Amandemen UUD
1945 Hancurkan Pancasila
Sabam Leo Batubara ; Aktivis Pers
|
SUARA
KARYA, 21 September 2012
Rais Syuriah PBNU KHA Hasyim Muzadi menilai amandemen UUD 1945
yang sudah 4 kali dilakukan tanpa konsep telah menghancurkan Pancasila. (Suara Karya, 10/9/2012) Di hari yang
sama, Kompas dalam artikel berjudul Cara
Perang Neocortex, Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhannas
mengatakan, keberhasilan mengamendemen UUD 1945 selama 4 kali, menjadikan
batang tubuh konstitusi itu berbeda dengan dasar negara (Pancasila). Dengan
bantuan orang Indonesia sendiri, hal itu merupakan salah satu usaha tanpa
kekerasan AS yang merugikan bangsa Indonesia.
Menurut Hasyim Muzadi, kehancuran Pancasila
membuat politik, ekonomi, dan budaya 'bocor'. Sila-sila Pancasila tak lagi
menjadi landasan hidup dalam berbangsa dan bernegara. Bentrokan, separatisme,
konflik, tawuran, dan kerusuhan marak. Rasa persaudaraan luntur dan budaya
gotong-royong luntur. Baik eksekutif maupun legislatif lebih mementingkan
pribadi dan kelompoknya, bukan rakyat. Korupsi pun menjalar di mana-mana,
mengabaikan rasa keadilan.
Gambaran buruk lima sila Pancasila ini sulit
dipungkiri. Penyebabnya, kata Hasyim Muzadi, akibat 4 kali amandemen
konstitusi. Sayidiman menegaskan gambaran buruk itu karena hasil usaha AS.
Mungkinkah 500 anggota MPR hasil Pemilu 1999
melakukan 4 kali amandemen UUD 1945 untuk menghancurkan Pancasila, hasil usaha
intervensi AS? Analisis terhadap 7 isi pokok perubahan konstitusi menunjukkan
bahwa amandemen tersebut justru untuk meluruskan UUD 1945, yang atas nama
Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila telah diselewengkan oleh
rezim-rezim sebelumnya.
Isi pokok pertama, presiden dan wapres dipilih
langsung oleh rakyat dan hanya boleh memegang jabatannya maksimal 2 kali masa
jabatan. Tidak terbantahkan, sejumlah tokoh lama masih bermimpi presiden boleh
seumur hidup, atau boleh 7 kali lima tahun.
Kedua, Pasal 18 ayat (4) menjadi landasan
pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat. Sejumlah politisi masih
merindukan cara pilgub Orde Baru, yang memilih calon sesuai petunjuk presiden.
Ketiga, perubahan Pasal 28 - dikembangkan pada
Bab X A menjadi Pasal 28A sampai 28J. Perubahan itu menjadi landasan
konstitusional perlindungan hak asasi manusia (HAM) Indonesia. Sejumlah mantan
petinggi militer masih menginginkan boleh melanggar HAM demi stabilitas
nasional.
Keempat, Pasal 20 ayat (1) memperkuat DPR, agar
DPR dicegah menjadi sekadar pemberi legitimasi kepada penguasa rezim untuk
bertindak sewenang-wenang.
Kelima, Pasal 18 ayat (2), (5), (6), (7)
menjadi landasan penyelenggaraan otonomi daerah. Politisi penikmat kekuasaan
rezim lama masih mendambakan agar kekuasaan penyelenggaraan negara terpusat di
Jakarta.
Keenam, Pasal 28F mempertegas bahwa hak
berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta hak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi oleh setiap orang
dilindungi konstitusi. Sejumlah politisi, pejabat dan pengusaha masih ingin
kebijakan lama yang mengekang pers.
Ketujuh, Pasal 30 ayat (3) dan (4) menjadi
landasan konstitusional pengaturan konsep pertahanan dan keamanan berdasar
paham demokrasi. TNI dan Polri tidak boleh lagi berfungsi politik, dan tidak
dimungkinkan lagi menjadi backing Presiden RI yang otoriter. Pasal itu
memposisikan Polri penanggung jawab internal
security, TNI external security.
Resistansi atas perubahan ini semakin disuarakan oleh tokoh-tokoh lama.
Tujuan perubahan tersebut, pertama, mempertegas
agar kedaulatan rakyat tidak lagi dicabut, dan presiden tidak lagi menjadi
tiran. Kedua, distribusi kekuasaan penyelenggaraan negara tidak boleh lagi
saling mensubordinasi, tapi berdasarkan checks
and balances. Ketiga, agar amandemen konstitusi dan UU turunannya menjadi
bagian dari sistem penyelenggaraan negara untuk dipedomani dalam memajukan dan
menyejahterakan segenap rakyat.
Paling tidak ada dua akar persoalan hingga
keadaan buruk terjadi di negeri ini sebagaimana digambarkan oleh Hasyim Muzadi.
Pertama, penyelenggara negara masih berkultur
tidak mentaati sistem sesuai amanat konstitusi. Dalam pidato bertajuk Menemukan
Kembali UUD 1945 di Unpad Bandung (6/10/2011), mantan Ketua MA Prof Dr Bagir
Manan SH MCL mengatakan, "Di masa
Orde Lama dan Orde Baru, UUD 1945 secara formal berlaku, tetapi tidak
dijalankan. Yang terjadi adalah penyimpangan-penyimpangan, seperti sistem
pemerintahan otoriter. Di masa reformasi, baik karena ada perubahan, berbagai
peraturan perundang-undangan baru maupun praktik UUD 1945 belum juga dilaksanakan
sebagaimana mestinya."
Kedua, manusia Indonesia memiliki karakter
kelemahan yang perlu disembuhkan terlebih dahulu. Melalui buku Manusia
Indonesia (1977), sastrawan Mochtar Lubis menyebutkan 8 karakter kelemahan
manusia Indonesia sebagai penyakit kronis yang menggerogoti bangsa ini. Ke-8
karakter tersebut adalah cenderung korup, munafik, enggan bertangguung jawab,
berjiwa feodal, percaya takhayul, tidak hemat dan boros, tidak senang bekerja
keras dan cenderung bermalas-malas, serta bisa kejam, mengamuk, dan membakar.
Gambaran buruk bahwa lima sila Pancasila belum
terwujud sebagaimana mestinya adalah benar. Namun, hal itu terjadi akibat 4
amandemen UUD 1945, tidak bernalar. Yang lebih masuk akal, karena penyelenggara
negara kita masih berbudaya tidak mentaati konstitusi.
Tantangan ke depan, elite bangsa ini tidak ada salahnya mengikuti
nasihat Sun Tzu bahwa untuk memenangkan
cita-citamu, kenalilah dirimu. Kalau yang menggerogoti kehidupan bernegara
selama ini adalah 8 karakter kelemahan manusia Indonesia, maka penyakit kronis
itu harus segera disembuhkan. Pancasila bukan hanya sebagai dasar negara, tapi
dapat menjadi jati diri (das sein)
menuju Indonesia yang maju, makmur, adil, dan sejahtera. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar