Merawat Pohon
Konstitusi
Sumasno Hadi ; Magister Filsafat UGM,
Pengajar di
Universitas Lambung Mangkurat
|
SUARA
KARYA, 21 September 2012
Konstelasi politik yang melatarbelakangi pemindahan kekuasaan
Jepang kepada Republik Indonesia tahun 1945 adalah nuansa yang darurat. Meski
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sudah
bersidang untuk menyusun rancangan kemerdekaan, 25 Mei 1945, namun akibat jatuhnya
bom atom di Nagasaki dan Hiroshima semakin mengarahkan situasi politik pada
kulminasi kedaruratan. Hal itu telah disadari oleh para tokoh kemerdekaan masa
itu. Juga, pernah ditegaskan oleh Ir Soekarno pada peristiwa sidang PPKI
(Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia), 18 Agustus 1945 seperti dikutip dari
Risalah Sidang BPUPKI-PPKI (1995: 426).
"... Dan, tuan-tuan
semuanya tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat sekarang ini
adalah Undang-Undang Dasar sementara... Nanti kalau kita telah bernegara di
dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih
lengkap dan lebih sempurna."
Data sejarah di atas untuk melihat kembali
paradigma sistem ketatanegaraan kita, di mana amandemen pasal-pasal
dimungkinkan untuk diselenggarakan. Sebagaimana beberapa amandemen pasal-pasal
perundangan yang telah dilakukan lembaga legislatif dan pemerintah, telah
terbuka kuncinya pada momentum reformasi. Namun, perlu percermatan lebih
mendalam dalam usaha mengamandemen UU tersebut.
Terkait akan hal itu, Prof Dr Damardjati
Supadjar (guru besar filsafat UGM) pernah berpesan bahwa mengamandemen UUD 1945
mesti dilandasi semangat produktivitas. Semangat akan hasil atau manfaat
langsung kepada rakyat. Dan, kemanfaatan usaha itu, oleh Pak Prof, dianalogikan
seperti tindakan merawat sebuah pohon. UUD 1945 adalah sebuah pohon konstitusi
yang batang dan akarnya ada pada preambule. Sedangkan inti batangnya adalah
lima pasal Pancasila.
Batang-akar itu tidak boleh diubah lagi, akan
tetapi pemotongan ranting beserta cabang-cabangnya tetap dimungkinkan untuk
mencermati mana-mana yang produktif, dan yang tidak. Dengan begitu, UUD 1945
sebagai pohon konstitusi bangsa diharapkan berbuah keadilan dan kesejahteraan.
Berdasarkan pemaknaan tentang kesementaraan UUD 1945, akhirnya akan berujung
pada paradigma pemikiran yang mengedepankan aspek manfaat pasal-pasal dalam
arti seluas-luasnya bagi kehidupan seluruh bangsa Indonesia.
Setelah menjadi jelas dan terang bahwa
kemanfaatan adalah idealitas dalam usaha amandemen UU, maka usaha amandemen
yang telah dilakukan oleh lembaga negara (legislatif dan pemerintah) mesti
selalu dikoreksi dan diperiksa pada pelaksanaannya.
Secara kritis, hari ini kita
dengan berat hati akan memetakan beberapa persoalan kebangsaan. Berat hati
bukanlah bentuk pesimisme atas benang kusut permasalahan multidimensional kita.
Oleh karena itu, beban berat yang dipikul oleh bangsa Indonesia mesti
didistribusikan ke dalam aspek-aspek, ke dalam pos-pos metodis sebagai
usaha-usaha solutif.
Peta persoalan bangsa kita kini - merujuk pada
kehidupan ketatanegaraan - tidak bisa tidak berpangkal pada konsep negara ini
didirikan, yaitu negara hukum. Dalam penjelmaan dari suatu tujuan negara hukum
tersebut, maka perangkat-perangkat hukum diciptakan sedemikian rupa sehingga
mampu mengantarkan usaha kepada tujuan ideal, keadilan dan kesejahteraan
berdasarkan hukum.
Kembali pada tema 'kesementaraan' UUD yang
dirumuskan BPUPKI-PPKI telah ditegaskan oleh Soekarno. "Nanti kalau kita telah bernegara di dalam
suasana yang lebih tenteram, kita... dapat membuat Undang-Undang Dasar yang
lebih lengkap dan lebih sempurna."
Jika mengkritisi realitas kehidupan hukum di
Indonesia kini, kalimat Soekarno di atas menjadi kehilangan maknanya. Suasana
tenteram itu sebenarnya dimaksudkan oleh cita-cita kemerdekaan, di mana
kebebasan berpikir dan berpendapat menjadi mungkin untuk merumuskan suatu UU
yang baik. Berbeda dengan situasi politik masa revolusi dahulu, di mana UUD
pada masa itu disebut sebagai UUD darurat dan sementara.
Jika di masa pemerintahan SBY-Boediono yang
sedang berlangsung kini dimaknai sebagai keadaan tenteram, merdeka dan
berdaulat, maka semestinya kehidupan hukum yang lebih baik seperti yang
dicita-citakan sang proklamator menjadi suatu kewajiban, menjadi tanggung
jawab. Namun, dengan jelas kita melihat jalannya kehidupan hukum kita pincang,
nasib hukum terseok-seok, dan keadaan hukum sekarat.
Secara mendasar prinsip yang mengingatkan kita
bahwa tugas dari norma hukum hakikatnya adalah kedwitunggalannya, yaitu
kepastian hukum (certainty; zekerheid)
dan kesetaraan hukum (equity; billijkheid).
Pertanyaan kritisnya, apakah dua prinsip tersebut terlihat dalam pelaksanaan
hukum kita? Atau, setidaknya menjadi 'iman' penegakan hukum kita?
Adalah kerancuan berpikir, dan paradoksal
keadaan hukum kita, di mana moralitas para penegak/petugas hukum dipertanyakan.
Tertangkapnya oknum hakim, jaksa, polisi atas tindak melawan hukum dalam
kapasitasnya sebagai penegak hukum adalah tragedi hukum kita. Dengan kondisi
seperti ini, akan dibawa ke manakah nasib hukum kita?
Adalah suatu tantangan yang menjadi prinsip kesementaraan UUD 1945
bahwa 'pohon' UU mesti memproduksi kemanfaatan. Maka, usaha-usaha itu adalah kembali
kepada produktivitas hukum kita. Dan, secara legal, usaha itu dapat dilakukan
melalui revisi-revisi, melalui amandemen-amandemen. Perlu kajian secara
mendalam dan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu untuk mendiagnosis apa
saja penyakit yang diderita pasal-perundang-undangan kita, mana saja
'ranting-cabang' UU yang bermanfaat dan tidak.
Rasa optimisme perlu dikedepankan bagi kemajuan dan perbaikan
lembaga penegak hukum kita agar selalu menjunjung tinggi moralitas dan martabat
manusia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar