Kala Ibu Pertiwi
Berduka
Syamsuddin Haris ; Profesor
Riset LIPI
|
KOMPAS,
10 September 2012
Hampir setiap waktu kita
dikejutkan fakta miris ketika warga negara yang berbeda agama, aliran, dan
kepercayaan dibunuh, dicederai, dan diusir dari tanah tumpah darahnya. Hampir
tiap saat pula negara dan aparatnya ”diadili” lantaran dianggap gagal
melindungi warga. Namun, kasus baru terus bermunculan. Apa yang salah dengan
negeri ini?
Tak terhitung berapa banyak
nyawa dan properti menjadi korban tindak kekerasan dan anarki massa yang
mengatasnamakan agama, etnis, ras, dan daerah. Belum terdata berapa banyak
keluarga—termasuk anak- anak dan perempuan—yang depresi hanya karena dianggap
”sesat” oleh orang-orang yang memosisikan diri mereka sebagai ”Tuhan”. Juga tak
terhitung berapa banyak pidato telah diucapkan, wacana diperdebatkan, dan
solusi direkomendasikan. Namun, semua itu tidak mampu dan belum pernah bisa
menghentikan tindak kekerasan dan anarki massa yang tengah mengancam keberadaan
negeri kita.
Ironisnya, semua itu
berlangsung di tengah perayaan atas demokrasi, baik dalam bentuk melembaganya
jaminan bagi hak-hak politik dan kebebasan sipil, meluasnya partisipasi, maupun
semakin intensnya pemilihan langsung bagi setiap pejabat publik penyelenggara
negara. Meningkatnya tindak kekerasan dan anarki massa bahkan cenderung
berbanding lurus dengan meningkatnya pendapatan per kapita bangsa kita dari
sekitar 1.000 dollar AS atau kurang pada 1998 menjadi sekitar 3.500 dollar AS
saat ini.
Jika Perlu Koersif
Para pendiri bangsa
sebenarnya telah meletakkan fondasi yang amat jelas bagi republik ini. Melalui
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), para tokoh
berbeda latar belakang agama, etnis, ras, dan daerah berikrar membentuk
Indonesia yang beragam dalam semangat persatuan. Falsafah bangsa dan ideologi
nasionalis Pancasila merefleksikan cita-cita itu. Mayoritas Islam dan mayoritas
Jawa memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan minoritas Nasrani, China, dan
Arab, serta minoritas identitas asal lainnya. Salah satu hak paling mendasar
adalah hak hidup dan dilindungi oleh negara, sedangkan di antara kewajiban
paling asasi adalah merawat kemajemukan dengan cara menghormati perbedaan asal-usul,
termasuk perbedaan agama, aliran, dan kepercayaan setiap warga negara.
Di sisi lain, para
penyelenggara negara di semua tingkat memiliki tanggung jawab mengelola
keberagaman melalui kebijakan publik yang adil bagi semua unsur bangsa tanpa
kecuali. Di atas segalanya, negara, melalui para pejabat publik terpilih, wajib
melindungi dan memberikan rasa aman bagi setiap warga negara—jika perlu secara
koersif—agar semua warga negara memperoleh hak, perlindungan, dan perlakuan
yang sama di depan hukum.
Oleh karena itu, agak
mengherankan jika para penyelenggara negara dan aparaturnya yang telah digaji
dari uang pajak rakyat berulang-ulang membiarkan tindak kekerasan dan anarki
yang mengancam jiwa dan properti sejumlah warga negara. Lebih mengherankan
lagi, para pejabat publik yang bertanggung jawab atas hal itu tidak merasa
bersalah, padahal sikap demikian dapat dikategorikan pembangkangan terhadap
konstitusi.
Justru yang sering muncul
adalah kecenderungan para penyelenggara negara untuk saling melempar tanggung jawab
atau mencari ”kambing hitam” sehingga nyawa warga yang menjadi korban seolah-
olah tak ada harganya. Hak tiap warga untuk hidup dan dilindungi oleh negara
akhirnya berhenti sekadar ”aksesori” konstitusi yang begitu sering dipidatokan,
tetapi amat jarang diimplementasikan.
Problem bangsa kita
akhir-akhir ini tak hanya terbatas pada kecenderungan pembiaran oleh negara
atas tindak kekerasan dan anarki yang mengatasnamakan ”kebenaran subyektif”
identitas asal, juga kecenderungan keberpihakan para oknum penyelenggara
negara. Sebagian mungkin karena faktor kebodohan, tetapi sebagian lain secara
sengaja berpihak untuk mempertahankan kekuasaan, popularitas atau elektabilitas
mereka jika pemilu dan pilkada digelar. Akan tetapi, apa pun alasannya, mereka
sesungguhnya tidak memiliki hak moral menjadi pejabat publik.
Duka Ibu Pertiwi
Kasus tindak kekerasan dan
anarki massa atas sejumlah warga Sampang, Jawa Timur, juga Cikeusik, Banten,
beberapa waktu yang lalu, dan puluhan kasus serupa di beberapa daerah selama
sekitar 10 tahun terakhir, hampir dapat dipastikan akan terus berulang jika
tidak ada perubahan mendasar dalam cara negara mengelola keberagaman. Di sisi
lain, cara penyelenggara negara mengelola negeri ini tidak akan pernah berubah
jika sumber kepemimpinan negara berasal dari partai-partai politik pemburu
rente yang tidak memiliki visi dan platform politik yang jelas tentang
pengelolaan kebinekaan negeri kita.
Hampir tidak satu parpol pun
secara institusi yang secara sportif menggugat cara negara menangani kasus
tindak kekerasan dan anarki yang mengatasnamakan agama. Kalaupun ada politisi
dan anggota DPR bersuara, pada umumnya bersifat individu.
Juga tak ada usul pengajuan
hak interpelasi ataupun hak angket atas puluhan kasus serupa. Padahal, tindak
kekerasan dan anarki atas nama agama tak hanya terkait rasa aman, hak hidup,
dan keselamatan warga negara yang kebetulan minoritas, juga menyangkut
kelangsungan keberagaman kultural yang telah menjadi identitas sekaligus
fondasi bangsa kita.
Karena
itu, duka terdalam Ibu Pertiwi bukan
semata-mata lantaran kecenderungan pembiaran oleh negara telah bersifat
sistemik, melainkan juga karena parpol, parlemen, dan jajaran pemerintahan di
semua tingkat menari-nari dan berpesta di atas penderitaan sebagian warga
negara yang tak berdosa. Para petinggi parpol, parlemen, dan pemerintahan
masing-masing sibuk mengurus politik sehari-hari yang sering kali dangkal dan
tanpa visi. Sebagian di antaranya bahkan bisa tidur nyenyak di tengah lolongan
panjang saudara kita yang kebetulan berbeda, yang menuntut perlakuan adil,
setara, dan jaminan rasa aman dari negara.
Haruskah puluhan dan bahkan
ratusan nyawa lainnya menunggu giliran terbantai hanya karena mereka berbeda?
Bukankah Tuhan, seperti dinyatakan dalam Al Quran, menciptakan manusia
berbeda-beda, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku agar mereka saling mengenal,
bukan untuk menjadi serigala ataupun monster bagi manusia lainnya?
Mengapa para petinggi negara
dan pemerintahan tak kunjung mendeklarasikan ”moratorium” pembiaran oleh negara
atas tindak kekerasan dan anarki yang terang-benderang melawan hukum dan
konstitusi? Bukankah para penyelenggara negara dan pemerintahan dipilih,
memperoleh mandat, dan digaji dari uang rakyat untuk melindungi hak hidup
setiap warga negara? Semoga duka lara Ibu
Pertiwi segera berlalu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar