Mengapa Balita
Dipaksa Bisa Baca Tulis?
E Handayani Tyas ; Dosen di Fakultas Keguruan Ilmu
Pendidikan
Universitas Kristen
Indonesia, Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 08 September 2012
Sejumlah pakar pendidikan mengatakan bahwa calistung (istilah yang kini populer
untuk menyingkat baca – tulis – hitung) belum saatnya diajarkan kepada anak
(peserta didik) sebelum mereka cukup umur untuk duduk di sekolah dasar (SD).
Padahal, sekarang ini bukan lagi ukuran
panjang tangan kanan atau tangan kiri si bocah yang dijadikan ukuran untuk bisa
menjangkau kuping kanan atau kiri. Lalu kriteria apa yang dirasa paling cocok
untuk menguji kemampuan anak yang masih batita itu? (batita = bawah tiga
tahun).
Banyak dari kita yang paham bahwa prinsip
belajar di PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) atau play group dan TK adalah
belajar sambil bermain (play and learn),
sehingga sangatlah mengherankan bahwa syarat untuk anak masuk SD adalah
kemampuan membaca, menulis, dan berhitung.
Jelas tuntutan itu merupakan kontradiksi
dengan prinsip belajar dan bermain itu. Sampai kapan kondisi ini akan
berlangsung?
Masalah terjadinya kesenjangan itu diakui
sejumlah kalangan pejabat di Direktur Pembinaan PAUD Kemendikbud.
Namun, kita jadi bertanya masakan hanya cukup
diakui bahwa ada masalah di situ? Apa tindakan selanjutnya untuk membenahi
praktik yang keliru itu? Memang sampai kapan pun antara apa yang menjadi
kondisi ideal dengan kenyataan yang ada selalu ada kesenjangan.
Jurang itu akan semakin menganga manakala
kebanyakan guru SD hanya mau terima bersih, maksudnya calon peserta didiknya di
SD sebaiknya sudah mampu membaca, menulis, dan berhitung.
Parahnya lagi kemampuan membaca, menulis, dan
berhitung itu juga dijadikan bahan tes masuk di beberapa SD yang menganggap
diri “unggulan”.
Dalam kaitan ini penulis ragu bahwa cara-cara
seperti ini akan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, bahkan mungkin akan
menimbulkan persoalan di jangka panjang.
Ini karena pelajaran membaca, menulis, dan
berhitung sepantasnya diberikan kepada anak minimal usia 7 tahun. Hal ini pula
yang digembar-gemborkan (disosialisasikan) oleh Direktorat Pendidikan Dasar,
Kemendiknas.
Teori Tabularasa
Filsuf John Locke terkenal dengan teorinya
tabularasa, yang maksudnya tiap anak manusia itu terlahir ibarat selembar
kertas putih, dan baru kemudian ditulisi oleh guru maupun orang tuanya. Penulis
tetap berharap “tolong jangan kotori kertas putih itu!”
Penulis yakin bahwa di bawah kertas putih itu
ada “benjolan-benjolan/tonjolan-tonjolan” yang pendidik kenal sebagai
bakat-bakat bawaan (gen dari keluarga). Tugas guru/pendidik adalah mencari dan
menemukan bakat-bakat bawaan si anak kemudian menumbuhkembangkannya, agar si
anak dapat meraih prestasi sesuai talenta yang dimiliki dan ia pun bersekolah
dengan enjoy.
Bermain dan belajar adalah hak anak, sehingga
janganlah anak-anak usia batita dan balita harus dijejali dengan materi
pelajaran yang berat, itu ibarat memaksa bayi mengunyah makanan keras sebelum
giginya tumbuh?
Ironinya pula, mereka yang sudah
remaja/dewasa (SLTA dan mahasiswa) justru maunya belajar yang “lembut-lembut”
saja, semua mau ilmu siap saji. Sungguh suatu fenomena yang sangat mencemaskan
dunia pendidikan.
Pembentukan sikap dan mental sudah
seharusnyalah dipersiapkan dan dibentuk sejak dini, kalau perlu sejak lahir
karena pendidikan dimulai dari dalam kandungan ibu sampai ke liang lahat (from
womb to tomb).
Melalui bermain itulah anak dididik karakter,
mental, dan kepekaan sosialnya, dia berada di tengah-tengah kawan sebayanya. Di
situlah akan tampak perilaku dan tabiat anak dalam intra dan interpersonalnya
seperti logikanya/kecerdasannya, afektifnya, dan psikomotoriknya. Keegoisan
anak, kemandirian, kemampuan bekerja sama, sikap toleran, suka membantu
memecahkan masalah, bahkan juga talenta kepemimpinannya sudah terlihat sejak
dini usia.
Berbagai pelajaran dapat disajikan dan
dikemas secara menarik, sehingga merangsang otak anak dan menjadikannya
antusias, karena hal-hal itulah yang diperlukan bangsa ini.
Contoh diadakannya latihan menjadi polisi
kecil, TNI, guru, dokter, teknisi, ahli hukum, ahli IT, ahli musik dan vokal.
Contoh lain yang paling sederhana: belajar minta maaf, minta tolong, mengucap
terima kasih, mengantre saat belanja, menolong orang menyeberang jalan,
membuang sampah pada tempatnya, dan bermain dalam kelompok.
Pada akhirnya, para guru anak kecil itu harus
benar-benar memenuhi ajaran Ki Hajar Dewantoro (ing ngarso sung tulodo – ing madyo mangun karso – tut wuri Handayani).
Guru PAUD/TK harus benar-benar mumpuni, karena dia ikut membentuk kepribadian
anak, mendidik tingkah laku dan ucapan tutur kata yang benar-benar patut
diteladani, karena kita tahu bahwa anak-anak adalah peniru yang ulung. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar