Kanalisasi
Politik Etnik
Sofyan Sjaf ; Dosen
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi
Manusia IPB
|
KOMPAS,
07 September 2012
Kesalahan pendekatan
memperlakukan konteks obyektif masyarakat plural (baca: polietnik)
mengakibatkan hadirnya ancaman serius posisi negara-bangsa di kemudian hari.
Inilah kondisi obyektif Indonesia saat ini yang memiliki 761 etnik (subetnik)
yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Kuatnya kontrol atas
kekuatan (identitas) etnik saat rezim Orde Baru, melalui militer dan parpol
pemerintah dalam struktur kekuasaan saat itu, berdampak terhadap terbentuknya
wacana dominan seperti ”saatnya putra daerah berkuasa” atau ”lokal versus
pendatang”. Ditambah pilihan demokrasi liberatif sebagai cara berdemokrasi di
Indonesia, dominasi etnisitas dalam struktur kekuasaan politik di Indonesia
semakin dilegitimasi.
Pertanyaannya, bagaimana
memperlakukan obyektivisme etnisitas sebagai realitas yang hadir di negeri yang
struktur masyarakatnya dibangun dari masyarakat polietnik?
Berbahaya
Fenomena mengemukanya isu
terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)—khususnya suku/etnik—dalam
Pilkada DKI Jakarta bukanlah hal yang baru. Di beberapa daerah yang memiliki
basis histori ”kerajaan tradisional”, stigmanisasi etnisitas dan ”kekuatan”
demografi yang seimbang antaretnik merupakan kondisi obyektif yang terus
direproduksi sebagai instrumen aktor untuk membentuk identitas etnik. Tujuannya
tentu agar memperoleh kuasa simbolik, politik, dan ekonomi dalam arena ekonomi
politik lokal.
Realitas itu lalu dimaknai
dalam bentuk tindakan aktor melakukan mobilisasi (identitas) etnik di berbagai
arena. Hal ini tampak dalam modus operandi praktik-praktik ekonomi politik
lokal, seperti pilkada dan penguasaan struktur ekonomi politik lokal. Lalu,
apakah fenomena ini dapat dihindari agar kebinekaan dapat terjaga dengan baik?
Pembentukan identitas etnik
dalam arena ekonomi politik lokal selalu melekat dalam struktur kekuasaan
ekonomi politik. Keterlekatan identitas etnik dalam struktur kekuasaan itu
disebabkan kondisi subyektif (pengalaman) aktor senantiasa menempatkan
kepentingannya bias etnik atas praktik-praktik dominasi- terdominasi dalam arena
ekonomi politik.
Oleh karena itu, tidak
mengherankan bila desentralisasi melalui demokrasi liberatif sebagai pilihan
cara berdemokrasi tidak berdampak pada kesejahteraan rakyat. Sebaliknya justru
menyebabkan ketimpangan antarkelompok etnik mayoritas terhadap minoritas.
Tidak itu saja, basis
pemekaran wilayah administrasi (kabupaten ataupun provinsi) cenderung bermotif
”satuan” etnik (symbolic power)
ketimbang pertimbangan keadilan sosial. Jika demikian halnya, Indonesia akan
terpecah menjadi satuan-satuan daerah yang berbasis etnik. Inilah bahaya atas
keniscayaan politik etnik di Indonesia.
Diperlukan Kanalisasi
Adalah tindakan utopis
menghambat atau menghentikan tindakan politik etnik dengan sistem demokrasi
liberatif seperti saat ini. Untuk itu, kanalisasi politik etnik perlu dilakukan
dengan mengembalikannya kekhitah Demokrasi Pancasila.
Demokrasi
Pancasila adalah demokrasi yang mengakui adanya perbedaan (pluralisme dan
multikulturalisme) yang disatukan oleh ”rasa bersama” dalam idiom negara-bangsa, berikut semangat
nasionalisme yang menyertainya (Sri-Edi Swasono, 2012). Dengan demikian, bentuk
kanalisasi politik etnik adalah memberikan ruang keadilan yang sama bagi etnik
mayoritas dan minoritas.
Konteks di atas
mengisyaratkan: pengakuan atas kebinekaan seyogianya memberikan keadilan bagi
seluruh etnik, baik mayor maupun minor, untuk mengakses kekuasaan ekonomi
ataupun politik. Dengan kata lain, sekecil apa pun etnik yang ada di suatu
wilayah, harus terwakili dalam struktur kekuasaan.
Di sinilah negara memainkan
peran penting membangun kanal-kanal bagi kekuatan etnisitas di negeri ini.
Tidak itu saja. Agar kemandulan re(produksi) kepemimpinan nasional tidak
terjadi, maka kekuatan negara dibutuhkan untuk memfasilitasi terbukanya
kanalisasi ekspresi bagi kelompok-kelompok etnik di daerah untuk mengonstruksi
nilai- nilai bersama yang dibangun dari basis nilai etnik masing-masing. Semua
ini tidak lain untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
selalu dihantui dengan isu SARA. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar