Minggu, 09 September 2012

Penyebarluasan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme


Penyebarluasan Ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme
Romli Atmasasmita ;  Guru Besar EmeritusUniversitas Padjadjaran (Unpad)
SINDO, 08 September 2012


Pernyataan Mahfud MD di beberapa media ketika menerima PM Jerman Angela Merkel di Jakarta menyentak perasaan hukum penulis dan mungkin sebagian ahli hukum pidana (10/7). 

Mahfud menegaskan bahwa keberadaan golongan penganut ateis dan komunis di Indonesia diperbolehkan dan juga dinyatakan: “Saya katakan bahwa orang yang menganut komunisme dan ateisme tidak bisa dihukum di Indonesia” (majalah Forum Keadilan No 14/23 tanggal 29 Juli 2012). Pernyataan Mahfud terbukti keliru karena KUHP yang masih merupakan hukum positif di Indonesia telah mencantumkan ancaman sanksi pidana terhadap empat bentuk perbuatan yang menyebarluaskan atau mengajarkan komunisme.

Keempat jenis perbuatan tersebut adalah, pertama, perbuatan secara melawan hukum di muka umum secara lisan atau tulisan dan atau media apa pun menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme dalam segala bentuk perwujudannya. Kedua, perbuatan secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun; menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda.

Ketiga, perbuatan secara melawan hukum di muka umum dengan lisan atau tulisan dan atau melalui media apa pun menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/leninisme-marxisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Keempat, perbuatan mendirikan organisasi yang patut diduga menganut ajaran komunisme/leninisme-marxisme atau dalam segala bentuk perwujudannya (a) atau mengadakan hubungan atau memberikan bantuan kepada organisasi baik di dalam maupun di luar negeri yang diketahuinya berasaskan ajaran komunisme/marxisme-leninisme atau dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan maksud mengubah dasar negara atau menggulingkan pemerintah yang sah.

Empat perbuatan yang diancam pidana dalam KUHP (Pasal 107 a, Pasal 107 c, Pasal 107 d, dan Pasal 107 e) suka atau tidak suka atau bertentangan dengan HAM adalah masih merupakan bagian dari sistem hukum pidana yang diakui di dalam NKRI. Sejalan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP sistem hukum pidana Indonesia masih menganut asas legalitas yang menegaskan bahwa setiap perbuatan hanya akan dipidana jika telah ada ketentuan sebelumnya yang mengatur perbuatan tersebut dan telah tersedia ancaman sanksi pidananya.

Ancaman sanksi pidana untuk pelanggaran Pasal 107 a adalah paling lama 12 tahun; ancaman sanksi pidana untuk pelanggaran Pasal 107 c adalah paling lama 15 tahun; ancaman sanksi pidana untuk pelanggaran Pasal 107 d adalah paling lama 20 tahun; dan ancaman sanksi pidana untuk pelanggaran terhadap Pasal 107 e adalah paling lama 15 tahun.

Merujuk pada ancaman sanksi pidana terhadap keempat jenis perbuatan yang berhubungan dengan ajaran komunisme/marxisme-leninisme, hal itu termasuk kejahatan berat dan serius sehingga terhadap pelakunya dapat dikenai dan ditempatkan sebagai status dalam tahanan. Merujuk pada ketentuan KUHP, secara eksplisit menegaskan ancaman sanksi pidana terhadap setiap orang yang menyebarluaskan atau mengembankan atau mengajarkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme dengan maksud mengubah Pancasila.

Ketentuan itu sekaligus mencerminkan bahwa Pancasila yang mengakui salah satu sila ketuhanan YME sebagai sumber kesusilaan tertinggi bangsa Indonesia telah memperoleh dasar hukum yang kuat untuk meneguhkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama sehingga tidak memberikan tempat eksistensi kaum ateis dan penganut ajaran komunisme-marxisme/leninisme.

Hal ini terbukti dengan kalimat di dalam ketentuan Pasal 28i UUD 1945 yang memberikan tempat secara konstitusional hak dan kebebasan untuk beragama, bukan untuk tidak beragama. Hal itu diperkuat oleh ketentuan Pasal 28 E yang menegaskan hak dan kebebasan setiap orang untuk bebas memeluk agama atau meyakini kepercayaannya.

Ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa UUD 1945 hanya memberikan tempat terhadap setiap orang (WNI) yang berkeyakinan memeluk suatu agama tertentu (bukan untuk tidak memeluk agama) atau kepercayaan. Ketentuan UUD 1945 tersebut dikuatkan dalam penjelasan Pasal 107 a KUHP: yang dimaksud dengan komunisme/marxisme-leninisme adalah paham atau ajaran Karl Marx yang terkait pada dasar-dasar dan taktik perjuangan yang diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, dan lain-lain, mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila .

Penjelasan ketentuan Pasal 107 a KUHP tersebut sekaligus membantah pernyataan bahwa Pancasila belum dijabarkan dalam undang-undang. Dan jelas betul bahwa setiap orang yang menganut pemikiran-pemikiran selain Pancasila apalagi menyebarluaskan atau mengembangkan ajaran-ajaran selain Pancasila sebagai dasar negara NKRI adalah dilarang dan diancam dengan sanksi pidana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar