Etika
Reformasi Birokrasi
Haryatmoko ; Pengajar
di Universitas Sanata Dharma
dan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
18 September 2012
Faktor penting yang sering diabaikan
dalam reformasi birokrasi adalah membangun budaya etika publik. Etika publik
menekankan akuntabilitas, transparansi, dan integritas dalam pelayanan publik.
Penerapan ketiga aspek etika
publik ini mengandaikan ada komisi etika di setiap departemen, infrastruktur
etika, dan kriterium etika dalam perekrutan pejabat publik. Unsur penting
infrastruktur etika publik adalah pemberdayaan civil society untuk pengawasan pelayanan publik.
Infrastruktur Etika
Tugas komisi etika mencakup
tiga bidang. Pertama, merumuskan etika pelayanan publik untuk membangun standar
etika dan menumbuhkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kedua, mencegah
terjadinya konflik kepentingan dan memecahkan masalah bila terjadi konflik
kepentingan. Maka perlu menentukan prinsip pengaturan konflik kepentingan dan
menafsirkan hukum yang mengatur konflik kepentingan. Ketiga, melakukan
pendampingan dan penyadaran pejabat publik agar peka terhadap dimensi etika
dalam kebijakan publik.
Untuk bisa menjalankan tugas
itu, komisi etika harus diikutsertakan dalam perekrutan pejabat. Komisi etika
mengadakan pelatihan analisis masalah-masalah pelayanan publik. Pelatihan etika
perlu dalam kerangka perekrutan tenaga baru, setiap kenaikan jabatan, dan bila
menghadapi isu- isu aktual.
Ketiga tugas komisi etika
bisa diwujudkan bila didukung infrastruktur etika dalam manajemen pelayanan
publik (Bowman, 2010: 88). Pertama,
mekanisme konsultasi etika. Komisi etika berperan meningkatkan kesadaran akan
masalah etika dalam pertemuan-pertemuan staf dan merumuskan dampak etika
sebelum keputusan diambil.
Kedua, saluran pelaporan,
yaitu prosedur menyampaikan keluhan, hotlines, informasi konfidensial,
mekanisme whistle blower dengan perlindungannya.
Ketiga, sistem personalia:
rotasi jabatan perlu dilakukan supaya pejabat pengganti mengevaluasi kebijakan
pejabat sebelumnya untuk mendeteksi adanya penyelewengan atau konflik
kepentingan; merevisi sistem perekrutan, pelatihan dan proses evaluasi kinerja
termasuk identifikasi dimensi-dimensi etika deskripsi pekerjaan.
Keempat, audit etika secara
berkala: merevisi dokumen, kerentanan dalam penaksiran, survei dan wawancara
dengan karyawan, evaluasi sistem untuk memudahkan penilaian efektivitas
program; kelima, pengambil keputusan kunci setidaknya dua orang untuk mengurangi
kesewenangan dan hasrat korupsi.
Infrastruktur etika membantu
menjamin hubungan kerja yang fair dan menciptakan suasana keterbukaan.
Kriteria Perekrutan
Sistem yang bersih (budaya
etika dalam organisasi) harus disertai pelaku yang jujur dan efektif. Jaringan
asosiasi profesi, seperti akuntan, hukum, dokter, insinyur sipil, arsitek,
diperlukan untuk membantu dalam pengawasan kebijakan publik. Sumbangan
kelompok-kelompok ini akan sangat berarti untuk analisis, investigasi, audit,
evaluasi suatu proyek atau advokasi hukum.
Sudah saatnya ada inisiatif
dari para profesional untuk pelayanan masyarakat atau pemberdayaan civil society dengan ikut dalam
pengawasan penyelenggaraan negara. Praktik pro
bono (pro bono publico artinya
untuk kebaikan atau kepentingan publik) sebaiknya diterapkan untuk kaum
profesional bidang apa pun di Indonesia.
Pro
bono adalah
kerja sukarela kaum profesional, tidak dibayar, sebagai bentuk pelayanan kepada
masyarakat. Bedanya dengan sukarelawan biasa ialah pro bono mengandalkan
pada keahlian/profesi untuk memberi pelayanan cuma-cuma bagi mereka yang tidak
bisa membayar, terutama sebagai bentuk pengabdian masyarakat.
Salah satu caranya ialah
dengan menyediakan jumlah jam bekerja pro
bono per bulan bagi profesional. Minimum delapan jam per bulan adalah waktu
yang masuk akal. Kerja pro bono
dipakai sebagai salah satu syarat bagi seseorang untuk bisa menduduki jabatan,
calon legislatif atau jabatan-jabatan struktural di pemerintahan dan swasta.
Kriterium pro bono berfungsi mengingatkan bahwa jabatan
publik dan profesi mengandung nilai etis atau kewajiban moral, yaitu sebagai
panggilan untuk pengabdian masyarakat. Orang yang biasa bekerja untuk
kepentingan masyarakat lebih memiliki nurani dalam menghadapi godaan untuk
korupsi.
Kartu Pelaporan
Untuk memberdayakan
masyarakat dalam pengawasan pelayanan publik (mengacu gagasan Samuel Paul),
diperlukan program kartu pelaporan oleh warga negara (KPW) sebagai umpan balik
terhadap pejabat publik (dalam C
Sampford, 2006: 235).
Tujuan pembuatan KPW adalah pertama,
untuk menilai akses, kelengkapan, dan kualitas pelayanan publik sejauh dialami
masyarakat serta membandingkan dengan berbagai pelayanan publik lain sehingga
bisa dibuat rating. Kedua, mengukur
kepuasan warga negara dengan memprioritaskan perbaikan.
Ketiga, indikator masalah
dalam pelaksanaan pelayanan publik (pasokan air/listrik, ketersediaan obat di
rumah sakit, pelayanan kepolisian), kesulitan yang dihadapi (nota lebih tinggi,
dipersulit dalam urusan).
Keempat, memberi prakiraan
adanya korupsi dan ongkos lain yang mungkin disembunyikan. Kelima, membantu
warga negara mengeksplorasi kemungkinan memperbaiki pelayanan publik karena KPW
adalah menjajaki berbagai pilihan yang diharapkan masyarakat dalam mengatasi
beragam masalah (C Sampford, 2006: 236).
Dari KPW itu akan tersingkap standar kualitas pelayanan publik, norma-normanya,
biaya yang harus dibayar, termasuk ongkos yang disembunyikan (suap).
Deteksi Korupsi
Melalui KPW, ada masukan
tentang tingkat kepuasan pelayanan publik di berbagai sektor dan sekaligus bisa
digunakan sebagai alat untuk mendeteksi atau mengukur tingkat korupsi. KPW juga
berfungsi sebagai alat diagnostik bagi pejabat publik, konsultan, peneliti
sebagai bahan untuk analisis dan mencari pemecahan masalah. Pejabat publik
didorong untuk lebih terbuka, menentukan standar kinerja dan meningkatkan
transparansi.
Dari sisi pendidikan
politik, KPW menjadikan pelayanan publik sebagai forum yang memfasilitasi
diskusi masyarakat pengguna tentang kinerja pemerintah. Praktik KPW ini
membiasakan warga negara untuk mengambil sikap dan menuntut hak- haknya dengan
meminta akuntabilitas, akses, dan respons dari pejabat publik.
KPW memberdayakan warga
negara untuk mengawasi dan memantau badan pemerintah atau pemerintah daerah.
Dengan KPW, ada investasi kapital sosial karena KPW mempertemukan berbagai
kelompok melalui masalah-masalah yang mereka hadapi sehingga bisa menjadi
keprihatinan bersama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar