Ayomi Semua
Kelompok
( Wawancara )
Zainun Kamal ; Peneliti
Teologi Islam dan Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KOMPAS,
08 September 2012
Dulu, agama Islam beserta
berbagai alirannya masuk ke Indonesia secara damai dan masyarakat hidup cukup
toleran satu sama lain. Namun, belakangan ini, terutama setelah keterbukaan era
reformasi, kekerasan atas nama keyakinan beragama tiba-tiba mudah meletup dan
memakan korban.
Bagaimana semua itu bisa
terjadi dan apa jalan keluarnya? Zainun Kamal, peneliti teologi Islam dan Dekan
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
menilai, pertikaian atas nama teologi atau keyakinan beragama sebenarnya sudah
lama mewarnai sejarah. ”Berbagai konflik itu muncul terutama akibat
persinggungan agama dengan kepentingan politik,” katanya saat ditemui di ruang
kerjanya yang bersahaja, Rabu (5/9).
Bagaimana
asal-usul munculnya keberagaman teologi dalam Islam?
Setelah Nabi Muhammad SAW
wafat, terjadi perdebatan, siapa yang berhak menggantikannya untuk mengurus
Madinah yang saat itu menjadi negara kota. Ini mulai masuk politik kekuasaan.
Tampil kemudian kelompok Quraish menjadi khalifah berturut-turut, yaitu Abu
Bakar, Umar bin Khatthab, dan Utsman bin Affan. Utsman lantas terbunuh dan Ali
bin Abi Tholib menggantikannya. Namun, muncul perlawanan dari kalangan sahabat,
bahkan memicu perang.
Keluarga Utsman, yang
diwakili penguasa Damaskus, Muawiyah, tidak mengakui kekhalifahan Ali. Dia
menuntut pengadilan atas pembunuh Utsman. Pecah perang besar antara pasukan
Muawiyah dan Ali. Ketika hampir kalah, pimpinan pasukan Muawiyah mengajak
berdamai dengan mengangkat Al Quran dan Ali menerimanya.
Namun, sebagian pasukan Ali,
terutama dari wilayah utara, tidak puas atas perdamaian itu dan memberontak.
Mereka disebut kaum Khawarij karena keluar dari pasukan dan mengafirkan semua
kelompok yang bertikai. Kelompok ini kemudian membunuh Ali.
Muawiyah naik menjadi penguasa.
Sebagian pasukan Ali, terutama dari wilayah selatan, tetap setia. Ini cikal
bakal Syiah yang meyakini bahwa Ali seorang pemimpin yang ideal. Nabi diyakini
memberi petunjuk agar Ali, yang juga menantunya, menggantikannya.
Muncul juga kelompok Murji’ah
yang menganggap dosa besar seorang mukmin sebagai urusan Allah. Kelompok kecil
ini mendukung pemerintahan Muawiyah. Lahir juga kemudian aliran Mu’tazilah yang
sangat rasional dan tak mau terlibat dalam persoalan politik apa pun.
Mu’tazilah berkembang pada
masa Abbasiyah dan menjadi ideologi negara serta menindas ideologi lain yang
berbeda. Persoalan politik masuk ranah teologi. Ayat-ayat Al Quran diperalat
untuk kepentingan kekuasaan.
Bagaimana
kemunculan Ahlussunnah?
Ahlusunnah dirintis Abu
Hasan Al Asyari yang kecewa dengan paham Mu’tazilah akibat kelewat rasional.
Aliran ini ingin kembali pada ajaran Al Quran dan sunah Nabi serta ingin
menyatukan jemaah. Kekhalifahan dianggap hasil pemilihan manusia karena tidak
ada teks jelas.
Ada lagi aliran Wahabiyah
yang dirintis Muhammad bin Abdul Wahab. Aliran ini menjadi paham resmi Kerajaan
Arab Saudi sampai sekarang. Kelompok ini berpegang teks Al Quran secara kuat
dan cenderung mengesampingkan takwil atau tafsir.
Di India, muncul aliran
Ahmadiyah. Mereka meyakini ada nabi setelah Muhammad, yaitu Mirza Ghulam Ahmad.
Sebagian kelompok aliran ini menempatkan Mirza sebagai pembaru saja.
Ketika semakin meluas,
ajaran Islam bertemu akidah-akidah lain dan bersinggungan dengan banyak
perangkat ilmu pengetahuan, seperti filsafat atau logika. Kajian teologi kian
berkembang dengan beragam aliran.
Bagaimana
aliran-aliran itu masuk ke Indonesia?
Secara umum, Islam yang
masuk ke Indonesia bercorak teologis Ahlussunnah (Suni), fikih Syafi’iyah, dan
tasawuf Al Ghazali. Ada juga aliran Syiah di beberapa wilayah di Nusantara. Di
Padang dan Bengkulu ada upacara Tabut sebagai simbol kesedihan atas kematian
Husain, putra Ali bin Abi Tholib sekaligus cucu Nabi Muhammad.
Hadir juga aliran Wahabi.
Ada tiga tokoh asal Sumatera Barat yang belajar Wahabi di Arab Saudi, yaitu
Haji Sumanik, Abdul Rahman, dan Haji Miskin, yang kemudian menyebarkannya di
Sumatera. Itu memompa semangat perang Padri pimpinan Imam Bonjol.
Kenapa
kemudian muncul konflik atas nama teologi keagamaan?
Sebenarnya masyarakat
Indonesia menyerap dan beradaptasi dengan semua aliran itu secara damai.
Konflik muncul akibat masuknya kepentingan, terutama kekuasaan politik.
Pertikaian kepentingan itu kemudian dicantolkan pada teologi keagamaan karena
dianggap punya sentimen yang mudah meluapkan emosi dan memobilisasi massa.
Kekerasan massa Suni
terhadap kelompok Syiah di Sampang, akhir Agustus lalu, misalnya, berawal dari
pertikaian keluarga. Masalah ini masuk dalam kepentingan politik lokal, apalagi
menjelang pemilihan bupati. Ketegangan menguat setelah ada fatwa sesat dari
sebagian ulama lokal. Tentu ada kelemahan negara dalam mencegah dan menindak
kekerasan.
Bagaimana
mengantisipasi konflik berlatar belakang keyakinan beragama?
Ulama sebaiknya jangan ikut
terlibat dalam politik dan fokus berdakwah untuk menjaga agama sebagai kekuatan
moral. Kalau ulama terlalu dekat dengan penguasa, apalagi aliran teologis
menjadi ideologi negara, kekuasaan politik cenderung menonjolkan alirannya.
Aliran-aliran berbeda cenderung digerus.
Ulama, Kementerian Agama,
dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebaiknya bersikap netral dan mengayomi semua
kelompok. Mereka harus sadar untuk tidak mengintervensi keimanan, apalagi
menghakimi. Keimanan itu hak seseorang yang dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.
Negara melindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Semua aliran teologis
keagamaan itu produk pemikiran manusia. Apa pun perbedaannya, kita harus
menerimanya sebagai kebesaran agama. Ulama sebaiknya menjelaskan berbagai
aliran keyakinan dan mengembangkan sikap toleran serta saling menghargai
perbedaan. Jangan mudah membuat fatwa sesat terhadap kelompok tertentu, apalagi
minoritas. Itu bisa mendorong dan membenarkan kekerasan.
Bagaimana
dengan pemerintah?
Pemerintah harus berdiri di
tengah, jangan memihak kelompok tertentu. Tindak tegas siapa saja yang
melakukan kekerasan. Cegah kekerasan mayoritas terhadap minoritas. Negara
bertugas melindungi warga negara yang sudah bayar pajak dan memberikan amanat
kepada pemerintah. Negara semestinya punya kekuatan untuk mencegah dan menindak
kekerasan. Sayangnya, aparat keamanan kadang tak segera melindungi kelompok
minoritas yang jadi korban kekerasan meski sudah mengetahui gejalanya dan mampu
melakukannya. Mungkin ada kepentingan politik.
Apa
yang bisa dilakukan dunia pendidikan?
Pendidikan harus diarahkan
untuk menumbuhkan kesadaran toleransi, pluralisme, dan multikulturalisme
sehingga kita bisa menerima perbedaan dan hidup rukun dengan berbagai kelompok.
Jangan sekali-kali menumbuhkan kebencian antarkelompok umat beragama. Ingat,
Indonesia ini bukan negara agama.
Evaluasi dan pertimbangkan
kembali sejumlah peraturan daerah yang menjadikan syariat Islam sebagai hukum
formal daerah. Kembangkan pemahaman Islam yang rahmatan
lil’alamin (memberi rahmat bagi semua).
Jangan biarkan Islam dibajak oleh kekuatan penuh kekerasan, garang, dan kejam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar