Selasa, 18 September 2012

Demokrasi Oligarkis dan Kapitalisme Politik


Demokrasi Oligarkis dan Kapitalisme Politik
Thomas Koten ;  Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN, 17 September 2012


Tidak dapat dipungkiri, demokrasi dengan sistem pemilihan langsung baik pemilu presiden, pilkada maupun pemilu legislatif, serta sistem politik demokratik multipartai, yang menghasilkan persaingan yang sangat tinggi, sesungguhnya telah melahirkan sebuah demokrasi berbiaya sangat mahal. Apalagi jika sebuah pesta demokrasi seperti pemilu atau pilkada yang berlangsung hingga dua putaran, sehingga membuat mahalnya biaya demokrasi itu sungguh-sungguh fantastik.

Karena tingginya biaya demokrasi itulah kemudian berefek psikologis bagi para pekerja politik dalam komunitas parpol. Seperti menjelang Pemilu 2014, yang meski masih berlangsung dua tahun lagi, tetapi aroma kegelisahan sungguh-sungguh telah menyengat dan menghantui para elite politik parpol terkait melambungnya biaya politik yang sangat tinggi.

Tingginya biaya politik atau biaya demokrasi itu, karena untuk menyukseskan dan memenangi pemilu atau pilkada, diperlukan dana sangat besar untuk kampanye pemilu, kampanye pilkada, menggerakkan partai atau organisasi massa pendukungnya, memelihara konstituen, dan merawat infrastruktur.

Ini karena di era modern dengan kemajuan teknologi informasi dengan media komunikasi yang sangat kompleks dan berbiaya sangat tinggi ini diperlukan biaya atau dana yang sangat besar. Maka, lahirlah sosok demokrasi kita dengan sosok demokrasi berbiaya mahal.

Demokrasi Oligarkis

Karena tinggi dan mahalnya biaya demokrasi, dan/atau dana yang dibutuhkan dalam pembiayaan politik sangat besar, logikanya, hanya orang-orang yang memiliki dana besar, terutama para konglomeratlah yang bisa bermain politik atau yang berani ke gelanggang pertarungan politik. Merekalah yang kemudian menentukan bagaimana demokratisasi harus mengalir supaya keuntungan-keuntungan ekonomi-politik merembes dengan rapi.

Akibatnya, kata Racienre (2006), demokrasi menjelma menjadi demokrasi oligarkis. Demokrasi yang semestinya sebagai bentuk kekuasaan “di tangan rakyat” menjelma menjadi kekuasaan “di tangan orang-orang kaya” atau “para pemilik modal besar”.
Individualisme dan pragmatisme kekuasaan membuncah dan mengental. Tulis Yasraf Amir Piliang, spirit kolektivisme politik digantikan “individualisme”, ikatan ideologi diganti hasrat pragmatisme kekuasaan individu.

Jalannya politik atau roda demokrasi lalu digerakkan dan ditentukan oleh orang-orang kaya alias para kapitalis, sehingga terjadilah apa yang disebut sebagai kapitalisme politik. Dalam cengkeraman kapitalisme politik hanya orang-orang kaya (para oligarch) yang mampu bersaing dalam medan pertarungan politik.

Akibat lanjutannya, demokrasi pun terdistorsi menjadi sistem ”oligarki politik” dan “oligarki ekonomi”, dua sisi dari mata uang yang sama, yaitu menumpuk kekayaan untuk kekuasaan.

Kekuasaan yang diraih oleh para politikus konglomerat pun lebih dilihat sebagai kesempatan untuk menumpuk kekayaan. Kekayaan yang dimiliki itu pun kembali digunakan untuk membeli dan mempertahankan kursi kekuasaan dan mengendalikan demokrasi.

Ingat bahwa tidak ada langkah ekonomi dan politik para konglomerat atau para kapitalis yang gratis dari perhitungan-perhitungan keuntungan ekonomi. Sebagaimana seseorang yang memiliki naluri dan darah bisnis, setiap langkah politik, seperti halnya langkah ekonomi, selalu dibisniskan, atau dilihat dan dikalkulasi untung-rugi secara ekonomi bisnis.

Apa jadinya jika politik atau demokrasi dibisniskan? Realitasnya menunjukkan bahwa politik dan demokrasi di negeri ini, di era kapitalisme politik yang sedang berlangsung, telah terjadi pula pembisnisan politik.

Itu telah begitu kental terlihat pada komunitas parpol dan komunitas legislatif, bahkan juga eksekutif. Kursi ketua partai, ketua DPP dan DPD, kursi anggota legislatif, dan kursi anggota eksekutif telah lama terdengar memiliki harga dan nilai ekonomi tertentu yang diperdagangkan. Bahkan, hingga undang-undang yang dihasilkan para politikus di Senayan juga umumnya dibarter dengan uang yang nilainya sangat fantastis.

Muncul pertanyaan berikut, bagaimana dengan nasib rakyat-masyarakat dan bangsa kita dalam gerbong politik demokrasi yang oligarkis? Menyitir lagi Yasraf Amir Piliang, oligarkisme politik sungguh meminggirkan atau mengerdilkan rakyat sebagai elemen sentral sistem demokrasi.

Rakyat sebagai pemain utama dalam sistem demokrasi hanya menjadi pelengkap, bahkan objek kekuasaan. Status rakyat dikerdilkan dari konstituen ideologis jadi “consumer” gagasan, citra, pesona dan ilusi-ilusi yang ditawarkan para oligarch politik.

Kalau sudah demikian, nasib dan kesejahteraan rakyat yang semestinya menjadi tujuan akhir dari permainan dan kerja politik serta tujuan digulingkannya demokrasi, semakin jauh panggang dari api.

Oligarki yang merefleksikan habitus kekuasaan yang suka menghimpun keuntungan ekonomi-politik ke dalam lingkaran perselingkuhan dan persekongkolan kekuasaan membuat nasib kesejahteraan rakyat kian terabaikan. Politik lalu menjadi hampa makna. Demokrasi menjadi beku, kaku, dan tidak lagi menjadi prasyarat bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Tergerus Superkapitalisme

Perlu digarisbawahi, demokrasi oligarkis yang mulai menggejala di Indonesia sebagai akibat dari terjebak dalam kapitalisme politik itu, bukan hanya terjadi dalam kehidupan politik kita, melainkan telah menjadi gejala umum di negara-negara demokratis.

Amerika Serikat sendiri yang selama ini dapat dikatakan sebagai sokoguru demokrasi modern, ternyata masyarakatnya sedang kehilangan kepercayaan terhadap demokrasi seperti itu.

Setidaknya, itulah Robert B Reich, seorang pemikir dan ahli ekonomi Amerika Serikat dalam bukunya Supercapitalism (2008), bahwa demokrasi saat ini seperti di Amerika, sesungguhnya sedang meratapi demokrasi yang menurutnya telah mandul karena gerusan superkapitalisme, yang membuat demokrasi tidak lagi setia pada misi pokoknya mendorong kesejahteraan rakyat.

Mengapa? Karena kultur kebebasan dan kesetaraan yang dipromosikan demokrasi yang diyakini dapat mendobrak ekonomi negara, ternyata kini hanya menghasilkan pemerintahan yang dijalankan berdasarkan kapentingan besar segilintir orang yang sedang mengejar kepentingan dan keuntungannya sendiri, tanpa memedulikan kepentingan masyarakat dan bangsa. Kesejahteraan rakyat kian terkubur dalam makam-makam kapitalisme politik.

Pertanyaan yang layak teradopsi di sini, apakah wajah demokrasi seperti ini layak dipertahankan dan dikembangkan? Atau, apakah ke depannya, kita akan terus mengalami demokrasi seperti ini? Kita tegaskan bahwa ini bukan salah demokrasi.

Baik buruknya demokrasi tergantung pada bagaimana kita menyikapi, mengelola dan mengembangkan demokrasi sesuai dengan hakikat dan prinsip demokrasi itu, yang sesungguhnya bukan untuk kepentingan para kapitalis politik, tetapi semata untuk kesejahteraan rakyat.

Karena itu, demokrasi harus terus-menerus dicermati, diwacanakan secara kritis, didiskusikan secara jernih untuk kemudian dikelola secara tepat sesuai dengan hakikat demokrasi dus budaya peradaban bangsa, agar tidak berbalik merusak dan meremukkan peradaban politik bangsa sendiri.

Kini, kita harus sadar bahwa dengan terus merebaknya kapitalisme politik, demokrasi itu sendiri telah tergusur dari hakikat dasarnya.

Kita harus berjuang mengembalikannya ke ranah demokrasi yang beretika, bermoral dan berbudaya sesuai dengan budaya dan peradaban bangsa. Jika tidak, demokrasi kita tinggal puing dan kita kian terperangkap, bingung dan tak berdaya dalam puing demokrasi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar