Kamis, 02 Mei 2013

Pertimbangan di Balik Pemilihan Skema Dual Price


Pertimbangan di Balik Pemilihan Skema Dual Price
Fathur Anas ;  Peneliti di Developing Countries Studies Center (DCSC) Jakarta
OKEZONENEWS, 30 April 2013


Memasuki triwulan kedua tahun 2013 pemerintah kembali dipusingkan dengan permasalahan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Hari-hari belakangan ini diskursus mengenai subsidi BBM memang tengah hangat diperbincangkan berbagai pihak.

Pembengkakan beban subsidi BBM yang harus ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2013 dikhawatirkan akan mengakibatkan defisit anggaran. Dalam APBN tahun 2013 subsidi BBM memang dianggarkan cukup besar, yaitu 46 juta kiloliter atau setara dengan Rp193,8 triliun.

Akan tetapi, masih banyaknya kelompok masyarakat yang tidak semestinya mengkonsumsi BBM bersubsidi mengakibatkan kuota BBM bersubsidi tahun 2013 berpotensi meningkat. Apabila hal itu terjadi tentu akan berdampak pula pada peningkatan beban subsidi di APBN tahun 2013. Konsekuensi lebih lanjut anggaran subsidi BBM bisa saja mencapai Rp200 triliun. 

Disparitas harga BBM bersubsidi dan BBM nonsubsisdi yang mencapai lebih dari Rp4.500 per liter memang telah memicu kelas menengah ke atas yang seharusnya menggunakan BBM nonsubsidi lebih memilih untuk menggunakan BBM bersubsidi.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tahun 2010 menunjukkan jika dilihat dari sektor pengguna, 89 persen BBM bersubsidi dinikmati transportasi darat, transportasi laut 1 persen, rumah tangga 6 persen, sektor perikanan 3 persen, dan hanya 1 persen dinikmati usaha kecil menengah. Sedangkan konsumsi BBM bersubsidi untuk transportasi darat 53 persen justru dinikmati mobil pribadi, 40 persen dinikmati motor, 4 persen dinikmati mobil barang, dan 3 persen dinikmati kendaraan umum.

Bahkan, menurut kalkulasi Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa jumlah alokasi subsidi energi itu setara dengan pemberian gratis negara kepada para pemilik kendaraan pribadi sebesar Rp120.000 per hari. Data-data itu menujukkan secara gamblang pemborosan anggaran dan ketidaktepatan sasaran subsisdi BBM yang terjadi selama ini di Indonesia.

Merespons masalah subsidi BBM tersebut pemerintah kemudian melakukan kajian terhadap sejumlah opsi kebijakan. Setelah melakukan kajian secara mendalam dengan mempertimbangkan segala risiko yang mungkin muncul, pilihan opsi kebijakan subsidi BBM kemudian mengerucut pada skema dua harga (dual price) sebagai jalan keluar untuk menekan subsidi BBM agar tidak membebani APBN.

Dengan skema itu BBM subsidi, baik premium maupun solar, dijual dengan dua varian harga. Pertama, harga subsidi penuh Rp4.500 per liter untuk angkutan umum dan sepeda motor. Kedua, harga berkisar Rp6.500-Rp7.000 per liter untuk mobil pribadi lantaran subsidi untuk mereka dikurangi. Kebijakan dual price ini akan diberlakukan secara resmi dalam waktu dekat setelah teknis operasional selesai disiapkan.

Jika kita telaah lebih jauh penetapan skema dual price merupakan bentuk halus dari kebijakan pengendalian BBM bersubsidi. Berbeda dengan rencana selama ini di mana pengendalian dilakukan melalui sistem pengendalian dan pemantauan distribusi BBM bersubsidi dengan menggunakan teknologi informasi, di skema dual price pengendalian BBM bersubsidi dilakukan melalui pemberlakuan dua harga berbeda. Dengan memberlakukan dua harga ini diharapkan kelompok masyarakat menengah ke atas pengguna mobil pribadi masih tetap boleh membeli BBM bersubsidi, tetapi dengan harga lebih mahal ketimbang harga bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah yang menggunakan kendaraan umum dan motor.

Melalui skema dual price pemerintah berharap dapat menekan besaran subsidi BBM di APBN tanpa mengganggu stabilitas perekonomian nasional sebagaimana diperkirakan akan terjadi apabila ditempuh kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi secara keseluruhan.  Pengalaman di masa lalu memang menunjukkan kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi secara keseluruhan seringkali menghadirkan berbagai dampak negatif bagi stabilitas perekonomian nasional.

Sebagaimana diketahui bersama Presiden SBY tercatat pernah melakukan kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi sebanyak tiga kali masing-masing bulan Maret 2005, Oktober 2005, dan Oktober 2008. Kebijakan itu kemudian berdampak luas kepada kondisi perekonomian nasional, seperti peningkatan jumlah penduduk miskin, lonjakan biaya produksi nasional, dan penurunan daya beli masyarakat.

Sementara itu, dari sisi inflasi diperkirakan bila terjadi kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar 10 persen akan menambah laju inflasi sebesar 0,7 persen. Kondisi itu tentu akan mengakibatkan terganggunya roda pembangunan ekonomi dan momentum pertumbuhan ekonomi. Apalagi saat ini Indonesia juga tengah dihadapkan pada realitas kenaikan sejumlah kebutuhan pokok, seperti bawang merah dan bawang putih. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok itu saja telah mendorong inflasi bulan Januari-Februari 2013 mencapai 1,79 persen. Karena itu, dapat diperkirakan jika kebijakan kenaikan harga BBM bersubsidi ditempuh boleh jadi tekanan inflasi untuk tahun 2013 akan menjadi lebih besar lagi. Demikian pula dampak turunan terhadap perekonomian nasional.

Atas dasar pertimbangan itu, skema dual price menjadi opsi paling rasional dan aman untuk mengatasi beban subsidi BBM di APBN. Skema dual price diharapkan juga dapat meningkatkan pengendalian BBM bersubsidi di masa-masa mendatang agar lebih tepat sasaran. Namun, patut diingat pengawasan ketat harus dilakukan pemerintah untuk memastikan efektifitas skema dual price tersebut. Untuk itu, dibutuhkan kesepahaman dan dukungan dari pemerintah daerah dan pemangku kepentingan (stakeholder) lain agar ikhtiar pemerintah melalui skema dual price dapat membawa manfaat konkret bagi publik luas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar