Selasa, 18 September 2012

“Ini Nomor Hape Saya”


“Ini Nomor Hape Saya”
Denny Indrayana ;  Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM 
SINDO, 18 September 2012


Ke mana pun saya pergi, di mana pun saya bertemu masyarakat, salah satu yang sering saya bagikan adalah nomor hape, atau bahkan tidak jarang PIN Blackberry.
Sehingga kedua nomor komunikasi tersebut sudah banyak dimiliki publik. 

Pembagian nomor itu terutama saya berikan kepada masyarakat yang sedang menerima layanan di Kementerian Hukum & HAM. Hal yang paling sering tentu saja di Unit Kerja Pemasyarakatan, Imigrasi, Administrasi Hukum Umum, dan Hak Kekayaan Intelektual. Sebagaimana kemarin (Senin, 17/9/2012), memanfaatkan waktu yang ada, menjelang keberangkatan kembali ke Jakarta dari Banjarmasin, saya menyempatkan diri menjenguk situasi dan kondisi di Lembaga Pemasyarakatan Teluk Dalam, Banjarmasin. 

Dari blok ke blok saya melihat kondisi sel satu per satu. Bertanya berbagai hal terkait pelayanan lembaga pemasyarakatan (lapas) ke hampir semua warga binaan. Persoalan yang nyata terlihat tentu saja kapasitas lapas yang penuh sesak. Problem yang terjadi hampir di semua lapas dan rumah tahanan (rutan), khususnya di kota-kota besar. Kapasitas yang sesak tersebut berbanding terbalik dengan jumlah pegawai yang terbatas.

Dalam setiap kunjungan demikian, kalau saya tanya adakah masalah yang ingin mereka sampaikan, 99% narapidana akan menjawab tidak ada masalah dengan pelayanan. Bisa jadi mereka menjawab benar, namun tidak jarang mereka takut menyampaikan apa adanya. Maka,pada kesempatan demikian saya akan membagi kartu nama, yang mencetak juga nomor hape dan alamat email saya. ”Ini nomor hape saya dan PIN BB saya. Bukan berarti kalian boleh memiliki hape ya. Tetapi untuk membuka akses informasi langsung ke saya”.

Warga binaan, misalnya, bisa menyampaikan laporan melalui wartel yang tersedia atau melalui kerabatnya yang berkunjung. Faktanya, saya sering menerima pengaduan langsung dari warga binaan. Menunjukkan kepemilikan hape masih merupakan pelanggaran yang jamak di lapas dan rutan. Yang pasti, itu adalah cara saya untuk mengetahui kondisi lapangan yang sebenarnya. Dalam banyak kesempatan bersilaturahmi dengan jajaran Kemenkumham, nomor hape dan PIN BB juga saya bagikan kepada seluruh pegawai yang hadir.

Sekali lagi, untuk membuka akses komunikasi langsung antara saya dengan seluruh jajaran Kemenkumham. Yang paling baru, contohnya, adalah kepada seluruh panitia penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS), di pusat maupun daerah. Maka saya menerima banyak masukan, baik dari peserta tes CPNS, panitia, maupun pengawas eksternal yang terlibat dalam proses seleksi. Beberapa praktik percaloan terbongkar karena informasi pengaduan langsung ke hape saya tersebut.

Sebenarnya tidak hanya hape dan BB, akses komunikasi juga terbuka melalui Twitter dan media sosial yang lain. Seluruh akses komunikasi yang terbuka kepada seluruh pemangku kepentingan demikian menurut saya penting agar setiap penyimpangan dapat terdeteksi dengan lebih cepat. Tentu saja tidak semua informasi pasti benar. Proses verifikasi tetap dilakukan. Banyaknya pengaduan demikian membuktikan sistem perlindungan pelapor di Kemenkumham penting, dan harus diwujudkan.

Dalam Instruksi Presiden Nomor 17 Tahun 2012, tentang aksi nasional pemberantasan korupsi, salah satu program yang harus dijalankan adalah terbangunnya sistem perlindungan bagi pelapor. Maka, saat ini kami sedang menyusun sistem kerja yang akan diformat dalam bentuk peraturan menteri hukum dan HAM (permenkumham). Dalam draf permenkumham itu mekanisme pelaporan, tindak lanjut—termasuk soal perlindungan pelapor—menjadi salah satu tata kerja yang akan disediakan. Dalam sistem kerja yang rentan dengan penyimpangan, pengawasan di antara pegawai dan pihak yang dilayani tentu saja perlu dilengkapi dengan sistem perlindungan pelaporan.

Ada satu pengaduan tentang pungli di pintu masuk bandara disampaikan melalui Twitter. Tanpa menunggu lama kami bergerak dan berhasil mengidentifikasi pelaku.Kepadanya segera dijatuhkan hukuman disiplin yang setimpal. Uang pungli sebesar USD400 segera dikembalikan kepada korban. Kali lain saya menerima pengaduan tentang adanya pesta sabu, perjudian, dan berbagai pungli di suatu lapas. Kami pun melakukan inspeksi mendadak. Warga binaan dan petugas yang membiarkan atau memfasilitasi penyimpangan segera dijatuhi hukuman disiplin.

Terkait dengan seleksi CPNS, terbongkarnya praktik curang—termasuk dengan membayar ratusan juta rupiah— untuk dapat lulus, juga berasal dari pengaduan masyarakat melalui Twitter, BBM, ataupun SMS langsung kepada saya. Informasi yang ada segera kami tindak lanjuti dan kami berhasil membongkar praktik suap dalam seleksi CPNS— yang sedang kami jaga agar betul-betul murni. Soal seleksi CPNS ini, kami tegaskan lagi, kami terus berikhtiar untuk tidak boleh ada penyimpangan sedikit pun.

Tidak boleh ada titipan kelulusan dari siapa pun, seberapa kuat pun posisi, siapa pun bekingnya. Tidak boleh lagi ada suap. Tidak ada lagi perlakuan khusus kepada pegawai Kemenkumham. Yang menentukan kelulusan hanya satu: hasil tes.Titik. Kalaupun karena kelihaiannya masih ada yang berhasil lolos dari pengamatan kami, maka sepintar-pintarnya melompat, pasti tupai akan jatuh juga. Begitu terbukti melakukan penyimpangan CPNS yang lolos akan kami batalkan.

Posisinya akan kami gantikan dengan CPNS cadangan yang lulus murni. Karena itu, daripada menyuap untuk lulus CPNS, lebih baik urungkan niat buruk tersebut. Daripada rugi tiga kali. Batal lulus, karena curang; kehilangan uang suap; dan masuk penjara karena tindak pidana suap. Ingatlah, saat ini informasi kepada saya dan Menkumham datang dari berbagai sumber media. Publik pun mengawasi dengan ketat. Kalaupun suapmenyuap dilakukan berdua, korban suap sendiri tetap terbuka peluang melaporkan perilaku menyimpang tersebut. Lagi pula tidak melakukan penyimpangan tentu bukan karena takut dilaporkan, tetapi harusnya merupakan kesadaran.

Bahwa penyimpangan, apa pun bentuknya,apalagi yang sifatnya koruptif seperti suap dan korupsi, sama sekali tidak boleh dilakukan. Namun, karena beberapa tingkat kesadarannya masih rendah, maka level takut dilaporkan adalah tahapan yang harus kita lalui. Karenanya, perlindungan kepada pelapor harus diberikan. Bukan hanya perlindungan agar tidak diketahui identitasnya oleh pihak yang dilaporkan, lebih jauh, pelapor yang membuka praktik penyimpangan seharusnya mendapatkan penghargaan. Saat ini model pelaporan masih bersifat personal, kepada Menkumham dan saya. Ke depan, sistem pelaporan dan perlindungannya harus lebih institusional.

Menjadi sistem yang tersedia dalam tata kerja antikorupsi di Kemenkumham. Terakhir, tentu saja sistem pelaporan yang baik harus dipadukan dengan mekanisme reward and punishment yang efektif. Yaitu penghukuman kepada yang bersalah, serta penghargaan kepada yang berprestasi. Demi Kemenkumham yang lebih baik. Demi Indonesia yang lebih baik. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar