Kembali ke
Jati Diri Bangsa
Victor Silaen ; Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
|
SINAR
HARAPAN, 22 September 2012
Kita boleh berbangga karena
Indonesia, pada 12 November 2007, dipuji sebuah asosiasi konsultan politik
internasional sebagai negara demokratis.
Namun, di sisi lain kita prihatin
karena Indonesia hari ini sedang berjalan menuju negara gagal. Dalam berita
tentang Indeks Negara Gagal versi lembaga riset nirlaba The Fund For Peace, bekerja sama dengan Foreign
Policy, 20 Juni lalu, disebutkan bahwa Indonesia masuk dalam kategori
negara yang sedang dalam kondisi bahaya (in
danger) karena berada pada posisi ke-63.
Penyebabnya antara lain praktik korupsi yang sedemikian akut dan peristiwa-peristiwa
kekerasan karena intoleransi yang kerap terjadi. Inilah dua musuh Indonesia
yang terbesar dewasa ini.
Korupsi yang kian mengganas, jika
tak mampu diberantas sampai ke akar-akarnya, cepat atau lambat niscaya
membangkrutkan Indonesia. Untuk itu bukan hanya KPK yang harus lebih berani dan
serius, tapi juga pelbagai komponen bangsa ini harus bahu-membahu bekerja sama
memerangi korupsi.
Masalah intoleransi, peristiwa
yang teraktual terjadi pada 26 Agustus lalu di Sampang, Madura, antara kelompok
Sunni dan Syiah, setelah sebelumnya juga pernah terjadi pada 29 Desember 2011.
Dalam peristiwa beberapa minggu lalu itu tercatat jumlah korban yang tewas satu
orang, tapi rumah yang terbakar sebanyak 27 unit.
Sementara itu, di Hari Lebaran
lalu, terjadi aksi massa yang
menyerang Tarekat At Tijaniyah Mutlak di Kampung Cisalopa, Desa Bojong Tipar,
Kecamatan Jampang Tengah, Sukabumi, Jawa Barat, yang menewaskan empat korban.
Untuk tragedi kedua ini, herannya, mengapa tidak heboh?
Intoleransi juga merupakan akar
bagi kelompok-kelompok terorisme di Tanah Air yang hari-hari ini bermunculan
kembali, baik di Solo, Jakarta, dan Depok. Inilah yang membuat kita miris dan
bertanya khawatir: mampukah Indonesia
bertahan sebagai negara-bangsa yang satu?
Boleh jadi Indonesia tak akan
bubar seperti Uni Soviet. Tapi, Indonesia hanya akan berjalan di tempat
alih-alih semakin mundur. Betapa tidak. Di seputar Pilgub DKI 2012, khususnya
menjelang Putaran II, bertebaranlah negative
campaign (baik secara lisan maupun tulisan) untuk tak memilih salah satu
kandidat lantaran latar belakang suku dan agamanya.
Di sebuah bus metromini, di bodi
belakangnya, ada sebuah tulisan berwarna hitam berukuran besar berbunyi begini:
”Waspada Cina...” Seorang penyanyi
dangdut terkemuka, dalam sebuah wawancaranya baru-baru ini,
menyinggung-nyinggung soal pribumi dan nonpribumi, juga China Kristen, dengan
nuansa yang sangat peyoratif
(bersifat memojokkan) terhadap nonpribumi dan China Kristen itu.
Siapa Pribumi?
Saya mengajak kita untuk bertanya
kritis tentang beberapa hal berikut. Pertama, apakah makna ”pribumi” itu yang
sesungguhnya? Harap dipahami bahwa istilah ini muncul di era kolonialisme
Belanda sebelum Indonesia merdeka untuk menunjuk suku-suku bangsa di wilayah
Hindia Belanda (kecuali Eropa, Arab, China, dan India) yang mereka anggap
berkarakter ”bodoh, bebal dan pemalas”.
Dengan pengertian itu, setelah
Indonesia merdeka, adakah manfaatnya bagi kita mempertahankan istilah tersebut?
Jawabannya jelas ”tidak ada” dan atas dasar itu kita harus menghapuskannya dari
perbendaharaan kosakata kita sehari-hari.
Kalau istilah ”pribumi” dihapus,
dengan sendirinya istilah ”nonpribumi” pun demikian. Jadi, yang ada sekarang
adalah ”Warga Negara Indonesia” (WNI) atau ”Warga Negara Asing” (WNA). Itu saja
penggolongannya.
Lantas, siapa itu ”China”? Ini
pun mengherankan, sekaligus menunjukkan bahwa orang-orang yang mengucapkannya
kurang berwawasan. Harap diketahui bahwa China adalah suatu bangsa yang
bermukim di negara bernama Republik Rakyat China (RRC). Sebenarnya ada satu
lagi bangsa China, yakni Taiwan, yang sudah lama memisahkan diri dari RRC, tapi
masih diklaim sebagai bagian dari bangsa China.
Keturunan China di Indonesia
memang ada, tapi mereka secara antropologis telah menjadi salah satu suku di antara
ratusan suku di Indonesia. Jadi, mereka harus kita golongkan sebagai suku
Tionghoa dan mereka tidak identik dengan China.
Mereka itu WNI, yang menurut UU
No 12 Tahun 2006 (tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia) termasuk sebagai
“Indonesia Asli” apabila sejak kelahirannya telah menjadi WNI dan tak pernah
menerima atau menggantinya dengan kewarganegaraan lain. Jadi, untuk
penyebutannya, tak perlu juga menggunakan istilah “keturunan” di depan Tionghoa
(“keturunan Tionghoa”). Cukup Tionghoa saja.
Bebas untuk Berbeda
Bung Karno, salah satu pendiri
bangsa dan presiden ke-1 Indonesia, pernah berkata: “Jangan sekali-sekali
melupakan sejarah” (Jas Merah). Ia benar, sebab hari ini kita jalani karena
hari kemarin, dan hari esok kita jelang karena hari ini. Atas dasar itu,
ingatlah beberapa momentum sejarah yang sangat penting maknanya bagi kita hari
ini.
Pertama, Sumpah Pemuda 28 Oktober
1928, di Gedung Indonesische Clubgebouw,
Weltevreden (kini Gedung Sumpah Pemuda, Jalan Kramat 106), Jakarta, milik
seorang Tionghoa bernama Sie Kok Liong. Saat itu para tokoh pemuda dari
berbagai suku dan daerah mengucapkan tiga ikrar bersama: ikrar kesatuan
berdasar tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu.
Secara politik, bukankah saat itu
merupakan kelahiran Indonesia sebagai satu bangsa baru? Sejak itulah pergerakan
para pemuda kian menemukan arah yang jelas dalam perjuangannya mencapai
Indonesia Merdeka. Jadi, mengapa setelah usia kemerdekaan mencapai 67 tahun
kita masih menggolong-golongkan anak-anak bangsa sendiri sebagai ”pribumi” dan
”nonpribumi”?
Kedua, dasar negara Indonesia
adalah Pancasila. Ingatlah proses bagaimana ideologi bangsa ini disahkan pada
18 Agustus 1945. Sebelumnya, ada Pancasila “versi yang lain”, yakni Pancasila
berdasarkan pidato Soekarno (1 Juni 1945) dan Pancasila versi Piagam Jakarta
(22 Juni 1945).
Sehari setelah Proklamasi 17
Agustus 1945, Presiden Soekarno sendiri, saat berpidato di depan sidang BPUPKI,
mengatakan begini: “Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische
grondslag, mencari satu weltanschauung
yang kita semua setuju.
Saya katakan lagi, setuju! Yang
Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui, yang
Saudara Sanusi setujui, yang Saudara Abikoesno setujui, yang Saudara Lim Koen
Hian setujui. Pendeknya kita mencari semua satu modus.
Tuan Yamin, ini bukan compromise, tetapi kita bersama-sama
mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui.” Harap digarisbawahi, saat itu
ada juga seorang Tionghoa (Lim Koen Hian) yang dimintakan juga persetujuannya
oleh Soekarno.
Ketiga, khususnya terkait
Jakarta, jangan lupakan bahwa keberadaan
Batavia (nama Jakarta dulu) tak bisa lepas dari peranan beberapa orang
Tionghoa, antara lain Souw Beng Kong, Khouw Kim An, Phoa Beng Gan, dan Nie Ho
Kong. Mereka adalah para pembesar Tionghoa yang punya andil besar membangun
kota baru Batavia di era kolonialisme Belanda abad ke-17. Itu sebabnya ia kelak
diberi gelar Kapiten.
Kita prihatin atas situasi
Indonesia yang belakangan ini kian tak ramah terhadap perbedaan. Akankah
“bineka tunggal ika” tinggal semboyan belaka? Indonesia sejak dulu sudah sangat
pluralistik, dan karenanya toleransi menjadi kebutuhan mutlak.
Karena itulah, tak bisa tidak,
kita harus menerima dan menghargai perbedaan dengan lapang dada. Ingatlah dan
camkanlah bahwa para pendiri bangsa Indonesia hanya pernah bersumpah satu di
dalam tiga ikatan: nusa, bangsa, dan bahasa. Di luar itu kita bebas untuk
berbeda. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar