“Quo Vadis”
Ulama sebagai Nabi Sosial
Wasisto Raharjo J ; Analis
Politik Fisipol Universitas Gajah Mada
|
SINAR
HARAPAN , 03 September 2012
Peran ulama mulai dipertanyakan seiring dengan merebaknya kasus
konflik keagamaan yang baru-baru ini terjadi di berbagai tempat.
Mulai dari kerusuhan Sampang pada 26 Agustus 2012, konflik tempat
peribadatan di Jawa Barat, hingga yang terbarukan adalah bangkitnya bahaya
laten terorisme berbasis fundamentalisme garis keras yang kini mulai
menunjukkan tajinya di Solo, 1 September 2012.
Berbagai kasus kekerasan agama tersebut dipicu oleh perdebatan
teologis keagamaan yang kemudian berkembang dalam skala masif melibatkan
masyarakat luas. Perilaku klaim-mengklaim mencari pembenaran absurd menjadi
pemicu konflik keagamaan tersebut yang anehnya ulama justru berada di balik itu
semua.
Mengenai kasus Sampang yang kini terjadi, para ulama bukannya
berperan sebagai pengikat bagi umat yang tercerai berai, malah kini kian
terkotak-kotakan secara politis oleh mahzab keagamaan. Fatwa “aliran sesat”
yang dikeluarkan ulama kini menjadi legitimasi teologis untuk melakukan
pemberangusan penganut Islam lain yang beda mahzab.
Sesat atau tidak sesat, itu merupakan persoalan hakiki antara
hubungan manusia dan Tuhan secara langsung sehingga tidak perlu diperdebatkan
dalam ruang publik.
Apalagi Islam secara jelas mengajarkan pluralitas dalam keagamaan
baik dari Alquran, yakni QS Al-Kafiirun ayat 7 yang berbunyi “bagimu agamamu, bagiku agamaku” maupun
QS Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi “Manusia
oleh Allah SWT diciptakan secara berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling
mengenal dan menghargai satu sama lain”.
Hadis Nabi juga menerangkan Islam akan terpecah menjadi 73 golongan
dan hanya yang berpegang Alquran dan Hadis yang selamat di dunia dan akhirat.
Lalu mengapa semua itu dilanggar oleh umat Islam sendiri dengan mengatasnamakan
Alquran dan Hadis? Di manakah peran ulama selama ini?
Reposisi Ulama
Ulama seharusnya menjadi aktor yang bertanggung jawab atas segala
kerusuhan keagamaan yang baru-baru ini terjadi karena ulama memegang kekuasaan
teologis yang seharusnya menyadarkan dan mengembalikan umat kepada jalan yang
lurus.
Ulama yang merupakan waratsatul
al anbiya (pewaris para nabi) memiliki keistimewaan (karamah) dari Tuhan berfungsi sebagai nabi sosial yang bertugas
sebagai filter dan penerjemah masalah sosial bagi masyarakat dalam
menyelesaikan persoalannya.
Konteks ulama sebagai nabi sosial berarti mengharuskan ulama menjaga
situasi kondusif atas kehidupan kemasyarakatan maupun keagamaan, serta sebagai
penjaga moral sosial untuk mengendalikan pengaruh negatif dari luar supaya
tidak merusak tatanan harmonisasi umat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.
Persoalan fikih dan syariah maupun beda mahzab tidak perlu
dipersoalkan bagi ulama sejati yang memerankan perannya sebagai nabi sosial
secara mutlak, karena itu merupakan persoalan profan yang tidak perlu dibuka
dalam relasi sosio kultural.
Ulama sebagai nabi sosial hanya cukup menerjemahkan fikih dan
syariah tersebut dalam perilaku keseharian sehingga menjadi teladan bagi umat.
Namun ulama sebagai nabi sosial itu masa lalu karena
pascareformasi kini konteks sosial menjadi nabi politik. Terjunnya ulama ke
arena politik yang tujuan awalnya menghapus perilaku berpolitik negatif kini
malah kian terseret pada arus politik tersebut. Alhasil, ulama kini tidak
menjadi nabi sosial bagi semua golongan melainkan menjadi nabi bagi golongan
politik tertentu saja.
Terseretnya ulama dalam arus politik kini kian merenggangkan
hubungannya dengan umat sehingga menjadikan umat tercerai berai mengikuti
afiliasi politik yang dijalankan ulama. Mahzab keagamaan pun diangkat dalam
relasi sosio kultural dan menjadi kian terpolitisasi dengan menjelma sebagai
bagian dari politik identitas entitas tertentu sehingga memunculkan perilaku
fundamentalisme keagamaan.
Berbagai mahzab keagamaan kini saling berlomba dalam arena
kekuasaan teologis masyarakat untuk menjadi yang nomor satu.
Akibatnya, jika ada komunitas teologis masyarakat yang berbeda
mahzab akan diperangi dan mengislamkan masyarakat tersebut sesuai dengan
mahzabnya. Adapun dakwah-dakwah yang disampaikan oleh ulama saat ini juga
banyak tersimpan muatan-muatan politisnya daripada mengajak umat lebih beriman
dan bertakwa kepada Tuhan.
Kini ulama pun kian beragam jenisnya mulai dari ulama Sunni, ulama
Syiah, ulama Muhammadiyah, ulama NU, ulama Ahmadiyah, maupun ulama lainnya yang
cenderung mengedepankan entitasnya sebagai ulama organisasi daripada ulama bagi
keseluruhan umat Islam.
Akibatnya riak-riak kecil tersebut berkembang dalam skala masif
sehingga merembet ke persoalan fikih dan syariah sehingga memunculkan perilaku
justifikasi pembenaran bagi ajaran keagamaan yang dianutnya.
Jika sudah sedemikian adanya, ke mana lagi masyarakat mendapat
pencerahan agama yang hakiki kalau ulama yang bertitel pewaris para nabi saja
sudah terkontaminasi politik.
Berarti hal tersebut membuktikan ulama gagal dalam menjalankan
perannya sebagai nabi sosial karena melakukan “pembiaran” atas berbagai
pengaruh negatif luar kian menggerogoti benteng moral teologis masyarakat.
Munculnya Islam garis keras karena hubungan ulama dan umara kian
merenggang dari waktu ke waktu karena ulama sibuk berpolitik sehingga umat kini
mencari alternatif lainnya yang bisa menjelaskan masalah sosial yang
dihadapinya.
Maka dalam hal ini, saya mengajak kepada para ulama untuk kembali
kepada khittah-nya sebagai nabi sosial sebagaimana gelar yang disandangnya,
yakni pewaris para nabi.
Konsekuensi pewaris para nabi ialah ulama harus menjadi penerang
bagi umat dan menjaga pluralitas dalam beragama. Ulama sebagai makelar budaya
seharusnya lebih berada dalam ruang sosio teologis maupun sosio kultural, dan
bukan di arena sosio politik yang malah justru mensekulerkan jubah ulama
menjadi jubah politikus. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar