Sabtu, 15 September 2012

Ironi Henk Ngantung


Ironi Henk Ngantung
Agus Dermawan T;  Kritikus Seni, Penulis Buku-Buku Berbasis Sosial Budaya
KORAN TEMPO, 15 September 2012


Tanggal 20 September adalah puncak keramaian pemilihan umum Gubernur Jakarta. Kita tidak tahu siapa yang akan menjadi pemenang dari pertarungan sengit ini: Fauzi-Nachrowi atau Jokowi-Ahok. Namun yang pasti, siapa pun yang menjadi "juara", akan menuai kemuliaan dalam segala aspeknya. Kemuliaan sebagai manusia yang dipercaya, kemuliaan sebagai pengabdi masyarakat, kemuliaan sebagai birokrat, dan kemuliaan sebagai manusia yang dikastakan sebagai aristrokrat. Lantaran, begitu seseorang duduk sebagai petinggi negara, secara serta-merta ia tertempatkan pada posisi bangsawan. Kita tahu, bangsawan adalah sosok yang dinaikkan ke singgasana lewat tangga kepercayaan dan kehormatan.

Dalam pemahaman kebangsawanan ini, sesungguhnya kemuliaan akan terus berlanjut. Bahkan ketika sang bangsawan itu harus menyerahkan jabatannya, entah karena waktu atau tersebab peristiwa tak terduga. Berkonteks dengan Gubernur Jakarta, kita bisa melihat (pada saat sekarang) kemuliaan mantan Gubernur Wiyogo Atmodarminto, yang pernah jaya sebagai pengusaha; Surjadi Sudirdja, yang kerukunannya dengan sang istri jadi panutan anak muda (Esquire, Februari 2012); serta Soetijoso, yang jadi selebritas di mana-mana. Sebelumnya, kita juga menyaksikan kehidupan gemilang Ali Sadikin (walau kebangsawanannya pernah diganggu oleh orang-orang Presiden Soeharto), dan perjalanan tentrem adem-ayem Tjokropranolo.

Nasib Henk Ngantung

Jadi Gubernur Jakarta adalah jadi bangsawan utama Indonesia. Namun predikat dan situasi seperti itu tidak didapat oleh Hendrik Joel Hermanus Ngantung, alias Henk Ngantung, Gubernur Jakarta periode 1964-1965, yang sebelumnya menjabat Wakil Gubernur selama 5 tahun. Henk Ngantung berhenti sebagai gubernur karena situasi politik setelah Gerakan 30 September 1965. Ia diturunkan sebagai gubernur karena sebagian politikus menengarai Henk Ngantung adalah sahabat dekat Presiden Sukarno. Selebihnya karena dianggap ia dekat orang-orang PKI (Partai Komunis Indonesia). 
"Padahal, policy saya untuk Kota Jakarta sangat moderat, bahkan sering ditentang oleh orang-orang PKI," tuturnya dalam sebuah wawancara dengan saya, Agustus 1991.

Maka, begitu turun dari jabatan, pemerintah Orde Baru menelantarkan Henk Ngantung. Kebangsawanannya sebagai mantan Gubernur Jakarta disusutkan, bahkan disirnakan. Untungnya ia memiliki kemampuan lain yang bisa diandalkan: melukis. Dengan melukis, dan dengan menjual lukisannya (sembari sembunyi-sembunyi), ia berusaha menghidupi keluarganya. Sampai akhirnya ia bisa membeli tanah 2.400 meter persegi, di Gang Jambu, kawasan jalan Dewi Sartika, Jakarta Timur. Di situ rumah yang nyaman didirikan.

Seorang negarawan, bangsawan, atau mantan gubernur yang mampu melahirkan seni lukis dengan mutu luar biasa, hanya Henk Ngantung satu-satunya di dunia. Perdana Menteri Inggris Winston Churchill bisa saja membayangi mitos ini. Tapi secara kualitatif sangatlah jauh. Begitu juga Gubernur California Arnold Schwarzenegger, yang hanya menghasilkan lukisan "jlebret art". Untuk itu, layak diingat adikarya Henk Ngantung, Memanah, yang menggunakan model lengan Presiden Sukarno, dan kini dalam keadaan rusak berat di Istana Presiden.

Alhasil, Henk Ngantung berusaha mempertahankan nilai kebangsawanannya lewat seni lukis. Dengan lukisannya, ia berusaha menjadi pengabdi masyarakat yang paripurna. "Apa boleh buat, akhirnya hanya dengan itu saya bisa memberi pelayanan. Meskipun maksud baik ini banyak mendapat kesulitan," tuturnya.

Mungkin karena kesulitan itu, segala hal yang mengganggu tubuhnya kurang ia perhatikan. Termasuk ketika ada sesuatu yang menyerang matanya. Syahdan, pada pertengahan 1980-an, matanya mengalami keburaman. Namun, sebagai pelukis, ia tidak putus asa. Ia terus mencipta. Ia mencoba menolong dirinya sendiri tanpa bantuan pemerintah. Sampai akhirnya ia tak dapat melihat sama sekali.

Atas musibah itu, sejumlah orang menghantarkan simpati. Lukisan-lukisannya dikumpulkan. Dan pada 29 November sampai 8 Desember 1991 dipamerkan di Galeri Jaya Ancol, Jakarta. Pameran ini, setelah lewat permintaan yang bertubi-tubi, dibuka oleh Gubernur DKI Wiyogo Atmodarminto. Dalam sebuah percakapan, Ir Ciputra, selaku salah satu promotor, mengatakan bahwa, "Kebangsawanan Henk Ngantung harus dikembalikan."

Membunuh 

Namun pameran ini tetap memperoleh kendala. Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) harus tahu siapa saja yang diundang pada malam pembukaan pameran. Bakin khawatir malam pembukaan itu menjadi ajang reuni para Sukarnois serta orang-orang beraliran kiri. Pameran akhirnya berhasil dibuka, setelah mantan Gubernur Ali Sadikin mengkritik sikap pemerintah pusat yang keterlaluan. Pembukaan pun diadakan dengan pengawasan sejumlah intel Orde Baru. Dalam sejarah, baru kali inilah para intel terlibat intens dalam ruang pameran. 

Kasus belum selesai! Baru berlangsung beberapa hari, pameran ini ditutup paksa oleh pemerintah pusat. Alasannya tak jelas. Gubernur Wiyogo angkat tangan. Dalam kegelapan, Henk Ngantung sungguh sedih melihat kenyataan tersebut. Sampai akhirnya pada 12 Desember 1991 Henk Ngantung meninggal dalam usia pas 70 tahun. Keluarganya bilang, Henk Ngantung sangat terpukul oleh sikap pemerintah Indonesia.

Pada September 2012, di tengah keramaian pemilihan Gubernur Jakarta, nama Henk Ngantung muncul lagi. Bukan lantaran ia akan dijunjung sebagai salah satu bangsawan kota Jakarta, melainkan justru karena kisah kesengsaraan keluarganya. Ceritanya, Evelyn Ngantung Mamesah, 73 tahun, akan menjual rumah di Gang Jambu itu. Selama ini rumah tersebut tidak terawat karena ketiadaan biaya. Maklum, uang pensiun Henk Ngantung sebagai mantan Gubernur Jakarta cuma Rp 850 ribu! Seniman lenong modern Harry de Fretes, direktur Galeri Nasional Indonesia Tubagus Andre, wartawan senior Aristides Katoppo, dan politikus Alwi Shihab sempat mengunjungi rumah ini pada minggu pertama September lalu (Kompas, 9 September). Ada keprihatinan yang merebak di tengah pemilihan gubernur yang meriah, banyak duit, dan semarak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar