Reformasi
Kurikulum
Anita Lie ; Guru
Besar Unika Widya Mandala, Surabaya;
Anggota
Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
|
KOMPAS,
18 September 2012
Hal yang membedakan negara
yang dianggap sudah berhasil dalam pembangunan pendidikan dengan negara yang
belum maju adalah angka partisipasi tinggi, pemerataan, mutu, dan efisiensi. Di
Indonesia, peningkatan angka partisipasi kasar dan murni dianggap sebagai
keberhasilan strategi pembangunan pendidikan.
Pencapaian tiga target
selanjutnya membutuhkan koherensi sistem dan kebijakan, kesungguhan dan
kejujuran dalam pelaksanaan strategi pendidikan, serta kerja keras pemerintah
dan masyarakat.
Peningkatan mutu pendidikan
bisa dilakukan melalui reformasi kurikulum sebagai suatu perangkat apa yang
kita impikan untuk anak-anak Indonesia, apa yang harus kita ajarkan, dan
akhirnya apa yang akan diserap oleh anak-anak. Evaluasi kurikulum memang mutlak
dilaksanakan secara berkala untuk menilai relevansi kurikulum dengan anak-anak
dalam konteks tempat dan waktu yang terus berubah secara drastis. Reformasi
kurikulum untuk menjadikan anak-anak kita cerdas, bermoral, kreatif,
komunikatif, dan toleran membutuhkan lebih dari sekadar penambahan jam belajar
dan pengurangan mata pelajaran seperti yang diberitakan (Kompas, 3-4 September 2012).
Evaluasi kurikulum perlu
mengkaji kesinambungan falsafah dan visi pendidikan dengan praktik-praktik
pendidikan sebagai pengejawantahan dari kebijakan dan menilai keluaran dan
capaian. Ada beberapa model evaluasi kurikulum yang bisa jadi acuan. Model mana
pun yang diacu, hasil dari evaluasi kurikulum seyogianya bisa jadi masukan
untuk penyusunan, revisi, atau pengembangan selanjutnya.
Carl Glickman (Leadership for Learning) mengingatkan,
setiap upaya perbaikan kurikulum seharusnya tetap setia pada fokus pendidikan:
pembelajaran siswa. Para pakar pendidikan mengungkapkan pandangan berbeda
mengenai apa yang siswa perlu dipelajari. Sebagian berpendapat, siswa perlu
mengembangkan strategi kognisi dan keterampilan untuk bisa bertahan dan
berkompetisi di abad ke-21. Beberapa pakar lain yakin, kurikulum tak boleh
mengorbankan penguasaan materi pengetahuan untuk memberikan lebih banyak ruang
bagi pengembangan keterampilan.
Keterampilan Abad ke-21
Rencana mengurangi mata
pelajaran tampaknya mendapat banyak dukungan publik karena memang jumlah mata
pelajaran dalam kurikulum SD-SMA terlalu banyak dan mubazir. Keinginan ini juga
sejalan dengan kebutuhan anak muda untuk memperoleh keterampilan abad ke-21, di
antaranya kecakapan hidup dan karier, literasi media dan keterampilan teknologi
informasi (www.21stcenturyskills.org).
Selain itu, berdasarkan
analisis terhadap ribuan mata kuliah di tahun pertama pendidikan tinggi, David Conley (2011) mengidentifikasi
lima strategi kognisi utama: formulasi permasalahan, riset, interpretasi,
komunikasi, dan ketepatan/ketelitian. Walaupun siswa mengambil manfaat dari
muatan pengetahuan umum dalam beberapa disiplin yang utama, pengetahuan ini
saja tidak cukup tanpa strategi kognisi yang andal.
Penguasaan materi seharusnya
tidak menjadi tujuan dari proses pembelajaran, tetapi sebagai jalan untuk
mencapai tujuan. Pengajaran yang efektif melibatkan siswa untuk menemukan
aplikasi dari pengetahuan. Guru perlu berjuang agar tak terjebak dalam godaan
untuk kegiatan persiapan ujian. Kurikulum yang mencakup formulasi masalah,
investigasi, debat, simulasi, permainan, bertanya ala Socrates, presentasi, dan
proyek akan membantu siswa menguasai muatan dan konsep pengetahuan.
Fokus Penguasaan Pengetahuan
Penekanan terhadap
pengembangan keterampilan dan pengurangan muatan pengetahuan yang sedang
menjadi tren di Amerika Serikat dianggap biang dari kemerosotan negara adidaya
ini dalam Program for International
Student Assessment (PISA). Dalam PISA 2009, siswa AS menempati peringkat
ke-17 dalam membaca, ke-23 dalam sains, dan ke-31 dalam matematika; di bawah
Slowakia, Hongaria, dan Polandia.
Lynne Munson (2011)
mempelajari sembilan negara yang mengungguli AS, yakni Finlandia, Hongkong (China),
Korea Selatan, Jepang, Kanada, Australia, Selandia Baru, Belanda, dan Swiss.
Tentu saja sistem dan strategi pendidikan di setiap negara adalah unik.
Sebagian dari negara-negara ini mempunyai standar nasional kurikulum, tetapi
sebagian lainnya tidak. Sebagian memberlakukan kebijakan ujian nasional, tetapi
sebagian lainnya tidak.
Ada dua kesamaan yang
ditemukan di antara sembilan negara ini. Pertama, semua menunjukkan kesungguhan
dalam program pendidikan umum: ilmu sosial budaya dan sains. Di hampir semua
negara yang mencapai peringkat atas dalam PISA, seni, kesusastraan, sejarah,
geografi, kewarganegaraan, sains, bahasa asing, dan matematika jadi mata
pelajaran wajib. Kedua, negara berperingkat atas tersebut tidak menggeser
penguasaan pengetahuan demi keterampilan serta tidak hanya fokus pada membaca
dan matematika.
Peta Kurikulum
Ketika pengurangan mata
pelajaran menjadi suatu keniscayaan, kita patut bertanya apa yang akan
dikurangi. Jangan sampai kita melakukan kesalahan yang sudah pernah dibuat
negara lain karena kelalaian mempelajari dan mengkaji permasalahan dengan
tepat. Apakah pengurangan mata pelajaran ini sekadar penggabungan beberapa mata
pelajaran—antropologi dan sosiologi menjadi IPS Terpadu, misalnya—sehingga
jadwal pelajaran harian anak sekolah jadi lebih ringkas? Ataukah cakupan materi
pengetahuan juga akan dikurangi? Jika cakupan akan dikurangi, kita perlu kajian
lebih mendalam materi apa yang harus dipertahankan dan apa yang bisa dibuang.
Terkait dengan argumentasi
keterampilan versus muatan pengetahuan, setiap pendidik pasti menyadari bahwa
siswa membutuhkan keduanya (selain nilai dan karakter, tentunya). Resep yang
baik akan menghasilkan makanan yang lezat dan bergizi jika memuat informasi
bahan dan cara memasak yang tepat. Demikian pula dengan kurikulum. Informasi
bahan memuat komposisi beragam materi dengan takaran yang sesuai. Materi ini
tidak akan membuahkan hasil yang baik tanpa pengolahan dengan keterampilan dan
strategi yang efektif.
Selain itu, konsep kurikulum
yang baik seyogianya juga mempertimbangkan kesiapan di ruang kelas. Penambahan
jam belajar dan pengurangan mata pelajaran mengasumsikan kesiapan sekolah untuk
mengurangi keluasan dan menggali kedalaman (depth
over breadth).
Asumsi ini mengandung
prasyarat bahwa para guru sudah kompeten dan terampil dalam mengelola kelas
serta merancang dan memfasilitasi sesi-sesi pembelajaran bermutu, yang mengajak
para siswa belajar secara aktif dan mengembangkan kemampuan berpikir tingkat
tinggi. Jika keluasan cakupan dikurangi, padahal guru belum siap menggali
kedalaman, siswa akan kembali menjadi korban. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar