Demokrasi
Oligarkis dan Kapitalisme Politik
Thomas Koten ; Direktur
Social Development Center
|
SINAR
HARAPAN, 17 September 2012
Tidak dapat dipungkiri, demokrasi
dengan sistem pemilihan langsung baik pemilu presiden, pilkada maupun pemilu
legislatif, serta sistem politik demokratik multipartai, yang menghasilkan
persaingan yang sangat tinggi, sesungguhnya telah melahirkan sebuah demokrasi
berbiaya sangat mahal. Apalagi jika sebuah pesta demokrasi
seperti pemilu atau pilkada yang berlangsung hingga dua putaran, sehingga
membuat mahalnya biaya demokrasi itu sungguh-sungguh fantastik.
Karena tingginya biaya demokrasi
itulah kemudian berefek psikologis bagi para pekerja politik dalam komunitas
parpol. Seperti menjelang Pemilu 2014, yang meski masih berlangsung dua tahun
lagi, tetapi aroma kegelisahan sungguh-sungguh telah menyengat dan menghantui
para elite politik parpol terkait melambungnya biaya politik yang sangat
tinggi.
Tingginya biaya politik atau
biaya demokrasi itu, karena untuk menyukseskan dan memenangi pemilu atau
pilkada, diperlukan dana sangat besar untuk kampanye pemilu, kampanye pilkada,
menggerakkan partai atau organisasi massa pendukungnya, memelihara konstituen,
dan merawat infrastruktur.
Ini karena di era modern dengan
kemajuan teknologi informasi dengan media komunikasi yang sangat kompleks dan
berbiaya sangat tinggi ini diperlukan biaya atau dana yang sangat besar. Maka,
lahirlah sosok demokrasi kita dengan sosok demokrasi berbiaya mahal.
Demokrasi Oligarkis
Karena tinggi dan mahalnya biaya
demokrasi, dan/atau dana yang dibutuhkan dalam pembiayaan politik sangat besar,
logikanya, hanya orang-orang yang memiliki dana besar, terutama para
konglomeratlah yang bisa bermain politik atau yang berani ke gelanggang
pertarungan politik. Merekalah yang kemudian menentukan bagaimana demokratisasi
harus mengalir supaya keuntungan-keuntungan ekonomi-politik merembes dengan
rapi.
Akibatnya, kata Racienre (2006),
demokrasi menjelma menjadi demokrasi oligarkis. Demokrasi yang semestinya
sebagai bentuk kekuasaan “di tangan rakyat” menjelma menjadi kekuasaan “di
tangan orang-orang kaya” atau “para pemilik modal besar”.
Individualisme dan pragmatisme
kekuasaan membuncah dan mengental. Tulis Yasraf Amir Piliang, spirit
kolektivisme politik digantikan “individualisme”, ikatan ideologi diganti
hasrat pragmatisme kekuasaan individu.
Jalannya politik atau roda
demokrasi lalu digerakkan dan ditentukan oleh orang-orang kaya alias para
kapitalis, sehingga terjadilah apa yang disebut sebagai kapitalisme politik.
Dalam cengkeraman kapitalisme politik hanya orang-orang kaya (para oligarch) yang mampu bersaing dalam
medan pertarungan politik.
Akibat lanjutannya, demokrasi pun
terdistorsi menjadi sistem ”oligarki politik” dan “oligarki ekonomi”, dua sisi
dari mata uang yang sama, yaitu menumpuk kekayaan untuk kekuasaan.
Kekuasaan yang diraih oleh para
politikus konglomerat pun lebih dilihat sebagai kesempatan untuk menumpuk
kekayaan. Kekayaan yang dimiliki itu pun kembali digunakan untuk membeli dan
mempertahankan kursi kekuasaan dan mengendalikan demokrasi.
Ingat bahwa tidak ada langkah
ekonomi dan politik para konglomerat atau para kapitalis yang gratis dari
perhitungan-perhitungan keuntungan ekonomi. Sebagaimana seseorang yang memiliki
naluri dan darah bisnis, setiap langkah politik, seperti halnya langkah
ekonomi, selalu dibisniskan, atau dilihat dan dikalkulasi untung-rugi secara
ekonomi bisnis.
Apa jadinya jika politik atau
demokrasi dibisniskan? Realitasnya menunjukkan bahwa politik dan demokrasi di
negeri ini, di era kapitalisme politik yang sedang berlangsung, telah terjadi
pula pembisnisan politik.
Itu telah begitu kental terlihat
pada komunitas parpol dan komunitas legislatif, bahkan juga eksekutif. Kursi
ketua partai, ketua DPP dan DPD, kursi anggota legislatif, dan kursi anggota
eksekutif telah lama terdengar memiliki harga dan nilai ekonomi tertentu yang
diperdagangkan. Bahkan, hingga undang-undang yang dihasilkan para politikus di
Senayan juga umumnya dibarter dengan uang yang nilainya sangat fantastis.
Muncul pertanyaan berikut,
bagaimana dengan nasib rakyat-masyarakat dan bangsa kita dalam gerbong politik
demokrasi yang oligarkis? Menyitir lagi Yasraf Amir Piliang, oligarkisme
politik sungguh meminggirkan atau mengerdilkan rakyat sebagai elemen sentral
sistem demokrasi.
Rakyat sebagai pemain utama dalam
sistem demokrasi hanya menjadi pelengkap, bahkan objek kekuasaan. Status rakyat
dikerdilkan dari konstituen ideologis jadi “consumer”
gagasan, citra, pesona dan ilusi-ilusi yang ditawarkan para oligarch politik.
Kalau sudah demikian, nasib dan
kesejahteraan rakyat yang semestinya menjadi tujuan akhir dari permainan dan
kerja politik serta tujuan digulingkannya demokrasi, semakin jauh panggang dari
api.
Oligarki yang merefleksikan
habitus kekuasaan yang suka menghimpun keuntungan ekonomi-politik ke dalam
lingkaran perselingkuhan dan persekongkolan kekuasaan membuat nasib
kesejahteraan rakyat kian terabaikan. Politik lalu menjadi hampa makna.
Demokrasi menjadi beku, kaku, dan tidak lagi menjadi prasyarat bagi
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Tergerus Superkapitalisme
Perlu digarisbawahi, demokrasi
oligarkis yang mulai menggejala di Indonesia sebagai akibat dari terjebak dalam
kapitalisme politik itu, bukan hanya terjadi dalam kehidupan politik kita,
melainkan telah menjadi gejala umum di negara-negara demokratis.
Amerika Serikat sendiri yang
selama ini dapat dikatakan sebagai sokoguru demokrasi modern, ternyata
masyarakatnya sedang kehilangan kepercayaan terhadap demokrasi seperti itu.
Setidaknya, itulah Robert B
Reich, seorang pemikir dan ahli ekonomi Amerika Serikat dalam bukunya Supercapitalism
(2008), bahwa demokrasi saat ini seperti di Amerika, sesungguhnya sedang
meratapi demokrasi yang menurutnya telah mandul karena gerusan
superkapitalisme, yang membuat demokrasi tidak lagi setia pada misi pokoknya
mendorong kesejahteraan rakyat.
Mengapa? Karena kultur kebebasan
dan kesetaraan yang dipromosikan demokrasi yang diyakini dapat mendobrak
ekonomi negara, ternyata kini hanya menghasilkan pemerintahan yang dijalankan
berdasarkan kapentingan besar segilintir orang yang sedang mengejar kepentingan
dan keuntungannya sendiri, tanpa memedulikan kepentingan masyarakat dan bangsa.
Kesejahteraan rakyat kian terkubur dalam makam-makam kapitalisme politik.
Pertanyaan yang layak teradopsi
di sini, apakah wajah demokrasi seperti ini layak dipertahankan dan
dikembangkan? Atau, apakah ke depannya, kita akan terus mengalami demokrasi
seperti ini? Kita tegaskan bahwa ini bukan salah demokrasi.
Baik buruknya demokrasi
tergantung pada bagaimana kita menyikapi, mengelola dan mengembangkan demokrasi
sesuai dengan hakikat dan prinsip demokrasi itu, yang sesungguhnya bukan untuk
kepentingan para kapitalis politik, tetapi semata untuk kesejahteraan rakyat.
Karena itu, demokrasi harus
terus-menerus dicermati, diwacanakan secara kritis, didiskusikan secara jernih
untuk kemudian dikelola secara tepat sesuai dengan hakikat demokrasi dus budaya
peradaban bangsa, agar tidak berbalik merusak dan meremukkan peradaban politik
bangsa sendiri.
Kini, kita harus sadar bahwa
dengan terus merebaknya kapitalisme politik, demokrasi itu sendiri telah
tergusur dari hakikat dasarnya.
Kita harus berjuang
mengembalikannya ke ranah demokrasi yang beretika, bermoral dan berbudaya
sesuai dengan budaya dan peradaban bangsa. Jika tidak, demokrasi kita tinggal
puing dan kita kian terperangkap, bingung dan tak berdaya dalam puing demokrasi
itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar