Tajul: Vonis
Sesat Bagi yang Tak Sesat
Husein Ja’far Al Hadar ; Direktur Lembaga Study of Philosophy (Sophy) Jakarta
|
ISLAMLIB.COM
, 03 September 2012
“Sebab, sejatinya sejak dulu
dan selama ini umat Islam di Indonesia, khususnya antara Sunni dan Syiah, hidup
berdampingan dan bergandengan tangan secara rukun. Perbedaan yang ada di antara
mereka justru ‘dirayakan’ sebagai kekayaan khazanah Islam Indonesia yang
plural. Terlebih masyarakat Muslim NU, di mana almarhum Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) menegaskan bahwa “NU adalah Syiah minus konsep imamah”. Artinya, secara
kultural komunitas Muslim NU menerapkan ajaran-ajaran Syiah (shalawatan, tahlil
40 hari, dll), hanya mereka tak menganut konsep imamah. Sehingga, jika kasus
yang menimpa penganut Syiah di basis NU (Madura, Jawa Timur) itu dibiarkan, itu
berarti negara telah merusak relasi ‘mesra’ (khususnya secara kultural) antara
Muslim Syiah dan NU di sana. Dan itu berarti ‘raport merah’ bagi negara dalam
kaitannya menyikapi keberagamaan rakyatnya.”
Sudah jatuh, tertimpa tangga
pula. Peribahasa itu mungkin sangat tepat untuk menggambarkan apa yang menimpa
Ustadz Tajul Muluk, tokoh Islam (Syiah) di Sampang (Madura, Jawa Timur), saat
ini. Desember 2011, rumah dan pondok pesantrennya diserang dan dibakar oleh
massa yang menuduh sesat ajaran (Syiah) yang dianut dan didakwahkan oleh Ustadz
Tajul. Namun, ironisnya dan sungguh membingungkan, justru Ustadz Tajul-lah yang
diadili pada pertengahan Juli lalu dan divonis hukuman dua tahun penjara dengan
tuduhan melanggar Pasal 156 a KUHP tentang penistaan agama. Ia dituduh telah
menyebarkan ajaran sesat.
Keputusan Pengadilan Negeri Sampang (Madura, Jawa Timur) itu
memprihatinkan dan ternilai cacat karena, pertama, posisi Ustadz Tajul
jelas-jelas adalah korban dari suatu tindak kekerasan, yakni penyerangan dan
pembakaran. Bahkan, tindak kekerasan itu dilakukan secara terorganisir,
terencana dan melibatkan massa terhadap sekelompok orang yang sedang menuntut
ilmu di sebuah pondok pesantren. Sehingga, seharusnya negara (dalam hal ini
Pengadilan Negeri Sampang) sebagai pemegang kekuasaan, penentu sekaligus penegak
hukum memberikan perlindungan terhadap Ustadz Tajul sebagai korban dan
melakukan persidangan dan menghukum massa penyerang dan pembakar sebagai
pelaku. Sebab, jelas dalam kaidah hukum, segala tindak kekerasan –apapun alasan
dan latar belakangnya- harus diadili dan dihukum sesuai ketentuan hukum yang
berlaku. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, korban yang menjadi tersangka
dan dihukum.
Kedua, tuduhan sesat dan penistaan agama terhadap Ustadz Tajul
bahwa ia telah menganut dan mendakwahkan ajaran Islam madzhab Syiah, adalah
sama sekali tak berdasar dan tak ada legitimasinya, baik secara hukum maupun
agama (Islam), serta baik di tingkat nasional maupun global. Sebab, secara
hukum, negara ini menjamin kebebasan rakyatnya untuk berpendapat, berpandangan
dan bermadzhab, selama tidak bertentangan dengan dasar negara dan hukum yang
berlaku. Adapun dalam konteks agama (Islam), Syiah sebagai salah satu madzhab
dalam Islam bukan hanya tak pernah dinyatakan sesat, namun diakui secara sah.
Di tingkat nasional, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak pernah sekali pun
menyesatkan Syiah. Ulama dan tokoh besar Islam di Indonesia pun, seperti Said
Aqil Siraj (Ketua Umum PBNU), Din Syamsudin (Ketua Umum PP Muhammadiyah), dan
Umar Syihab (Ketua MUI), bukan hanya menegaskan ke-sah-an Syiah sebagai salah
satu madzhab dalam Islam, namun mereka juga menghimbau masyarakat Muslim untuk
saling bergandengan tangan dengan Syiah untuk membangun Islam dan Indonesia.
Adapun di tingkat global, Organisasi Konferensi Islam (OKI), berbagai lembaga
tinggi Islam (seperti Universitas Al-Azhar) atau pun ulama besar Islam
(misalnya, lihat “Risalah Amman” 2005, yang ditandatangani oleh lebih dari 100
ulama besar di seluruh dunia) menyebut Syiah sebagai madzhab resmi Islam.
Sehingga, salah satu tolok ukur termudah dan paling jelas, adalah kenyataan
bahwa umat Islam Syiah diperbolehkan berhaji. Hanya seorang yang diterima
sebagai Muslim yang diperbolehkan berhaji.
Oleh karena itu, jika tidak dilihat dan direspon secara serius
–terlebih jika terjadi pembiaran- tentang apa yang menimpa Ustadz Tajul Muluk,
maka yang akan ada dan berkembang, pertama, kesan bahwa di negeri ini hukum
bukan lagi hanya lumpuh di depan pemegang kekuasaan atau pemegang uang, namun
hukum juga tak kuasa pada tirani mayoritas (umat beragama atau bahkan
bermadzhab).
Kedua, penilaian bahwa negara bukan hanya tak menjaga dan
melestarikan iklim keharmonisan dan kerukunan antar umat bermadzhab (maupun
beragama) yang telah ada dan berkembang menjadi bagian dan identitas luhur dari
masyarakat bangsa yang damai, toleran dan rukun ini; namun, negara justru
menjadi pemicu terjadi dan berkembangnya aksi kekerasan atas nama madzhab dan
agama, serta perpecahan dan pertikaian antar umat beragama dan seagama.
Sebab, sejatinya sejak dulu dan
selama ini umat Islam di Indonesia, khususnya antara Sunni dan Syiah, hidup
berdampingan dan bergandengan tangan secara rukun. Perbedaan yang ada di antara
mereka justru ‘dirayakan’ sebagai kekayaan khazanah Islam Indonesia yang
plural. Terlebih
masyarakat Muslim NU, di mana almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menegaskan
bahwa “NU adalah Syiah minus konsep imamah”. Artinya, secara kultural komunitas
Muslim NU menerapkan
ajaran-ajaran Syiah (shalawatan, tahlil 40 hari, dll), hanya mereka tak
menganut konsep imamah. Sehingga, jika kasus yang menimpa penganut Syiah di
basis NU (Madura, Jawa Timur) itu dibiarkan, itu berarti negara telah merusak
relasi ‘mesra’ (khususnya secara kultural) antara Muslim Syiah dan NU di sana.
Dan itu berarti ‘raport merah’ bagi negara dalam kaitannya menyikapi
keberagamaan rakyatnya.
Ketiga, secara kultural, para sejarawan dan antropolog telah
menulis bahwa Syiah telah masuk ke Indonesia sejak awal masuknya Islam ke
Indonesia (pertama kali dibawa oleh Sayyid Maulana ‘Abd al-Aziz Syah, sultan
pertama di Kerajaan Peureulak (Perlak) yang berdiri pada tahun 845 M),
dan mereka juga telah berkontribusi besar dalam membangun peradaban dan moral
bangsa ini. Sehingga, apa yang terjadi pada Ustadz Tajul Muluk, pengikutnya dan
Muslim-Syiah di Indonesia, bukan hanya bentuk kegagalan negara dalam melindungi
keamanan rakyat dan kebebasannya dalam berkeyakinan, namun juga berarti bahwa
negara telah gagal dalam membalas jasa para pahlawannya.
Akhirnya, sesuai amanat UUD ’45 dan Pancasila, dalam soal kebebasan
berpendapat, berpandangan dan bermadzhab (juga beragama), negara seharusnya
hadir sebagai pelindung dan penjamin akan langgengnya kebebasan itu, selama tak
bertentangan dengan asas negara dan regulasi hukum yang berlaku. Terlebih, jika
yang diyakini adalah sebuah madzhab yang telah disepakati sebagai madzhab Islam
yang sah.
Sebaliknya, ketika terjadi sebuah
pelanggaran hukum, apapun latar belakangnya, terlebih jika latar belakangnya
perampasan terhadap rentetan kebebasan di atas, maka negara harus hadir untuk
menegakkan hukum, menangkap pelakunya dan mengadili serta menghukum sesuai
hukum yang berlaku. Itulah salah satu fungsi penting negara di tengah
rakyatnya. ●
Pak Budi, mohon berhati-hati ketika menyampaikan suatu masalah. Ajaran Syiah dikatakan sesat tentu ada pertimbangan-pertimbangannya.
BalasHapusApakah bapak telah mempelajari dengan baik pertimbangan2 tsb dg merujuk kepada hukum Islam sendiri?
Seperti dijelaskan di artikel di atas bahwa jelas-jelas tidak pernah ada lembaga dan ulama -apalagi negara- di dunia yang menyesatkan Syiah, termasuk MUI Indonesia. Dan tentu mereka lebih punya pertimbangan.
HapusYang menyesatkan Syiah itu hanya MUI Jawa Timur dan sebagian kecil ulama Jawa Timur yang pertimbangannya hanyalah politik pragmatis yang rendahan. Jadi, yang harus dipertimbangkan apa penyebab MUI Jawa Timur dan sebagian kecil ulama Jawa Timur menyesatkan Syiah? Apakah benar mereka itu atas dasar Islam? Apakah benar mereka ulama? Apakah pantas lembaga itu disebut lembaga Islam?
Penyesatan Syiah itu tradisi orang Khawarij.Orang Sunni tak pernah menyesatkan Syiah. Sebab, bagi kami (Ahlussunnah), yang menyesatkan siapa yang tak sesat, maka dialah (yang menyesatkan itu) yang sesat. Kami juga punya tradisi ukhuwah yang sangat kuat, sebagaimana kami perlihatkan di antara Syafii, Hanafi, Hambali dan Maliki. Jadi, kami juga akan berukhuwah dengan Syiah.
Adalah sangat bodoh atw pura2 bodoh . buta atw pura 2 buta atw mmang mreka itu buta dan bodoh trhadap syariat islam sehingga tdk bisa mlihat dan myakini akan KESESATAN SYIAH . cobalah lihat kitab 2 orang syiah itu sendiri bagaimana aqidah mereka ???Sesat dan mnjijikan , bertolak belakang dg aqidah islam. klo mbaca dari kitab dari bukan ulama yg bukan syiah mungkin orang mngatakan itu skadar fitnah dan kbncian. tp skali lagi baca langsung kitab 2 imam2 syiah . Niscaya sbodoh bodohnya seorang muslim tentu akan yakin tntang SESATNYA SYIAH .kcuali orang2 yg tlah buta karna subhat dan hawa nafsu........
BalasHapus