Tragedi
Pendidikan
Sidharta Susila ; Pendidik;
Tinggal di Muntilan
|
KOMPAS,
10 September 2012
Ada ironi nan pilu dalam
pendidikan kita. Kemasygulan ironi itu berulang dan kian mengabaikan martabat
pendidikan. Terbayangkankah guru memperlakukan siswanya seperti barang tak
berjiwa? Hal itu dilakukan hanya demi kepentingan guru. Beginikah nasib
pendidikan ketika uang begitu memobilisasi dinamika pendidikan?
Riwayat pendidikan kita diwarnai
sejarah uang (gaji). Sampai lahirnya era Reformasi, gaji guru, khususnya guru
PNS, demikian kecil. Reformasi telah membalikkan nasib guru, khususnya guru
PNS. Pemerintah terus menaikkan gaji guru dan memberikan beragam tunjangan.
Niat meningkatkan
kesejahteraan guru itu mulia. Sayang, begitu banyak guru yang belum selesai
dengan dirinya. Kepahitan hidup panjang karena gaji kecil membuat mereka
demikian dahaga uang. Jiwa mereka kian kerontang ketika panggilan jiwa sebagai
pendidik nihil. Guru hanyalah sebuah pekerjaan.
Ketika pemerintah terus
menaikkan gaji dan memberikan beragam tunjangan, mereka tergagap-gagap hingga
mabuk. Mereka tak lagi berpijak kukuh karena nihilnya panggilan jiwa sebagai
pendidik. Pengabdian dengan menjadi guru menjadi tema usang dan bahan
olok-olokan.
Pada gelora nafsu meraup
uang inilah sejumlah guru berubah karakter dari abdi menjadi budak. Abdi itu
pemuja kehidupan yang memuliakan martabat diri. Pilihan sikap dan tindakannya
diorientasikan memuliakan kehidupan dan martabat diri. Orientasi hidup abdi
adalah investasi jangka panjang.
Budak adalah kebalikannya.
Sikap dan tindakan budak hanya untuk kepentingan jangka pendek lagi egoistis.
Budak hanya akan bekerja bila tahu akan segera mendapat hasil/untung untuk
dirinya. Budak tak peduli kalaupun pilihan sikap dan tindakannya menghancurkan
martabat dan kehidupan.
Perilaku membudak (uang) ini
tercecap pada kasus pembocoran soal ujian, proyek buku, dan pembangunan
pengadaan fasilitas pendidikan yang amburadul, memberikan jasa manipulasi
nilai, atau memecah jumlah kelas di sekolahnya demi memenuhi tuntutan minimal
proyek sertifikasi. Juga ketika mereka terus menambah kelas dengan menerima
sebanyak-banyaknya siswa tanpa seleksi agar mencapai target minimal jumlah
mengajar untuk tuntutan sertifikasi. Tak peduli cara ini dilakukan di tengah
sekolah-sekolah kecil miskin yang kian sekarat.
Ini tragedi pendidikan. Niat
awal meningkatkan kesejahteraan agar guru kian bermartabat kini justru telah
menjadi proses perbudakan (guru) yang justru menghancurkan martabat serta
kehidupan.
Peran Negara
Negara tak bisa terus membiarkan
dinamika pendidikan semacam ini. Guru itu lentera, penyuluh kehidupan. Ia hanya
bisa jadi pencerah kehidupan bila dari kedalaman jiwanya terpendar terang. Itu
terjadi ketika hidupnya dijangkarkan pada panggilan jiwanya sebagai pendidik.
Tak dimungkiri bahwa untuk
hidup, guru membutuhkan pendapatan layak. Namun, hidup guru tak boleh berangkat
dari situ. Pemerintah pun tak boleh terus membiarkan uang (gaji, tunjangan)
demikian memesona bahkan memobilisasi pendidikan. Pertama, uang bisa membikin
seseorang haus tak terpuaskan. Apalagi ia yang belum selesai dengan dirinya.
Pendidikan yang dimobilisasi uang kian menyandera nurani guru. Mereka berubah
dari abdi pendidikan menjadi budak uang.
Kedua, ternyata tak cukup
niat baik menyejahterakan guru dengan terus meningkatkan gaji- tunjangan.
Penerapan kebijakan itu telah membuat sejumlah guru sekolah bertindak
tunanurani. Demi meraup uang, mereka tak peduli nasib sekolah sekitar. Kita
bertanya masygul, di manakah tanggung jawab serta panggilan jiwa mereka
mencerdaskan bangsa? Di mana pula solidaritas mereka dengan nasib sesama guru
di sekolah sekarat/mati itu? Meraup rakus murid demi memenuhi target proyek
sertifikasi telah mengubah realitas sekolah dari komunitas pemuja kehidupan
yang cerdas menjadi gerombolan berseragam.
Ketiga, dinamika pendidikan
yang dimobilisasi uang dalam praksisnya terbukti membuat perilaku sejumlah guru
kian liar dan tunamoral, serta efektif membikin sekarat hingga mematikan
sekolah-sekolah kecil. Kalau pemerintah membiarkan kondisi ini, niat awal
meningkatkan martabat kehidupan lewat pendidikan berubah menjadi proses
sistematis oleh negara yang membunuh sejumlah sekolah di negeri ini.
Inilah tragedi pendidikan sekaligus
kejahatan keji negara berselimut kebijakan. Jangan biarkan nasib negeri ini
dipertaruhkan dengan gegabah dan murah. ●
tulisan yang bagus sekali...terutama karena pilihan dan rangkaian kata2 yang bernada puitis. argumentasinya pun layak utk diterima walau msh jauh dr komprehensif.
BalasHapus