Politik Manusia
Merdeka
Arif Susanto ; Pengajar
di Universitas Paramadina
|
KOMPAS,
07 September 2012
Kemerdekaan adalah tuntutan
pokok bagi tindakan politik: mampu mengupayakan pemenuhan kepentingan bersama
hanya bila di sana ada kebebasan.
Pada saat yang sama, entitas
politik bertahan bila kepublikan terawat. Sayangnya, hasrat personal dalam
bentuk korupsi, atau fanatisme keagamaan, atau tindak kekerasan kini kerap
menganeksasi publik. Masa depan Indonesia terancam, kecuali kita memulihkan
politik pada lokusnya di ruang publik, tempat manusia-manusia merdeka berelasi
dan bertindak.
Beragam dan Setara
Apa yang membuat politik
mungkin? Keberagaman dan kesetaraan. Politik selalu mengandaikan kehadiran
orang lain. Politik hadir dalam kehidupan komunal dan menuntut kesetaraan
antarpelakunya (Arendt, 1998: 23).
Setidak-tidaknya dua implikasi yang dapat kita tarik dari pemahaman itu.
Pertama, politik tidak lahir
dari ruang privat, tetapi hidup dalam kepublikan. Kehidupan bernegara hanya
mungkin bertahan sejauh warga negara tak menimbang semata-mata kepentingan
personalnya. Orang bertindak dengan pemahaman bahwa kepentingannya bersesuaian
dengan atau kadang dibatasi oleh kepentingan orang lain. Melampaui keterbatasan
perspektif kepentingan sepihak menjadi kebutuhan bagi politik berkeadilan.
Politik berarti kemajemukan dan pelingkupan.
Korupsi menggerogoti politik
karena di situ hanya ada kepentingan sepihak. Perilaku korup menegasikan
kehadiran orang lain berikut kepentingan mereka melalui tindakan memperkaya
diri atau kelompok sendiri.
Demikian pula fanatisme
berwawasan sempit melemahkan politik karena sikap eksklusifnya.
Kedua, politik tidak tumbuh
dari situasi timpang. Politik dihidupi tindakan manusia bebas sehingga
penindasan adalah musuh kemanusiaan sekaligus politik. Ketika para pendiri
negara berkehendak membentuk entitas politik Indonesia, proklamasi kemerdekaan
menjadi langkah awal. Selanjutnya penegasan UUD 1945 bahwa ”kemerdekaan itu
ialah hak segala bangsa” dan ”penjajahan itu tidak sesuai dengan
perikemanusiaan” juga sejalan dengan hakikat politik sebagai situasi bebas dan
setara.
Berbekal modal ini, seluruh
generasi dibebani tugas ”melindungi segenap bangsa Indonesia”, termasuk
kebebasan dan kesetaraan warga negaranya. Dalam kerangka itu, luka fisik dan
batin yang dialami para korban pelanggaran HAM bukanlah suatu pengalaman subyektif.
Segala tindakan
antikemanusiaan merupakan pencederaan keindonesiaan kita. Jika sampai kini
masih terjadi pelanggaran HAM dan pembiarannya, orang harus mengutuknya.
Dalam Kepublikan
Lantas kedaulatan dan kebebasan
macam apa yang diperlukan? Sebagian mungkin berpikir orang hanya bebas dan
berdaulat ketika tak bergantung kepada orang lain. Namun, kedaulatan semacam
itu mustahil. Tak ada orang hidup sendirian di dunia ini. Dalam
keterbatasannya, manusia bergantung secara relatif kepada orang lain. Kebebasan
manusia bergantung pada tindakan kolektif (Arendt,
1998: 234).
Menimbang kedaulatan soliter
dalam arti independen mutlak tidaklah mungkin, maka kehadiran orang lain dalam
keberagaman menjadi kondisi yang harus dipenuhi oleh kehidupan politik.
Artinya, solidaritas, yang sejak awal diusahakan oleh para pelopor, menjadi
kebutuhan keberkelanjutan bagi Indonesia. Tanpa solidaritas, tidak akan ada
politik dalam kerangka kolektivitas.
Alih-alih menampik mereka
yang berbeda, soliditas persatuan Indonesia diperkukuh oleh penerimaan terhadap
keberagaman. Alih-alih mengutuk mereka yang berbeda, pemahaman silang kiranya
meneguhkan kebersamaan kita. Persatuan Indonesia, dengan demikian, adalah
kolektivitas Bhinneka Tunggal Ika yang sesuai dengan pandangan bahwa politik
hidup dalam keberagaman dan kesetaraan.
Kehidupan politik juga
mempersyaratkan kebebasan para pelaku menjalankan pilihan tindakan. Politik
bukanlah bagi para bu- dak tertindas, bukan pula bagi para penindas. Politik
adalah aktivitas yang secara otentik dimiliki mereka yang merdeka dan hidup
dalam kepublikan bersama.
Masyarakat sebagai suatu
kesatuan dengan ketergantungan silang demi pemenuhan kebutuhan hidup memiliki
signifikansi publik (Arendt, 1998: 46).
Ini menegaskan kehadiran orang lain berikut persilangan kepentingan di dalamnya
merupakan penanda pokok keberadaan publik. Segala yang muncul di publik
terlihat dan terdengar semua.
Transparansi dan
akuntabilitas pada galibnya menjadi hal yang lekat dengan penyelenggaraan
urusan publik. Politik sebagai urusan publik menghindarkan eksklusivisme,
ketika politik dipandang semata urusan elite. Politik yang sehat mengandaikan
keterlibatan publik dan kesiapan elite mengagregasi kepentingan mereka.
Sejalan dengan itu, tuntutan
demokrasi bagi perlindungan kebebasan berekspresi menjadi kebutuhan. Rumusan
tentang keutamaan publik sebagai hasil deliberasi dimungkinkan antara lain oleh
adanya keleluasaan semacam itu. Inilah politik dua aras: bermula dari
problematisasi kepentingan pada tataran publik lalu diserap dalam proses
pengambilan kebijakan di tataran lembaga negara; suatu kebijaksa- naan dalam
permusyawaratan.
Di tengah ancaman hasrat personal,
terutama oleh elite berkuasa, politik Indonesia selayaknya dipulihkan
hakikatnya sebagai aktivitas dengan segenap keutamaan di antara warga negara
yang bebas dan setara. Akhirnya, memahami kehendak asasi bersama untuk
mewujudkan ”Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur”
kiranya memelihara spirit bernegara kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar