Sabtu, 22 September 2012

Amandemen UUD 1945 Hancurkan Pancasila


Amandemen UUD 1945 Hancurkan Pancasila
Sabam Leo Batubara ;  Aktivis Pers
SUARA KARYA, 21 September 2012


Rais Syuriah PBNU KHA Hasyim Muzadi menilai amandemen UUD 1945 yang sudah 4 kali dilakukan tanpa konsep telah menghancurkan Pancasila. (Suara Karya, 10/9/2012) Di hari yang sama, Kompas dalam artikel berjudul Cara Perang Neocortex, Sayidiman Suryohadiprojo, mantan Gubernur Lemhannas mengatakan, keberhasilan mengamendemen UUD 1945 selama 4 kali, menjadikan batang tubuh konstitusi itu berbeda dengan dasar negara (Pancasila). Dengan bantuan orang Indonesia sendiri, hal itu merupakan salah satu usaha tanpa kekerasan AS yang merugikan bangsa Indonesia.

Menurut Hasyim Muzadi, kehancuran Pancasila membuat politik, ekonomi, dan budaya 'bocor'. Sila-sila Pancasila tak lagi menjadi landasan hidup dalam berbangsa dan bernegara. Bentrokan, separatisme, konflik, tawuran, dan kerusuhan marak. Rasa persaudaraan luntur dan budaya gotong-royong luntur. Baik eksekutif maupun legislatif lebih mementingkan pribadi dan kelompoknya, bukan rakyat. Korupsi pun menjalar di mana-mana, mengabaikan rasa keadilan.

Gambaran buruk lima sila Pancasila ini sulit dipungkiri. Penyebabnya, kata Hasyim Muzadi, akibat 4 kali amandemen konstitusi. Sayidiman menegaskan gambaran buruk itu karena hasil usaha AS.

Mungkinkah 500 anggota MPR hasil Pemilu 1999 melakukan 4 kali amandemen UUD 1945 untuk menghancurkan Pancasila, hasil usaha intervensi AS? Analisis terhadap 7 isi pokok perubahan konstitusi menunjukkan bahwa amandemen tersebut justru untuk meluruskan UUD 1945, yang atas nama Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila telah diselewengkan oleh rezim-rezim sebelumnya.

Isi pokok pertama, presiden dan wapres dipilih langsung oleh rakyat dan hanya boleh memegang jabatannya maksimal 2 kali masa jabatan. Tidak terbantahkan, sejumlah tokoh lama masih bermimpi presiden boleh seumur hidup, atau boleh 7 kali lima tahun.

Kedua, Pasal 18 ayat (4) menjadi landasan pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat. Sejumlah politisi masih merindukan cara pilgub Orde Baru, yang memilih calon sesuai petunjuk presiden.

Ketiga, perubahan Pasal 28 - dikembangkan pada Bab X A menjadi Pasal 28A sampai 28J. Perubahan itu menjadi landasan konstitusional perlindungan hak asasi manusia (HAM) Indonesia. Sejumlah mantan petinggi militer masih menginginkan boleh melanggar HAM demi stabilitas nasional.

Keempat, Pasal 20 ayat (1) memperkuat DPR, agar DPR dicegah menjadi sekadar pemberi legitimasi kepada penguasa rezim untuk bertindak sewenang-wenang.

Kelima, Pasal 18 ayat (2), (5), (6), (7) menjadi landasan penyelenggaraan otonomi daerah. Politisi penikmat kekuasaan rezim lama masih mendambakan agar kekuasaan penyelenggaraan negara terpusat di Jakarta.

Keenam, Pasal 28F mempertegas bahwa hak berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta hak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi oleh setiap orang dilindungi konstitusi. Sejumlah politisi, pejabat dan pengusaha masih ingin kebijakan lama yang mengekang pers.

Ketujuh, Pasal 30 ayat (3) dan (4) menjadi landasan konstitusional pengaturan konsep pertahanan dan keamanan berdasar paham demokrasi. TNI dan Polri tidak boleh lagi berfungsi politik, dan tidak dimungkinkan lagi menjadi backing Presiden RI yang otoriter. Pasal itu memposisikan Polri penanggung jawab internal security, TNI external security. Resistansi atas perubahan ini semakin disuarakan oleh tokoh-tokoh lama.

Tujuan perubahan tersebut, pertama, mempertegas agar kedaulatan rakyat tidak lagi dicabut, dan presiden tidak lagi menjadi tiran. Kedua, distribusi kekuasaan penyelenggaraan negara tidak boleh lagi saling mensubordinasi, tapi berdasarkan checks and balances. Ketiga, agar amandemen konstitusi dan UU turunannya menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan negara untuk dipedomani dalam memajukan dan menyejahterakan segenap rakyat.

Paling tidak ada dua akar persoalan hingga keadaan buruk terjadi di negeri ini sebagaimana digambarkan oleh Hasyim Muzadi.

Pertama, penyelenggara negara masih berkultur tidak mentaati sistem sesuai amanat konstitusi. Dalam pidato bertajuk Menemukan Kembali UUD 1945 di Unpad Bandung (6/10/2011), mantan Ketua MA Prof Dr Bagir Manan SH MCL mengatakan, "Di masa Orde Lama dan Orde Baru, UUD 1945 secara formal berlaku, tetapi tidak dijalankan. Yang terjadi adalah penyimpangan-penyimpangan, seperti sistem pemerintahan otoriter. Di masa reformasi, baik karena ada perubahan, berbagai peraturan perundang-undangan baru maupun praktik UUD 1945 belum juga dilaksanakan sebagaimana mestinya."

Kedua, manusia Indonesia memiliki karakter kelemahan yang perlu disembuhkan terlebih dahulu. Melalui buku Manusia Indonesia (1977), sastrawan Mochtar Lubis menyebutkan 8 karakter kelemahan manusia Indonesia sebagai penyakit kronis yang menggerogoti bangsa ini. Ke-8 karakter tersebut adalah cenderung korup, munafik, enggan bertangguung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, tidak hemat dan boros, tidak senang bekerja keras dan cenderung bermalas-malas, serta bisa kejam, mengamuk, dan membakar.

Gambaran buruk bahwa lima sila Pancasila belum terwujud sebagaimana mestinya adalah benar. Namun, hal itu terjadi akibat 4 amandemen UUD 1945, tidak bernalar. Yang lebih masuk akal, karena penyelenggara negara kita masih berbudaya tidak mentaati konstitusi.

Tantangan ke depan, elite bangsa ini tidak ada salahnya mengikuti nasihat Sun Tzu bahwa untuk memenangkan cita-citamu, kenalilah dirimu. Kalau yang menggerogoti kehidupan bernegara selama ini adalah 8 karakter kelemahan manusia Indonesia, maka penyakit kronis itu harus segera disembuhkan. Pancasila bukan hanya sebagai dasar negara, tapi dapat menjadi jati diri (das sein) menuju Indonesia yang maju, makmur, adil, dan sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar