Sabtu, 22 September 2012

Merawat Pohon Konstitusi


Merawat Pohon Konstitusi
Sumasno Hadi ;  Magister Filsafat UGM,
Pengajar di Universitas Lambung Mangkurat
SUARA KARYA, 21 September 2012


Konstelasi politik yang melatarbelakangi pemindahan kekuasaan Jepang kepada Republik Indonesia tahun 1945 adalah nuansa yang darurat. Meski BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sudah bersidang untuk menyusun rancangan kemerdekaan, 25 Mei 1945, namun akibat jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima semakin mengarahkan situasi politik pada kulminasi kedaruratan. Hal itu telah disadari oleh para tokoh kemerdekaan masa itu. Juga, pernah ditegaskan oleh Ir Soekarno pada peristiwa sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), 18 Agustus 1945 seperti dikutip dari Risalah Sidang BPUPKI-PPKI (1995: 426).

"... Dan, tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar sementara... Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna."

Data sejarah di atas untuk melihat kembali paradigma sistem ketatanegaraan kita, di mana amandemen pasal-pasal dimungkinkan untuk diselenggarakan. Sebagaimana beberapa amandemen pasal-pasal perundangan yang telah dilakukan lembaga legislatif dan pemerintah, telah terbuka kuncinya pada momentum reformasi. Namun, perlu percermatan lebih mendalam dalam usaha mengamandemen UU tersebut.

Terkait akan hal itu, Prof Dr Damardjati Supadjar (guru besar filsafat UGM) pernah berpesan bahwa mengamandemen UUD 1945 mesti dilandasi semangat produktivitas. Semangat akan hasil atau manfaat langsung kepada rakyat. Dan, kemanfaatan usaha itu, oleh Pak Prof, dianalogikan seperti tindakan merawat sebuah pohon. UUD 1945 adalah sebuah pohon konstitusi yang batang dan akarnya ada pada preambule. Sedangkan inti batangnya adalah lima pasal Pancasila.

Batang-akar itu tidak boleh diubah lagi, akan tetapi pemotongan ranting beserta cabang-cabangnya tetap dimungkinkan untuk mencermati mana-mana yang produktif, dan yang tidak. Dengan begitu, UUD 1945 sebagai pohon konstitusi bangsa diharapkan berbuah keadilan dan kesejahteraan. Berdasarkan pemaknaan tentang kesementaraan UUD 1945, akhirnya akan berujung pada paradigma pemikiran yang mengedepankan aspek manfaat pasal-pasal dalam arti seluas-luasnya bagi kehidupan seluruh bangsa Indonesia.

Setelah menjadi jelas dan terang bahwa kemanfaatan adalah idealitas dalam usaha amandemen UU, maka usaha amandemen yang telah dilakukan oleh lembaga negara (legislatif dan pemerintah) mesti selalu dikoreksi dan diperiksa pada pelaksanaannya. 

Secara kritis, hari ini kita dengan berat hati akan memetakan beberapa persoalan kebangsaan. Berat hati bukanlah bentuk pesimisme atas benang kusut permasalahan multidimensional kita. Oleh karena itu, beban berat yang dipikul oleh bangsa Indonesia mesti didistribusikan ke dalam aspek-aspek, ke dalam pos-pos metodis sebagai usaha-usaha solutif.

Peta persoalan bangsa kita kini - merujuk pada kehidupan ketatanegaraan - tidak bisa tidak berpangkal pada konsep negara ini didirikan, yaitu negara hukum. Dalam penjelmaan dari suatu tujuan negara hukum tersebut, maka perangkat-perangkat hukum diciptakan sedemikian rupa sehingga mampu mengantarkan usaha kepada tujuan ideal, keadilan dan kesejahteraan berdasarkan hukum.

Kembali pada tema 'kesementaraan' UUD yang dirumuskan BPUPKI-PPKI telah ditegaskan oleh Soekarno. "Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita... dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna."

Jika mengkritisi realitas kehidupan hukum di Indonesia kini, kalimat Soekarno di atas menjadi kehilangan maknanya. Suasana tenteram itu sebenarnya dimaksudkan oleh cita-cita kemerdekaan, di mana kebebasan berpikir dan berpendapat menjadi mungkin untuk merumuskan suatu UU yang baik. Berbeda dengan situasi politik masa revolusi dahulu, di mana UUD pada masa itu disebut sebagai UUD darurat dan sementara.

Jika di masa pemerintahan SBY-Boediono yang sedang berlangsung kini dimaknai sebagai keadaan tenteram, merdeka dan berdaulat, maka semestinya kehidupan hukum yang lebih baik seperti yang dicita-citakan sang proklamator menjadi suatu kewajiban, menjadi tanggung jawab. Namun, dengan jelas kita melihat jalannya kehidupan hukum kita pincang, nasib hukum terseok-seok, dan keadaan hukum sekarat.

Secara mendasar prinsip yang mengingatkan kita bahwa tugas dari norma hukum hakikatnya adalah kedwitunggalannya, yaitu kepastian hukum (certainty; zekerheid) dan kesetaraan hukum (equity; billijkheid). Pertanyaan kritisnya, apakah dua prinsip tersebut terlihat dalam pelaksanaan hukum kita? Atau, setidaknya menjadi 'iman' penegakan hukum kita?

Adalah kerancuan berpikir, dan paradoksal keadaan hukum kita, di mana moralitas para penegak/petugas hukum dipertanyakan. Tertangkapnya oknum hakim, jaksa, polisi atas tindak melawan hukum dalam kapasitasnya sebagai penegak hukum adalah tragedi hukum kita. Dengan kondisi seperti ini, akan dibawa ke manakah nasib hukum kita?

Adalah suatu tantangan yang menjadi prinsip kesementaraan UUD 1945 bahwa 'pohon' UU mesti memproduksi kemanfaatan. Maka, usaha-usaha itu adalah kembali kepada produktivitas hukum kita. Dan, secara legal, usaha itu dapat dilakukan melalui revisi-revisi, melalui amandemen-amandemen. Perlu kajian secara mendalam dan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu untuk mendiagnosis apa saja penyakit yang diderita pasal-perundang-undangan kita, mana saja 'ranting-cabang' UU yang bermanfaat dan tidak.

Rasa optimisme perlu dikedepankan bagi kemajuan dan perbaikan lembaga penegak hukum kita agar selalu menjunjung tinggi moralitas dan martabat manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar