Jumat, 24 Mei 2013

Aspek Kuantitatif Kualitatif Otonomi


Aspek Kuantitatif Kualitatif Otonomi
Irfan Ridwan Maksum  ;  Guru Besar Tetap Ilmu Administrasi-Publik FISIP UI, 
Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) RI
KORAN SINDO, 23 Mei 2013


Saat ini rancangan UU Pilkada sedang digodok di DPR RI. Fokus utama UU tersebut pada prinsipnya adalah mengarahkan pada proses mencari kepala daerah yang berkualitas dari hasil pilkada. 

Rancangan UU (RUU) Pilkada dari pemerintah semula menetapkan bahwa gubernur dipilih melalui DPRD provinsi dan bupati/wali kota melalui pilkada langsung. Belakangan kemudian menjadi terbalik, gubernur melalui pilkada langsung, sedangkan bupati/wali kota melalui DPRD. Semua isu tersebut berpulang dalam kerangka mencari kepala daerah yang berkualitas. 

Di tengah-tengah proses alot menentukan materi RUU tersebut, selama kurun waktu satu tahun ini, mencuat satusatunya kasus pemakzulan kepala daerah di era berlakunya UU No32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, yakni pemakzulan Bupati Garut Aceng Fikri. Sebelumnya kasus tersebut ditanggapi Mendagri dalam wawancara dengan salah satu televisi nasional, dengan mengangkat terminologi aspek kuantitatifkualitatif kebijakan pengaturan kepala daerah. 

Kedua aspek tersebut dimaksudkan untuk menjaga kualitas kepala daerah terpilih sehingga peraturan/ perundangan menentukan sejumlah kriteria bagi calon kepala daerah yang menurut Mendagri dinilai bernuansa kualitatif. Mendagri merasa perlu menggerakkan ke arah kuantitatif. Tampaknya terminologi tersebut dapat menggiring ke arah kekeliruan pemahaman jika tidak dikaji secara mendalam. 

Pendekatan, Metode, dan Data 

Acap kali terminologi kuantitatif dan kualitatif digunakan dalam dunia penelitian, baik ilmu-ilmu eksakta maupun ilmu-ilmu sosial. Makna terminologi tersebut memiliki stratifikasi. Pertama, menyangkut pendekatan (Creswell: 2002). Kedua, terminologi tersebut menyangkut metode itu sendiri, yakni metode menggali data dan metode menganalisis data. Ketiga, dua terminologi tersebut hanya menyangkut data. Dengan pendekatan kuantitatif, seorang peneliti akan berpikir deduktif. 

Teori adalah landasan utama sebelum memahami objek penelitian. Objek penelitian diyakini dapat diprediksi dan diukur. Tujuan pendekatan ini adalah pengukuran. Teori menjadi alat ukur yang diturunkan sampai menjadi variabel, indikator, bahkan sampai instrumen penelitian. Dalam hal ini, dari teori sampai instrumen harus konsisten. Berbeda jika menggunakan pendekatan kualitatif, seorang peneliti bertujuan memahami (understanding/verstehen). 

Dia berpikir induktif sehingga justru utamanya berangkat dari objek penelitian itu sendiri untuk ditemu-kenali secara mendalam sehingga dapat saja berbeda dari teori atau hukumhukum yang telah dipahami oleh khalayak, bahkan ilmu pengetahuan yang telah berkembang. Fungsi teori adalah guidance dalam dunia masingmasing peneliti. Ahli politik seharusnya dibekali teori politik, bukan teori ekonomi dan seterusnya. Dalam stratametode, kedua terminologi dapat menyangkut metode penggalian data dan metode analisis data. 

Untuk penggalian data, metode kuantitatif dapat berupa survei dan eksperimen, sedangkan untuk analisis data dapat digunakan dengan hitungan statistik sederhana sampai yang kompleks, dan analisis kuantitatif yang lain. Metode kualitatif dari sisi penggalian data dapat dilakukan dengan wawancara mendalam, pengamatan, studi kasus, pengamatan terlibat, soft-systemmethodology, dan lain-lain. 

Dari sisi analisis juga sangat bervariasi, mulai analisis isi, analisis semiotik, sampai analisis sejarah, dan lain-lain. Dalam strata data, data kuantitatif berupa numerik (angka), sedangkan data kualitatif adalah data di luar angka yang dapat berupa gambar, dan umumnya kata-kata. Pendekatan dan metode mana pun menghasilkandataangka( kuantitatif) dan non-angka (kualitatif) secara bersamaan. 

Sistem Data Otonomi 

Dalam dunia praktis, cara berpikir deduktif dan induktif amat fleksibel. Umumnya hukum normatif yang digunakan para praktisi pemerintah untuk memahami berbagai persoalan masyarakat yang dihadapinya membawa berpikir deduktif-normatif. Mendagri dapat dinilai berpikir deduktif dalam hal ini. Apa yang diungkap Mendagri dalam mengatur seleksi calon kepala daerah dalam kebijakan otonomi ternyata hanya sekadar indikator. Jika yang dimaksud cara berpikir, maka sebetulnya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. 

Namun, dalam substansi kebijakan pengaturan mana pun, tentu sulit memuat angka-angka, terlebih terkait kriteria calon kepala daerah. Mungkin bisa dipaksakan, misalnya angka minimal keberhasilan dalam dunia pendidikannya. Namun, toh tidak ada data kuantitatif yang ada dalam peraturan tersebut, melainkan sebuah kriteria. Dengan begitu, dari segi cara berpikir, hal ini tergolong kuantitatif, namun dari segi data tetap bersifat kualitatif. 

Selain itu, menyusun peraturan amat sulit dengan cara pikir induktif dalam artian apa yang terjadi di lapangan secara cepat dimasukkan dalam isi peraturan. Namun, umumnya dimulai dari terjadinya kesenjangan antara peraturan dan praktik otonomi, kemudian penyusun kebijakan akan merujuk sejumlah teori atau pendapat pakar jika akan mengubah isi kebijakan atau memperbaikinya. 

Tidak setiap kasus direspons cepat langsung dengan perubahan peraturan. Terminologi kuantitatif dan kualitatif yang dimaksud Mendagri jelas bukan dalam rangka penelitian. Ranah data kuantitatif dan kualitatif terkait perilaku kepala daerah hanya muncul dalam analisis dan rekaman praktik pemerintahan daerah di seluruh daerah di Indonesia, baik antarwaktu maupun satu waktu di berbagai tempat. 

Bahan tersebut amat baik menjadi pertimbangan untukmenyusun naskah akademik UU Pilkada yang sedang digodok sehingga pemerintah dan DPR RI tidak gamang menentukan pilihan. Fenomena empirik kebijakan otonomi merupakan bidang kajian yang dapat didekati, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dengan metode sedemikian rupa sehingga data yang dihasilkan juga dapat bersifat kuantitatif dan/atau kualitatif. 

Rekaman sistemik ini amat penting dalam mendorong kemajuan sebuah negara terkait pelaksanaan kebijakan otonomi. Sistem data otonomi ini akan menjadi dasar dari pengembangan ilmu mengenai otonomi daerah. Mendagri harus memiliki think-tank yang kuat dalam rangka terus-menerus memperbaiki hasil-hasil dari kebijakan otonomi tersebut, termasuk dalam menyusun RUU Pilkada. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar