Kamis, 02 Mei 2013

Bom Boston dan Fenomena Kekerasan AS


Bom Boston dan Fenomena Kekerasan AS
Jennie S Bev ;  Penulis Berprestasi, Kolumnis Forbes, The Jakarta Post dan KONTAN Daily dan Weekly, Tinggal di California
JARINGNEWS, 30 April 2013

  
Bom Maraton Boston yang memakan 3 jiwa dan 175 luka-luka masih sangat jelas terekam di benak kita semua. Penyergapan kolosal anak muda Chechen dari Chechnya bernama Dzhokhar Tsarnaev (19) oleh polisi Boston dan FBI dengan 9000 anggota pasukan ditayangkan langsung melalui Internet. Ideologi “anti terorisme” masih hidup sehat, sedangkan “anti kekerasan bersenjata” masih belum dipandang penting oleh Senat AS dengan digagalkannya amandemen cek latar belakang (background check) secara seksama sebelum izin kepemilikan senjata api diberikan. Padahal, setiap hari 80 orang mati tertembak di AS.

AS masih sangat perkasa menghadapi terorisme. Bahkan tampak bak film Hollywood. Sayangnya, kematian 20 anak SD dalam penembakan di Newton Desember lalu, belum mengetuk hati para anggota Senat AS yang mayoritas anggota partai Republikan untuk melindungi warganya dari berbagai bentuk kekerasan bersenjata.

Apa sebenarnya yang terjadi di dalam masyarakat AS sehingga kekerasan bersenjata yang mengakibatkan pembunuhan masal meningkat sangat tajam di tahun 2012? Di tahun 2012, terjadi tujuh kali pembunuhan masal dengan berbagai motif: tekanan sosial, tekanan keluarga, kebencian etnis/agama, dan ketidakstabilan psikis. Selain itu, apa yang terjadi di pemerintahan sehingga prioritas kebijakan bukanlah ideologi anti kekerasan publik, melainkan anti terorisme?

Pertama, masyarakat AS sendiri merupakan masyarakat majemuk terbentuk dari asimilasi berbagai bangsa. Mereka yang bermigrasi ke AS sesungguhnya mempunyai kesempatan lebih di negara asal mereka, seperti jaringan sosial politik kultural, pendidikan, finansial, inteligensi, profesionalisme, dan lain-lain. “Sesuatu yang ekstra” tersebut membawa pro dan kon tersendiri.

Pembentukan AS sebagai “bangsa” melalui proses sadar bahwa setiap warga AS berasal dari negara dan bangsa lain yang bermigrasi. Tingkat “kesadaran” dan format akhir asimilasi berbeda gradasinya yang bermuara kepada bahaya laten asimilasi semu.

Keduafreedom of speech memungkinkan berbagai ideologi dan media alternatif tumbuh subur. Selain itu, eksponensialnya pertumbuhan teknologi memaknifikasi suatu tindakan kekerasan secara virtual sehingga membentuk keadaan psikis, kognitif dan afeksi yang “siap kekerasan.” Berbagai penelitian menunjukkan bahwa latihan-latihan virtual mempersiapkan otak untuk praktek nyata.

Ketiga, termasuk di AS, pertumbuhan penduduk dunia yang semakin berpusat di kota-kota raksasa (mega cities) memperkuat gaya hidup self-centered yang mempertinggi alienasi dari hubungan-hubungan erat fraternitas. Ini menimbulkan perasaan keterasingan dan ketidakseimbangan psikis yang siap “meledak.”

Keempat, penyakit-penyakit mental dan keadaan psikis yang tidak terdeteksi maupun tidak terkendali mendapatkan tempat di dalam masyarakat urban self-centered yang permisif terhadap pemikiran-pemikiran alternatif anti arus utama (mainstream). Ini menyuburkan berbagai bentuk kebencian, ekstremisme, dan hasrat melakukan kekerasan tanpa bendungan.

Pemerintah AS sendiri terdiri dari individu-individu yang berasal dari sosio-ekonomi berbeda dari kebanyakan warga AS. Menurut Joseph Stiglitz, mayoritas senator telah berpenghasilan satu persen teratas (one percenters) sebelum duduk di senat. Para “satu persen” ini berpenghasilan USD 1,5 juta per tahun. Tampak jelas diskoneksi antara warga AS dengan representatif dan legislatif mereka.

Terlepas dari kenyataan virtual yang bertendensi menghubungkan individu-individu secara horisontal, vertikalitas antara warga dengan representatif dan legislatif mereka bukan hal sepele. Diskoneksi Wall Street dengan Main Street serupa dengan diskoneksi Pemerintah AS dengan Warga AS.

Ego AS untuk tetap bertahan sebagai pusat geopolitik dunia sesungguhnya mengabaikan kesejahteraan warganya sendiri. Bayangkan, dana luar negeri AS akhir 2012 adalah USD 20 miliar, padahal lebih dari 40 juga warga AS hidup di bawah garis kemiskinan dan beresiko kurang pangan. Di antaranya, 16.2 juta anak-anak beresiko kurang pangan.

Konklusi, kekerasan di AS semakin merajalela antara lain disebabkan kegagalan AS dalam memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, mengingat besarnya dana dan besarnya ambisi sebagai pusat geopolitik. Kepentingan politik sebagai “the best” and “the most” hanya sekedar membangun “merek,” bukan membangun kesejahteraan warga sesungguhnya.

Mungkin demokrasi memang pilihan buruk dari yang sistem-sistem pemerintahan yang lebih buruk, seperti kata Churchill. Pelajaran berharga bagi Indonesia dan dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar