Selasa, 04 September 2012

Putusan MK dan Institusionalisasi Partai

Putusan MK dan Institusionalisasi Partai
Muhammad Aziz Hakim ;  Pengurus PP GP Ansor, 
Alumnus Magister Hukum Universitas Indonesia
SINDO , 04 September 2012


Mahkamah Konstitusi kembali menelurkan putusan yang mengejutkan. Putusan MK,khususnya Putusan Perkara Nomor 52/PUU-X/2012 tentang Pengujian UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota bak senjata makan tuan bagi partai parlemen.

Bagaimana tidak, kini mereka harus turut berjibaku memenuhi seluruh persyaratan untuk mengikuti pemilu sesuai dengan rumusan yang mereka putuskan meskipun sejatinya syarat-syarat berat itu semula ditujukan pada partai nonparlemen dan partai baru. Putusan MK tersebut membatalkan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa: “yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru”,serta menganulir Pasal 208 sepanjang frasa:

”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”. Dengan putusan ini, seluruh partai harus melalui proses dan lolos verifikasi administrasi dan faktual oleh KPU jika ingin berlaga pada Pemilu mendatang.Pun ambang batas 3,5% hanya berlaku untuk penentuan kursi DPR RI. Meskipun mengejutkan, baik bagi pemohon maupun partaiparlemen,apresiasilayak diberikan kepada MK karena putusan ini dapat mendorong pada upaya peningkatan derajat kelembagaan partai (the degree of institutionalization).

Peningkatan derajat pelembagaan partai inilah yang akan menentukan proses pelembagaan demokrasi. Partai-partai semakin terlembaga, demokrasi akan makin matang. Setidaknya ada beberapa poin dari putusan MK ini yang mendorong institusionalisasi partai.Pertama,partai dipaksa untuk membangun struktur yang kuat hingga tingkat kecamatan. Syarat yang dibebankan oleh Pasal 8 ayat (2) UU No 8/2012 adalah memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan dari kabupaten/ kota yang terdapat kepengurusan partai.

Tidak ada jaminan partai parlemen memiliki struktur sebagaimana ketentuan UU No 8/2012 ini. Jika partai lama parlemen terninabobokan dengan “tiket gratis” yang selama ini mereka peroleh ketika akan mengikuti pemilu sehingga lalai membangun struktur hingga tingkat kecamatan, partai-partai itu bisa jadi sangat terancam tidak ikut serta pada pemilu mendatang. Kedua, menguji soliditas administrasi dan keanggotaan partai.

Di samping struktur kepengurusan, Pasal 8 ayat (2) huruf f mensyaratkan partai memiliki anggota sekurangkurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada kepengurusan partai politik tingkat kabupaten/kota. Ketentuan ini batu uji bagi sebuah partai terhadap mekanisme rekrutmen keanggotaan serta penataan administrasi anggota partai.

Bagi partai baru dan partai lama nonparlemen barangkali putusan MK tidak terlalu berpengaruh mengingat partai-partai itu telah berupaya memenuhi ketentuan ini sejak berbulan-bulan lalu meskipun tentu tidak menjamin dapat memenuhi secara sempurna ketentuan ini.Namun,lain halnya bagi partai lama parlemen mengingat waktu yang dimiliki untuk menata keanggotaan sangatlah sempit. Ketiga, ujian keseriusan KPU dalam melakukan verifikasi administrasi dan faktual. Dengan terbitnya putusan MK ini, pekerjaan KPU semakin berat.

KPU harus juga melakukan verifikasi administrasi dan faktual terhadap partai parlemen. Salah satu contoh yang harus sangat diperhatikan KPU adalah mengenai verifikasi administrasi dan faktual terhadap jumlah anggota Partai.Dalam Pasal 11 ayat (2) PKPU No 8/2012, partai politik tingkat pusat harus menyampaikan daftar anggota partai per kabupaten/ kota dalam bentuk softcopy kepada KPU.Adapun partai tingkat kabupaten/kota harus menyerahkan dua rangkap hardcopy bukti keanggotaan kepada KPU kabupaten/kota (Pasal 11 ayat 3).

Maksud dari ketentuan ini adalah mempermudah identifikasi keanggotaan seseorang dalam beberapa partai. Sayangnya, tidak ada ketentuan lebih detail terhadap implikasi ditemukannya seseorang yang menjadi anggota di beberapa partai. Apakah dianggap sebagai anggota partai yang mengeluarkan KTA terlebih dahulu atau malah yang terakhir, atau dianggap seseorang itu gugur sehingga dapat memengaruhi jumlah anggota partai yang disetorkan.

Di sinilah letak dibutuhkannya keseriusan dan keberanian KPU dalam melakukan verifikasi administrasi dan faktual terhadap anggota partai. Nyali besar KPU ini penting mengingat putusan MK yang mengharuskan partai parlemen berjibaku dalam memenuhi persyaratan jumlah anggota. Beranikah KPU menganulir anggota partai parlemen yang kebetulan juga anggota partai lain? Keempat, semakin mapannya persyaratan kepesertaan dalam pemilu mendatang. Putusan MK ini menjadi shock therapy bagi partai parlemen.

Keistimewaan sebagai partai parlemen yang coba dimanfaatkan diluluhlantakkan oleh MK. Bisa jadi, saat penyusunan UU No 8/2012 dengan dalih politik penyederhanaan partai, partai parlemen mencoba untuk menghambat munculnya kompetitor baru dengan persyaratan persyaratan yang sangat berat. Kini persyaratan itu harus mereka penuhi pula. Terlepas dari poin-poin tersebut.

Proses pelembagaan partai masih membutuhkan perjuangan panjang. Jika menganut Yves Meny dan Andrew Knapp, parameter derajat pelembagaan partai ada tiga yakni (1) it’s age, semakin tua partai semakin matang; (2) the depersonalization of organization, semakin terlembaga, partai semakin mengalami depersonalisasi; (3) organizational differentiation, semakin jelas identifikasi dan diferensiasi dengan partai lain. Jika ketiga parameter ini menjadi ukuran, perjuangan pelembagaan partai masih membutuhkan kerja keras. Meskipun demikian, Putusan MK Nomor 52/PUU-X/2012 memberikan sumbangan yang sangat berharga dalam institusionalisasi partai. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar