian. BPKB sementara seharusnya termasuk kebijakan pemerintah sebagai wujud tanggung jawab atas implementasi PP tersebut. Dengan begitu, kepastian mengenai legalitas BPKB sementara bisa dipercaya pebisnis dan konsumen otomotif.

Pebisnis otomotif dan warga pemilik kendaraan tentu menginginkan bukti kepemilikan yang sempurna, bukan yang sementara. Selama ini, masyarakat bisnis sudah terbiasa menganggap bahwa BPKB yang permanen merupakan bukti yang tidak dapat dibantah lagi atau memiliki tingkat kepercayaan yang mutlak. Meskipun kepolisian sudah meyakinkan publik bahwa BPKB sementara tetap sah, persoalannya ada pada keraguan dan kebiasaan masyarakat untuk selalu mengacu pada bukti yang paling sempurna. 

Misalnya, di Surabaya, e-KTP (kartu tanda penduduk elektronik) yang pembuatannya juga karut-marut sempat tidak diakui dunia perbankan, sehingga pemerintah kota harus lebih dulu meyakinkan pihak bank supaya e-KTP bisa diakui dalam transaksi perbankan. Mungkin saja BPKB sementara akan mengalami kendala yang sama. Misalnya, apakah perusahaan leasing (pembiayaan) mau menerima BPKB sementara untuk ditahan sebagai jaminan fidusia atas kredit pengadaan kendaraan baru? Apakah perusahaan gadai bersedia menerima BPKB sementara untuk dijadikan jaminan yang ditahan bersama dengan kendaraan debitor dalam perjanjian pinjam-meminjam dana?

Hanya, untuk mencegah terjadinya manipulasi atas BPKB sementara di kemudian hari, BPKB permanen harus memuat catatan mengenai telah terjadinya pergantian dokumen tersebut. Dengan begitu, tertutup sudah peluang penyalahgunaan BPKB sementara yang bisa melahirkan BPKB ganda. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar