Partai Lama dan
Baru
Moch Nurhasim ; Peneliti pada Pusat Penelitian
Politik LIPI-Jakarta
|
REPUBLIKA,
08 September 2012
Apakah sebuah partai dapat dibedakan secara mudah dengan partai lainnya?
Terlebih, saat ini musim verifikasi kontestan pemilu sedang akan dimulai. Apa
sesungguhnya beda partai lama dan partai baru?
Pada perkembangan partai-partai politik di masa reformasi, cermin
retak adalah ilustrasi yang relatif cocok dalam melihat sebuah partai politik.
Ibarat cermin yang retak, tentu akan memunculkan bayangan jika kita ingin
berkaca.
Tahun 1999 dapat disebut sebagai era baru pendirian partai politik
setelah orde baru membatasinya. Dari perkembangan jumlah partai menjelang
Pemilu 1999, 2004, dan 2009, dan kini menjelang 2014, secara mudah kita
menemukan perbedaan warna ideologi.
Namun, warna ideologi itu sesungguhnya buram. Sebab, anatomi
partai pascajatuhnya Orde Baru relatif mirip. Sebagian partai baru yang muncul
(kecuali pada 1999) adalah pecahan dari partai lama. Perpecahan dan konflik
adalah sumber awalnya. Contoh kasus yang sedang aktual adalah keluarnya
sebagian kader Partai Golkar yang pada Pemilu 2009 mendirikan Gerinda, Hanura,
dan menjelang Pemilu 2014 mendirikan Partai Nasdem.
Demikian pula pada kasus PDI-Perjuangan yang juga pernah mengalami
perpecahan. PKB, PPP, dan PAN juga tak terhindar pada masalah yang sama. Sebagian kader Partai Amanat Nasional (PAN) sempat terlibat dalam pendirian
Partai Matahari Bangsa (PMB) yang akhirnya mati suri. Munculnya PKNU yang
berbasis di Jawa Timur, adalah pembelahan lain dari kasus konflik PKB yang
berlarut-larut. Partai Demokrat juga tak luput dari perbedaan itu dan sebagian
kadernya juga memilih mendirikan partai baru.
Walau secara spesifik berbeda ideologi, visi, dan jaket, secara
garis besar karakter partai yang dikembangkannya pun relatif mirip satu sama
lain. Perkembangan yang menonjol adalah tumbuhnya catch all party.
Serpihan dari cermin besar, masih menyisakan bayangan dari cermin
lamanya. Kecenderungan ini sebagai dampak dari mudahnya mendirikan partai dan
budaya loncat pagar yang sering terjadi. Kondisi partai politik seperti itu,
mirip sebuah kendaran. Tak heran, partai se ring disimbolkan dan disimbiosiskan
sebagai kendaraan politik.
Padahal, esensi partai politik sesungguhnya bukanlah kendaraan
politik, tetapi instrumen demokrasi yang mendasar. Sebagai instrumen demokrasi,
sebuah partai politik memiliki tanggung jawab yang diwujudkan dalam peran dan
fungsinya.
Dari segi peran dan fungsinya, kehadiran partai lama-setiap
menjelang pemilu-sesungguhnya mirip dengan kehadiran partai baru. Partai ada
ketika menjelang pemilu. Setelah pemilu, sebagian dapat kekuasaan dan sebagian
amblas ditelan bumi, bahkan tinggal pa pan nama. Ideologi partai, seperti ada
dalam “laci,” berubah menjadi kepentingan pragmatis transaksional.
Personifikasi Partai
Paradoks tumbuh hilang silih berganti partai politik, di
antaranya disebabkan oleh konflik kepentingan antara elite-elite yang memimpin.
Sebuah partai yang modern dan terlembaga misalnya, pernah diperagakan oleh
Golkar di masa orba. Salah satu indikatornya, konflik internal diselesaikan di
dalam, bukan di luar, walau dengan paksaan. Ada mekanisme internal partai untuk
menyelesaikan konflik sehingga konflik tidak meruntuhkan partai.
Mengapa partai harus terkonsolidasi? Argumentasinya
sederhana, partai adalah instrumen utama pelaksana system politik dan
demokrasi. Perpecahan partai akan menimbulkan kerugian karena akan memengaruhi
pelaksanaan system politik dan roda pemerintahan. Bahkan, dapat mengancam
konsolidasi dan pendewasaan demokrasi.
Maraknya perpecahan partai juga sebagai akibat menguatnya
personifikasi dan keluargaisasi. Pengindividualan partai adalah ancaman
terburuk bagi demokrasi. Pemimpin partai (ketua umum) merasa menjadi pemilik.
Konsekuensinya, partai politik mirip dengan perseroan terbatas (PT) atau
perusahaan.
Idealnya, partai dibangun bukan sebagai perusahaan,
melainkan sebagai sebuah perkumpulan untuk berpolitik dan berdemokrasi. Esensi
keduanya sangat berbeda. Jika partai sebagai perusahaan maka partai dikuasai
oleh segelintir orang. Pimpinan adalah pemiliknya.
Sebaliknya, jika partai adalah sebuah asosiasi kepentingan
bersama, yang di dirikan atas dasar persamaan, maka di antara mereka seharusnya
sederajat. Elite partai hanyalah pemegang amanah sebagai pengelola yang
sifatnya sementara, bukan sebagai pemilik.
Kegagalan itulah yang terus terjadi dan berulang setiap lima tahun
sekali. Wujud dari itu semua adalah munculnya dinasti politik dalam partai.
Dan, itu terjadi di setiap jenjang kepengurusan dari tingkat nasional hingga
daerah.
Karakter partai seperti itu bukanlah berita gembira. Gejala
demikian tidak hanya menghantui partai-partai lama, tetapi juga mulai terjadi
pada partai baru yang umurnya masih belia. Personifikasi juga mulai tampak,
bahkan keluargaisasi juga mulai terlihat.
Sayangnya, gambaran buruk itu ti dak pernah dapat diperbarui
setiap kali DPR merancang UU Kepartaian. Tidaklah heran jika setelah
penyelenggaran pemilu, kita menemukan sejumlah ti pologi partai. Partai yang
memperoleh kursi di parlemen, partai yang tidak lo los pemilu, serta partai
yang tinggal memiliki badan hukum dan papan namanya. Ironisnya, badan hukum
partai tidak memiliki batas waktu.
Sistem Lemah
Gambaran tiga kali pemilu di era Reformasi
akan terus berulang dan berulang. Itu semua bermuara pada lemahnya pembangunan
sistem kepartaian di Indonesia. Partai tertulis secara nyata dalam peraturan
perundang-undangan, tetapi kehadirannya di tengah-tengah masyarakat kurang
nyata.
Tak ada keseimbangan antara “kekuasaan dan
agregasi politik”. Kepentingan dan transaksi politik mengaburkan kaidah-kaidah
pelembagaan partai. Representasi juga tidak terjadi sebab partai lebih mengarah
pada perkumpulan kepentingan transaksi.
Dari Pemilu 1999, 2004, dan 2009, tiga tipe
representasi bahkan dilanggar. Pemilu tidak menghasilkan representasi substantif
dan juga gagal menghadirkan partai sebagai simbol representasi aspiratif. Dan,
terpenting dari itu semua, partai juga tidak mampu menjadi ruang keseimbangan
bagi tercapainya keterwakilan politik secara adil. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar