Diplomasi
Sawit
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat
|
REPUBLIKA,
17 September 2012
Konferensi
Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Rusia telah usai.
Salah satu hasilnya, pemimpin dari 21 negara APEC menyetujui, memasukkan 54
kelompok produk ramah lingkungan (environmental
goods) yang dikenai bea masuk maksimal lima persen mulai 2015. Ke-54 produk
ini merupakan produk manufaktur dan peralatan mekanik yang sebagian besar
diproduksi negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, Kanada, dan
Australia. Mereka mendominasi meja perundingan agar negara-negara berkembang,
seperti Indonesia, Cina, dan India membuka lebar-lebar pasarnya.
Negara-negara
berkembang mencoba mengimbangi, namun gagal. Cina, misalnya, hanya bisa
meloloskan satu produk, olahan bambu berbentuk lantai. Sedangkan, Indonesia
gigit jari. Usulan Indonesia memasukkan minyak sawit (crude palm oil/CPO) ditolak AS. AS hanya berjanji melonggarkan
pintu masuk CPO asal Indonesia. Indonesia sebenarnya juga mencoba membendung
produk negara lain dengan hanya membuka 20 jenis produk ramah lingkungan.
Lolosnya 54 jenis produk menandai diplomasi Indonesia kedodoran.
Kegagalan
ini tidak mengagetkan. Pertama, bukan rahasia lagi Indonesia amat lemah dalam
diplomasi, terutama diplomasi perdagangan. Selain tidak membekali diri dengan
data-data yang kuat, sering kali negosiator tidak tahu persis apa kepentingan
negara yang harus diperjuangkan di berbagai forum internasional itu. Kelemahan
makin terasa karena negosiator Indonesia juga tidak memiliki daya gertak saat
bernegosiasi.
Kedua,
negosiator Indonesia buta akan peta pergaulan internasional. Akibatnya, mereka
tidak mampu membedakan mana yang seharusnya dirangkul sebagai kawan untuk
mengegolkan kepentingan dan mana lawan yang harus dijauhi. Ketika terjadi
pergeseran kepentingan, negosiator Indonesia kehilangan pegangan.
Ketiga,
lemahnya koordinasi antarlembaga/kementerian. Hal yang menyedihkan, seringkali
kepentingan antarlembaga/kementerian saling bertumbukan. Kepentingan nasional
tidak mudah dirumuskan. Ujung dari semua ini, argumen dengan mudah dipatahkan.
Sawit
merupakan contoh untuk kegagalan diplomasi Indonesia. Sejak 1980-an, kampanye negatif
terhadap sawit sudah terjadi. Pada 1980-an, saat industri sawit mulai tumbuh, American Soybean Association menyeru
agar tidak mengonsumsi minyak sawit. Tuduhannya, minyak sawit mengandung
kolesterol penyebab penyakit jantung.
Ketika
sawit terbukti minyak sehat dan nonkolesterol karena kandungan asam lemak jenuh
rendah, tema kampanye berubah: “sawit
penyebab polusi udara”. Lahan minyak sawit dituding mengokupasi hutan dengan
cara dibakar. Terakhir, industri sawit dituduh merusak lingkungan, mengusir
orang utan, dan penyebab utama deforestasi yang menghasilkan gas rumah kaca. Karena
sawit pula, Indonesia dituding sebagai penghasil emisi terbesar GRK nomor tiga
setelah AS dan Cina.
Tidak
semua tudingan itu benar. Soal GRK, misalnya, pembukaan lahan sawit dari hutan
alam atau lahan gambut akan mengeluarkan emisi. Pertanyaannya, dari delapan
juta hektare areal sawit, berapa yang merambah hutan alam, cagar alam, dan
hutan gambut? Dibandingkan oilseeds
lain, emisi sawit lebih kecil sebab sawit menyerap karbon dari leaf area index yang tinggi, efisiensi
energi input-output tinggi, dan
produktivitas hasil yang juga tinggi (Pehnet
and Vietze, 2009).
Masalahnya,
ekspansi sawit secara monokultur dalam jumlah besar melawan alam karena tak
sesuai ekologi tropis (Anonim, 1993;
Jhamtani, 2001). Ekologi tropis ditandai oleh keanekaragaman spesies sangat
tinggi, tetapi jumlah populasi per spesies rendah. Basis ekologis dan eko
sistem tropis adalah keberagaman, bukan keseragaman (monokultur), seperti di
daerah temperate dan dingin.
Konsekuensinya,
meski tersedia lahan luas, alam Indonesia tak cocok untuk mengembangkan tanaman
monokultur dalam hamparan luas. Membuka satu juta hektare hutan untuk sawit
amat membahayakan ekosistem tropis karena jumlah keanekaragaman jenis satwa dan
tanaman yang hilang akan sangat tinggi dibandingkan kawasan beriklim sedang dan
dingin. Kerugian ini tak terhitung nilainya.
Jika
negara-negara maju mau jujur, sejatinya dalam neraca untung-rugi, sawit lebih
unggul ketimbang minyak pangan lain. Selain keunggulan aspek lingkungan,
seperti disebut di atas, sawit unggul dalam produktivitas (5.830 liter/hektare)
jauh melampaui produktivitas minyak kedelai (446 liter/hektare), kanola (1073),
dan bunga matahari (952). Minyak sawit harganya juga jauh lebih murah, lebih
unggul dalam kualitas nutrisi (mengandung vitamin A dan E), mengandung
antioksidan, dan bebas asam lemak trans.
Dengan
berbagai keunggulan itu, jika pada masa lalu sawit adalah komoditas pinggiran,
kini jadi jawara. Pada 2008, pangsa minyak sawit mencapai 27 persen, disusul
minyak kedelai (23 persen), kanola (12 persen), dan bunga matahari (tujuh
persen). Sebagai penghasil minyak kedelai, kanola, dan bunga matahari, AS dan
UE tentu tidak ingin pangsa pasarnya terus tergerus.
Ke
depan, kampanye negatif terhadap sawit akan kian masif. Ini bisa dibaca dari
aneka regulasi di negara-negara maju yang pada intinya menuding sawit tidak
ramah lingkungan, seperti aturan Renewavle
Fuel Standards oleh AS, Renewable
Energy Directive oleh Uni Eropa, dan Food
Standard Amendment Truth in Labeling-Palm Oil Bill 2010 oleh Australia. Untuk
menghadapi kampanye negatif bertubi-tubi itu, dengan difasilitasi pemerintah,
semua stakeholders industri sawit
harus bersatu mendesak agar AS, UE, dan Australia merevisi, bahkan mencabut
semua ketentuan diskriminatif itu.
Sertifikasi,
misalnya, penting diharmonisasi agar tidak menjadi kedok terselubung untuk
membendung produk asal negara berkembang. Aturan di AS, Uni Eropa, dan
Australia itu harus dicabut karena mencederai prinsip perdagangan yang adil,
seperti diatur WTO.
Pada saat yang sama, Indonesia
Sustainable Palm Oil sebagai komitmen Indonesia memproduksi sawit ramah
lingkungan harus dikampanyekan secara masif, terutama di AS, UE, dan Australia.
Di sinilah Indonesia perlu memperkuat
diplomasi sawit dengan membekali para negosiator untuk melawan kampanye negatif
yang masif itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar