Mana “Ismail” Kita?
Syafiq Basri Assegaff, PENELITI DI PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN, UNIV. PARAMADINA
Sumber : KORAN TEMPO, 05 November 2011
Alkisah, putri Nabi SAW, Fatimah, dan keluarganya berpuasa. Kala itu ia, suaminya, Ali bin Abi Thalib, dan kedua putra mereka, Hasan dan Husain, berpuasa tiga hari berturut-turut—sebagai pelunasan nazar yang dilakukan setelah kesembuhan kedua putra mereka itu dari sakit. Mereka berempat dikenal sebagai ahlulbait Nabi SAW yang dijamin kesuciannya dalam Al-Quran.
Hari pertama, persis menjelang saat buka puasa, datang seorang pengemis yang kelaparan. Mereka berikan sedikit roti gandum yang mereka siapkan kepada sang
pengemis, dan malam itu mereka hanya berbuka dengan minum air. Hari kedua
mereka puasa, datang seorang anak yatim memohon makanan. Melihat anak kecil
yang lapar, ahlulbait Nabi itu merelakan makanan mereka. Pada hari kedua itu mereka
kembali berbuka hanya dengan air. Hari ketiga, datang seorang tawanan. Ia juga meminta makan. Untuk ketiga kalinya, keluarga Ali dan Fatimah hanya berbuka dengan air.
Atas perilaku mulia itu, menurut Ibnu Abbas, Malaikat Jibril turun membawa wahyu—dan termaktub kisahnya dalam Al-Quran. Itulah rupanya akhlak sempurna atau “jalan lurus”yang diajarkan agama. Tanpa pamrih, keluarga Ali dan Fatimah menunjukkan bahwa mereka berkorban demi orang lain, semata-mata karena Tuhan. Kata mereka,“Kami tidak mengharap dari kalian balasan ataupun terima kasih. Kami takutkan dari Tuhan kami hari yang kelabu dan penuh duka.”
Keteladanan berkorban demi orang lain itu amat penting sebagai cermin beragama
di “jalan yang lurus”.Keluarga Nabi SAW mencontohkannya. Nabi Ibrahim dan Ismail
juga memberikan keteladanannya. Ibrahim berkomitmen mengorbankan nyawa
anaknya. Sang putra sendiri, Ismail, siap sedia di meja sembelihan.
Saat itu Ibrahim telah menjadi tua dan sendirian. Di tengah kenabiannya, ia tetap seorang “lelaki”yang, sebagaimana manusia lainnya, sangat menginginkan anak laki-laki. Ismail sendiri adalah pemuda yang cerdas, berbudi, dan kuat. Ia adalah upah kehidupan yang penuh perjuangan. Ia membawa kebahagiaan bagi Ibrahim. Ia juga harapan, cinta, dan penerus keturunan Ibrahim—yang silsilahnya belakangan mengalir hingga Nabi Muhammad SAW dan anak cucunya.Tapi kini Tuhan memintanya mengorbankan “milik”yang paling dicintainya itu. Sekiranya pengorbanan yang diminta Tuhan adalah nyawanya sendiri, mungkin itu lebih mudah bagi Ibrahim.
Maka Ibrahim membawa anaknya ke Mina. Di situ Ibrahim masuk ke panggung untuk berevolusi, tempat idealisme diunggah, tempat kebebasan absolut yang disertai
penyerahan total diwujudkan. Kalau Ibrahim mengorbankan putranya, kita patut bertanya,“siapa”atau “apa”-kah Ismail kita? Jabatan? Kehormatan? Uang? Cinta?
Keluarga? Ilmu? Hidup kita? Tak ada yang tahu, kecuali diri kita sendiri.Tapi, menurut
intelektual Iran, Dr Ali Shariati, tandatanda “Ismail”kita adalah segala hal yang
melemahkan keyakinan (iman), segala yang menyebabkan kita mementingkan diri
sendiri, apa pun yang membuat kita tidak bisa mendengar pesan dan mengakui
kebenaran, serta segala hal yang mendorong kita mencari pembenaran demi kenyamanan”.
Itu sebabnya, satusatunya cara mematuhi perintah Tuhan, sebagaimana dilakukan
Ibrahim, adalah dengan melakukan “perang besar”melawan bisikan “setan” dalam ego sendiri. Maksudnya, agar manusia tidak merasa aman dan terlindungi dari pengaruh musuh itu: masih banyak jeratan kemegahan artifisial yang bisa membutakan. Manusia harus terus berusaha, dan minta kepada Allah, agar selalu bisa “diamankan”di jalan yang lurus—shiratal mustaqiim.
Lewat pengorbanan itu,Tuhan seperti mengingatkan Ibrahim agar tidak berpikir bahwa “urusan”-nya dengan Allah sudah selesai setelah ia mengabdikan diri selama lebih dari 100 tahun sebagai nabi. Sebagai pendiri agama monoteisme (tauhid), pembangun jalan bagi Musa,Yesus, dan Muhammad SAW, serta simbol kemenangan manusia, harga diri, dan kesempurnaan—tugas Ibrahim dalam “pengabdian”sejati adalah jauh lebih sulit.Tuhan seperti berpesan,“Engkau harus ‘bebas total’, dan jangan terlalu yakin serta bangga pada dirimu, sebab selalu ada kemungkinan untuk ‘jatuh’ pada setiap ‘puncak’.”
Jalan lurus
Singkat cerita, sesudah mengetahui komitmen Ibrahim dan putranya, emudian Tuhan menggantikan nyawa Ismail dengan “Penyembelihan Agung”. Belakangan banyak
ahli tafsir yang memaknai “Penyembelihan Agung”itu bukanlah seekor kambing —mana mungkin domba lebih agung daripada seorang nabi—melainkan saat disembelihnya
cucu Nabi Muhammad SAW, Husain, yang namanya disinggung di atas.
Baik sejarawan Sunni maupun Syiah mencatat, Husain gugur sebagai syahid dalam
upayanya menentang penguasa tiran, Yazid bin Muawiyah. Pada 10 Muharram
61 H, kepala Husain dipenggal bala tentara Yazid dalam pertempuran yang tidak seimbang di Karbala, Irak. Berhubung Nabi Muhammad SAW adalah cucu Nabi Ismail
AS, dan Husain adalah cucu Nabi, menjadi sebuah keniscayaan bahwa “berkat pengorbanan Husain menggantikan pemenggalan Ismail itulah, Nabi SAW “terselamatkan”. Itu sebabnya, dalam sebuah hadisnya, Nabi SAW menyatakan,“
Husain dari aku dan aku dari Husain.”
Sebelum menuju Karbala, sebenarnya Husain sudah siap berhaji—bahkan ia telah berada di Mekah sejak Ramadan tahun 60 H.Tapi belakangan ia tinggalkan hajinya demi menunjukkan bahwa memerangi penguasa zalim dan memperjuangkan keadilan merupakan sebuah tindakan yang lebih penting daripada berhaji. Perjuangan demi keadilan, penentangan terhadap “berhala-berhala” simbol kehidupan fana, kekuasaan, nafsu, egoisme, dan kebanggaan diri, semuanya harus digapai lewat perjuangan serius serta pengorbanan diri—demi mewujudkan sebuah penyerahan total kepada Tuhan.
Itulah makna hakiki penghambaan (ibadah) kepada Allah SWT. Itulah shiratal mustaqiim, sebagaimana yang selalu diminta muslimin dalam salat.
Barangkali bisa kita analogikan bahwa shiratal mustaqiim dalam surat Al-Fatihah
itu semacam jalan tol, jalan bebas hambatan. Jalan yang lurus itu adalah juga jalur
yang paling dekat. Ilmu ukur membuktikan bahwa “jarak terpendek dari dua buah
titik adalah garis lurus yang menghubungkan keduanya”. Maka, kalau jaraknya terpendek, berarti jalan lurus itu adalah jarak yang terdekat.
Secara spiritual sejatinya Tuhan telah memberitahukan bahwa Dia memang dekat.
Dan jalan terdekat mencapai-Nya adalah lewat jalan lurus. Karena itu, Dia menyuruh sang hamba menyeru-Nya.Tuhan pun menjamin akan menjawab seruan itu, kecuali bila sang hamba bersikap “arogan” dalam beribadah kepada-Nya. Sebab, ketika ada keangkuhan, muncullah jarak yang menganga lebar antara sang hamba dan Tuhannya, sehingga ia berada di tempat yang jauh “tak terjangkau”—dan akan dimurkai oleh Dia. Al-Quran sendiri memandang arogansi sebagai sumber kemusyrikan (politeisme), yang menyebabkan munculnya kezaliman; dan menganggap kezaliman sebagai kesesatan. Arogansilah yang menghancurkan penguasa seperti Namrud, Firaun, dan Yazid.
Mereka yang di jalan lurus itu, dalam surat Al-Fatihah, adalah mereka yang “telah mendapat nikmat”Tuhan; bukan mereka yang mendapat murka-Nya (al-maghdzuubi
‘alaihim) ataupun orang-orang yang tersesat (adh-dhalliien). Para ulama menegaskan
bahwa “nikmat”yang dimaksud tentulah bukan sekadar “kesenangan”duniawi yang rendah dan fana seperti harta atau takhta dan kekuasaan yang dimiliki Firaun, Yazid, atau Abu Jahal.Yang dimaksud mereka “yang diberi nikmat”adalah orang-orang yang dekat dengan Allah, seperti Nabi SAW, sahabat Nabi yang baik, dan ahlulbaitnya —yang berseberangan total dengan dua golongan lainnya.
Sedikitnya 17 kali sehari muslimin mengulangi permohonan itu dalam salat guna menunjukkan kerendahan hati kita bahwa kita bukan hamba yang arogan—karena kapan saja manusia bisa terjerumus ke jurang kezaliman atau tersesat. Di tengah jalan lurus yang penuh kerendahan hati itulah seorang hamba tunduk kepada Rabb-nya, semata-mata karena cinta kepada-Nya. Rupanya kedekatan antara kita dan Yang Kita Cintai hanya bisa terwujud lewat perjuangan keras (“jihad”) membersihkan hati dari kotoran akibat memperturutkan nafsu duniawi, dan dengan menjalin cinta dengan sesama manusia sebagaimana dicontohkan di atas. Kisah di atas juga mengingatkan kita akan firman Tuhan kepada Nabi Musa AS, ketika Dia mengatakan,“ Satu-satunya ibadah yang Aku hitung sebagai benar-benar ibadah kepada-Ku adalah membahagiakan orang-orang yang hancur hatinya.”
Itulah sesungguhnya makna Islam yang ditegaskan Nabi.“Sesungguhnya makna agama adalah mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ma’rifatullah hakikatnya adalah bertingkah laku dengan akhlak yang baik. Akhlak adalah menghubungkan tali silaturahmi (kasih sayang), dan silaturahmi adalah ‘memasukkan rasa bahagia di hati saudara kita’.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar