Selasa, 04 September 2012

“Quo Vadis” Ulama sebagai Nabi Sosial


“Quo Vadis” Ulama sebagai Nabi Sosial
Wasisto Raharjo J ;  Analis Politik Fisipol Universitas Gajah Mada
SINAR HARAPAN , 03 September 2012


Peran ulama mulai dipertanyakan seiring dengan merebaknya kasus konflik keagamaan yang baru-baru ini terjadi di berbagai tempat.

Mulai dari kerusuhan Sampang pada 26 Agustus 2012, konflik tempat peribadatan di Jawa Barat, hingga yang terbarukan adalah bangkitnya bahaya laten terorisme berbasis fundamentalisme garis keras yang kini mulai menunjukkan tajinya di Solo, 1 September 2012.

Berbagai kasus kekerasan agama tersebut dipicu oleh perdebatan teologis keagamaan yang kemudian berkembang dalam skala masif melibatkan masyarakat luas. Perilaku klaim-mengklaim mencari pembenaran absurd menjadi pemicu konflik keagamaan tersebut yang anehnya ulama justru berada di balik itu semua.

Mengenai kasus Sampang yang kini terjadi, para ulama bukannya berperan sebagai pengikat bagi umat yang tercerai berai, malah kini kian terkotak-kotakan secara politis oleh mahzab keagamaan. Fatwa “aliran sesat” yang dikeluarkan ulama kini menjadi legitimasi teologis untuk melakukan pemberangusan penganut Islam lain yang beda mahzab.

Sesat atau tidak sesat, itu merupakan persoalan hakiki antara hubungan manusia dan Tuhan secara langsung sehingga tidak perlu diperdebatkan dalam ruang publik.

Apalagi Islam secara jelas mengajarkan pluralitas dalam keagamaan baik dari Alquran, yakni QS Al-Kafiirun ayat 7 yang berbunyi “bagimu agamamu, bagiku agamaku” maupun QS Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi “Manusia oleh Allah SWT diciptakan secara berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal dan menghargai satu sama lain”.

Hadis Nabi juga menerangkan Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya yang berpegang Alquran dan Hadis yang selamat di dunia dan akhirat. Lalu mengapa semua itu dilanggar oleh umat Islam sendiri dengan mengatasnamakan Alquran dan Hadis? Di manakah peran ulama selama ini?

Reposisi Ulama

Ulama seharusnya menjadi aktor yang bertanggung jawab atas segala kerusuhan keagamaan yang baru-baru ini terjadi karena ulama memegang kekuasaan teologis yang seharusnya menyadarkan dan mengembalikan umat kepada jalan yang lurus.

Ulama yang merupakan waratsatul al anbiya (pewaris para nabi) memiliki keistimewaan (karamah) dari Tuhan berfungsi sebagai nabi sosial yang bertugas sebagai filter dan penerjemah masalah sosial bagi masyarakat dalam menyelesaikan persoalannya.

Konteks ulama sebagai nabi sosial berarti mengharuskan ulama menjaga situasi kondusif atas kehidupan kemasyarakatan maupun keagamaan, serta sebagai penjaga moral sosial untuk mengendalikan pengaruh negatif dari luar supaya tidak merusak tatanan harmonisasi umat dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Persoalan fikih dan syariah maupun beda mahzab tidak perlu dipersoalkan bagi ulama sejati yang memerankan perannya sebagai nabi sosial secara mutlak, karena itu merupakan persoalan profan yang tidak perlu dibuka dalam relasi sosio kultural.

Ulama sebagai nabi sosial hanya cukup menerjemahkan fikih dan syariah tersebut dalam perilaku keseharian sehingga menjadi teladan bagi umat.

Namun ulama sebagai nabi sosial itu masa lalu karena pascareformasi kini konteks sosial menjadi nabi politik. Terjunnya ulama ke arena politik yang tujuan awalnya menghapus perilaku berpolitik negatif kini malah kian terseret pada arus politik tersebut. Alhasil, ulama kini tidak menjadi nabi sosial bagi semua golongan melainkan menjadi nabi bagi golongan politik tertentu saja.

Terseretnya ulama dalam arus politik kini kian merenggangkan hubungannya dengan umat sehingga menjadikan umat tercerai berai mengikuti afiliasi politik yang dijalankan ulama. Mahzab keagamaan pun diangkat dalam relasi sosio kultural dan menjadi kian terpolitisasi dengan menjelma sebagai bagian dari politik identitas entitas tertentu sehingga memunculkan perilaku fundamentalisme keagamaan.

Berbagai mahzab keagamaan kini saling berlomba dalam arena kekuasaan teologis masyarakat untuk menjadi yang nomor satu.

Akibatnya, jika ada komunitas teologis masyarakat yang berbeda mahzab akan diperangi dan mengislamkan masyarakat tersebut sesuai dengan mahzabnya. Adapun dakwah-dakwah yang disampaikan oleh ulama saat ini juga banyak tersimpan muatan-muatan politisnya daripada mengajak umat lebih beriman dan bertakwa kepada Tuhan.

Kini ulama pun kian beragam jenisnya mulai dari ulama Sunni, ulama Syiah, ulama Muhammadiyah, ulama NU, ulama Ahmadiyah, maupun ulama lainnya yang cenderung mengedepankan entitasnya sebagai ulama organisasi daripada ulama bagi keseluruhan umat Islam.

Akibatnya riak-riak kecil tersebut berkembang dalam skala masif sehingga merembet ke persoalan fikih dan syariah sehingga memunculkan perilaku justifikasi pembenaran bagi ajaran keagamaan yang dianutnya.

Jika sudah sedemikian adanya, ke mana lagi masyarakat mendapat pencerahan agama yang hakiki kalau ulama yang bertitel pewaris para nabi saja sudah terkontaminasi politik.
Berarti hal tersebut membuktikan ulama gagal dalam menjalankan perannya sebagai nabi sosial karena melakukan “pembiaran” atas berbagai pengaruh negatif luar kian menggerogoti benteng moral teologis masyarakat.

Munculnya Islam garis keras karena hubungan ulama dan umara kian merenggang dari waktu ke waktu karena ulama sibuk berpolitik sehingga umat kini mencari alternatif lainnya yang bisa menjelaskan masalah sosial yang dihadapinya.

Maka dalam hal ini, saya mengajak kepada para ulama untuk kembali kepada khittah-nya sebagai nabi sosial sebagaimana gelar yang disandangnya, yakni pewaris para nabi.
Konsekuensi pewaris para nabi ialah ulama harus menjadi penerang bagi umat dan menjaga pluralitas dalam beragama. Ulama sebagai makelar budaya seharusnya lebih berada dalam ruang sosio teologis maupun sosio kultural, dan bukan di arena sosio politik yang malah justru mensekulerkan jubah ulama menjadi jubah politikus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar