Kemenangan
dan Kekalahan itu Bermula dari Morotai
Bambang Purwanto ; Guru Besar Sejarah,
Fakultas Ilmu Budaya UGM
|
MEDIA INDONESIA, 15 September 2012
APA peran Indonesia dalam Perang Dunia II? Mengapa Morotai
memiliki arti penting sebagai wujud dari peran Indonesia itu? Tidak banyak
jawaban yang didapat ketika dua pertanyaan itu diajukan kepada seorang anak
yang baru saja lulus SMA. Bagi dia, Indonesia merupakan korban, bukan aktor yang
berperan dalam Perang Dunia II, dan Morotai tidak lebih dari sekadar nama
sebuah pulau yang ada di Maluku bagian utara.
Jawaban polos itu langsung mengingatkan saya akan tradisi
penulisan dan pendidikan sejarah di Indonesia, yang secara konseptual cenderung
tidak menempatkan sejarah Indonesia sebagai satu kesatuan dengan sejarah dunia,
tetapi sejarah eksklusif yang berdiri sendiri dan menghasilkan wawasan
kesejarahan yang sempit.
Akibatnya, kenyataan sejarah tentang hanya 750 orang yang mampu
bertahan hidup dari 2.075 orang Barat yang menjadi tawanan Jepang di Haruku,
Maluku Selatan, pada masa Perang Dunia II, tidak pernah dianggap sebagai bagian
dari sejarah Indonesia.
Walaupun secara historis peristiwa itu terjadi di wilayah yang
sekarang dikenal sebagai Republik Indonesia dan juga melibatkan penduduk yang
hidup di sana, keberadaan salah satu episode yang terjadi pada masa Perang
Dunia II tidak menjadi memori sosial bangsa tentang sejarah Indonesia, sehingga
eksistensi peran Indonesia dalam Perang Dunia II pun tidak terbayangkan.
Padahal, kenyataan sejarah bersaksi lain. Kepulauan Maluku secara
umum merupakan salah satu arena utama selama Perang Dunia II berlangsung, dan
Morotai termasuk di antaranya.
Kepulauan Maluku tidak hanya penting bagi Jepang di awal perang,
melainkan juga bagi Sekutu di akhir perang dan bagi keduanya selama perang
berlangsung.
Segera setelah Jepang mulai melibatkan diri secara langsung dalam
Perang Dunia II pada 7 Desember 1941 yang ditandai dengan keberhasilannya
menduduki pangkalan militer Amerika Serikat (AS) di Pearl Harbour, tentara
Jepang secara cepat terus bergerak ke selatan untuk mengambil alih kekuasaan
Belanda, Inggris, dan AS di Asia Tenggara.
Pada Januari 1942, pesawatpesawat Jepang mulai menjatuhkan bom di
berbagai kawasan di Maluku untuk menghancurkan kekuatan Belanda. Namun Jepang
baru berhasil melakukan pendaratan di Ternate sebagai salah satu pulau utama di
wilayah itu pada 6 April 1942.
Keberhasilan Jepang menduduki Kepulauan Maluku, terutama Maluku
bagian utara, memperlancar gerak pasukan dari pusat kekuatannya di Jepang ke
pusat-pusat kekuasaan Inggris, Belanda, Prancis, dan Amerika di Pasifik dan
Asia Tenggara.
Tiga hari setelah mendarat d di Ternate, pasukan Jepang berhasil
menguasai Makassar. Keberhasilan Jepang menguasai kota utama di Sulawesi itu
mempermudah mereka mendaratkan pasukannya di sebagian besar wilayah lain Papua.
Sudah Diketahui
Posisi strategis Kepulauan Maluku sebenarnya sudah diketahui
Jepang jauh sebelum perang dimulai dan pada saat kekuasaan kolonial Belanda
masih tertanam kuat.
Perkembangan perang, yang semakin seru dan secara pelanpelan mulai
menekan posisi Jepang sejak pasukan Sekutu yang dipimpin AS bangkit dari
kekalahan awal mereka, mendorong Jepang untuk membangun kekuatan militer yang besar
di Kepulauan Maluku untuk membendung gerak pasukan lawan. Kao merupakan salah
satu wilayah di Maluku bagian utara yang menjadi pangkalan utama Angkatan Laut
Jepang selama perang berlangsung.
Pada saat yang sama, Angkatan Darat Jepang juga membangun kekuatan
militer mereka di berbagai tempat seperti Wasilei, Bacan, Galela, Miti dan
terutama di Morotai.
Memasuki 1943 sampai bulan-bulan terakhir 1944, Jepang terus
membangun berbagai fasilitas perang untuk memperkuat basis militer mereka
hampir di seluruh Kepulauan Maluku, termasuk membangun kekuatan tentara yang
besar di Halmahera Utara dan Tengah.
Pembangunan pangkalan-pangkalan militer itu tentu saja
meninggalkan cerita traumatik yang dialami penduduk wilayah itu, yang harus
bekerja secara paksa dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Cerita traumatik
itu termasuk keberadaan para jugun ianfu, para perempuan yang dipaksa untuk
menjadi pekerja seks untuk memenuhi hasrat biologis para serdadu Jepang.
Selain sebagai pusat pertahanan militer, Kepulauan Maluku juga
menjadi lokasi tempat tinggal para tawanan perang Jepang. Para tawanan yang
biasa disebut `tamu kaisar' itu didatangkan dari berbagai wilayah di Asia
Tenggara. Pada April 1943, misalnya, kapal Cho Saki Maru berangkat dari Tanjung
Perak, Surabaya, dengan membawa 1.000 tawanan perang menuju kamp tawanan perang
di Kepulauan Maluku.
Setelah berlayar selama 16 hari, pada 4 Mei 1943 kapal Cho Saki
Maru sampai ke tujuan akhirnya di Haruku, salah satu pulau di Kepulauan Maluku
yang menjadi penjara bagi para tawanan perang. Setelah itu, lebih banyak lagi
kapal yang membawa tawanan perang berlayar menuju Haruku, tempat peristirahatan
terakhir sebagian besar mereka yang tidak mampu bertahan hidup, dan bahkan
sebagian dari mereka tidak pernah dikenal namanya. Bagi sebagian besar mereka
yang masih hidup, Haruku dikenang sebagai pulau penuh kesengsaraan, kelaparan,
penyakit, dan tentu saja pulau kematian.
Dalam konteks perang, kondisi Kepulauan Maluku yang strategis itu
menjadi perhatian besar pasukan Sekutu agar dapat mendukung keberhasilan usaha
mereka mengambil alih pusat-pusat kekuasaan yang telah dikuasai Jepang di awal
perang. Oleh karena itu, memasuki paruh kedua 1944, tekanan tentara Sekutu yang
dipimpin Jenderal Douglas MacArthur terhadap kedudukan militer Jepang di
Kepulauan Maluku semakin kuat.
Setelah Sekutu melakukan serangan gencar sejak
pagi hari, Morotai yang dijaga oleh kurang lebih dua batalion tentara Jepang
dan pulaupulau sekitarnya yang menjadi pusat-pusat pertahanan Jepang akhirnya
diambil alih Sekutu yang berkekuatan tiga divisi pasukan berintikan tentara
dari Australia dan AS pada 15 September 1944.
Pendaratan tentara Sekutu itu memaksa tentara Jepang yang tersisa
menyerahkan diri. Sebagian lain menyingkir ke pedalaman untuk meneruskan perlawanan
melalui perang gerilya. Beberapa di antara mereka bahkan mampu terus bertahan
dan mengondisikan hidup walaupun perang sebenarnya sudah lama berakhir.
Akhir Kekuasaan
Pengambil alihan Morotai oleh Sekutu menjadikan pulau itu semakin
ramai karena para pengungsi, termasuk para elite lokal dari berbagai wilayah di
Kepulauan Maluku, menganggap pulau itu sebagai tempat yang paling aman untuk
menetap di masa perang.
Kejatuhan Morotai ke tangan pasukan Sekutu diikuti oleh pembebasan
satu demi satu pulau di Kepulauan Maluku, sekaligus menandai awal dari
berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara secara
keseluruhan.
Jenderal MacArthur mulai menyusun kekuatan untuk melanjutkan
langkah dari markas yang dibangun di Pulau Sum-Sum, sebuah pulau kecil tidak
jauh dari Morotai.
Seperti juga yang terjadi pada Jepang di awal perang,
pengambilalihan Morotai dan wilayah lain di Kepulauan Maluku membuka jalan
lapang bagi tentara Sekutu untuk menyerang posisi-posisi strategis tentara
Jepang di wilayah lain di Asia Tenggara, terutama membebaskan koloni AS di
Filipina dan mengalahkan Jepang di teritorialnya sendiri. Berbagai fasilitas
militer baru dibangun oleh pasukan Sekutu di Kepulauan Maluku.
Salah satunya berupa landasan pesawat terbang di Morotai, yang
terdiri dari 7 landas pacu, salah satunya memiliki panjang kurang lebih 3 km.
Tidak lama berselang setelah seluruh persiapan semakin lengkap, Jenderal
MacArthur yang didukung Angkatan Laut AS di bawah pimpinan Laksamana Nimitz
mengalahkan pasukan Jepang di Teluk Leyte pada Oktober 1944. Keberhasilan itu
mempermudah pasukan Sekutu membebaskan Filipina, yang akhirnya dapat dilakukan
pada awal 1945.
Indonesia juga Aktor
Langkah MacArthur menuju Tokyo, pusat kekuatan Jepang, semakin
ringan dan panjang. Setelah berhasil menduduki Iwojima pada Maret 1945, Tokyo
terus-menerus berada di bawah ancaman Sekutu sampai akhirnya Jepang menyerah
kalah setelah dua bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus
1945. Perang Dunia II berakhir, dan Kepulauan Maluku khususnya Morotai memiliki
peran strategis dalam proses mengubah sejarah dunia.
Sail Morotai akan dimulai 15 September 2012, tepat 68 tahun
setelah pengambilalihan Morotai oleh pasukan Sekutu. Peristiwa itu menunjukkan
bahwa Indonesia bukan hanya korban Perang Dunia II, melainkan juga aktor yang
berperan dalam proses perubahan sejarah dunia karena fungsi strategis yang
dimiliki Kepulauan Maluku, khususnya Morotai.
Sejarah Indonesia merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah dunia, dan proses sejarah itu salah
satunya dimulai dari Morotai, salah satu pulau yang ada di Kepulauan Indonesia
yang bersejarah. Selamat Sail Morotai.
Dari sana sejarah akan terus hidup. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar